PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Bahasa adalah alat komunikasi yang paling utama bagi manusia. Melalui
bahasalah manusia dapat mengungkapkan pikiran, gagasan, ide dan
perasaannya kepada seseorang. Bahkan,
bahasa merupakan media yang
sangat berharga dalam kehidupan manusia, hampir tidak ada satu kegiatan pun
yang dilalui tanpa kehadiran bahasa. Baik melalui bahasa tulisan maupun bahasa
lisan. Bahasa lisan memiliki peran penting dalam sebuah komunikasi dan juga
memiliki bagian-bagian permasalahan yang sangat kompleks, yang semakin hari
sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta arus
globalisasi yang semakin pesat, maka semakin jauh pula tonggak perjalanan dan
perkembangan bahasa lisan
tersebut.
Salah satu bagian dari bahasa lisan ialah bahasa yang
bernilai sastra, bahkan tidak
bisa dipungkiri kalau perkembangan sastra lisan Aceh seperti mengalami problematika tersendiri. Meskipun pada
kenyataannya sejarah kesusastraan di Aceh sudah lama ada dan mengakar dalam kehidupan masyarakat Aceh.
Salah satu bagian dari sastra lisan
Aceh adalah syair atau dalam bahasa Aceh sering disebut dengan caé. Syair atau caé adalah pembagian dari ragam sastra Aceh yang berbentuk
puisi.
1
|
Kegiatan bersyair dalam masyarakat Aceh bukanlah sebuah kegiatan yang
dengan mudah dapat dilakukan oleh kebanyakan orang. Hal ini dikarenakan untaian
kalimat yang dibentuk dari gabungan kata-kata dalam syair bukanlah penggabungan
kosakata biasa, melainkan penggabungan kosakata yang bernilai sastra dan
berdaya sugesti tinggi yang mampu menyihir para pembaca dan pendengar syair atau caé tersebut jika dilantunkan.
Bahasa yang digunakan dalam caé
adalah bahasa yang dimodifikasi sedemikian rupa dan mampu mewakili apa yang
ingin diutarakan oleh orang yang meucaé
atau bersyair. Selain itu, dalam ragam sastra Aceh berupa puisi banyak
menggunakan bahasa figuratif. Hal ini tidak terkecuali dengan syair atau caé. Bahasa figuratif (gaya bahasa)
tersebut tidak hanya mengandung fungsi estetis dari segi bentuk tetapi juga
mampu merepresentasikan dan mewakili fungsi estetis dari segi penyampaian
maksud yang dikandungnya.
Terlepas dari semua itu, bahasa figuratif dalam syair atau caé juga mampu membuat kegiatan
berkomunikasi dalam masyarakat Aceh bejalan lancar dan terkesan santun, hal ini
dikarenakan masyarakat Aceh sering menggunakan syair dalam berkomunikasi dengan
sesamanya. Bahasa figuratif atau gaya bahasa dalam caé memiliki keunikan tersendiri yang dapat membedakannya dengan jenis
sastra lisan Aceh lainnya. Bahasa figuratif terbagi atas beberapa bagian yang
digunakan dalam caé sesuai dengan
kebutuhan orang yang meucaé.
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka penulis
tertarik untuk mengadakan penelitian tentang bahasa figuratif dalam syair Aceh,
yaitu sesuai dengan judul yang penulis ajukan yaitu ”Analisis Bahasa Figuratif
dalam Syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga karya Z. A. Mohd. Amin”.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah apa sajakah bahasa figuratif yang terdapat dalam syair Aceh
Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga karya Z. A. Mohd. Amin?
1.3
Tujuan
Penelitian
Sehubungan
dengan rumusan masalah di atas, yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui dan mendeskripsikan data tentang bahasa
figuratif yang terdapat dalam
syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga karya Z. A. Mohd. Amin.
1.4
Manfaat
Penelitian
Berdasarkan uraian permasalahan dan tujuan penelitian yang telah
dikemukakan di atas, penelitian ini mempunyai dua manfaat yaitu secara teoretis
dan praktis.
Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan supaya dapat bermanfaat
untuk menambah ilmu pengetahuan tentang hal yang berhubungan dengan bahasa
figuratif yang terdapat dalam
syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga karya Z. A. Mohd. Amin.
Selanjutnya, secara praktis hasil penelitian ini bermanfaat bagi :
1)
Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat menambah
wawasan dan ilmu pengetahuan tentang bahasa figuratif yang terdapat dalam syair Aceh
Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga karya Z. A. Mohd. Amin dan untuk
lebih memotivasi potensi yang ada dalam diri peneliti.
2)
Bagi pembaca, hasil penelitian ini dapat memberi
informasi empiris dan pendalaman ilmu serta pengetahuan mengenai bidang kesusastraan,
sehingga akan menjadi dasar dan landasan awal untuk lebih mencintai karya
sastra lisan Aceh yang
berbentuk puisi berupa syair atau caé.
1.5
Ruang
Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan
penelitian tentang bahasa figuratif yang terdapat dalam syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga
karya Z. A. Mohd. Amin. Mengingat cakupan ruang
penelitian terlalu luas, maka peneliti membatasi masalah penelitian ini pada bahasa
figuratif yang terdapat dalam
syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga karya Z. A. Mohd. Amin yaitu pada syair yang berjudul Wafeuet Bungong Syuruga halaman 77
sampai 114.
1.6
Definisi
Operasional
Supaya tidak terjadi salah penafsiran antara peneliti dengan pembaca, maka
perlu dijelaskan istilah-istilah sebagai berikut :
1)
Analisis
adalah proses penguraian/pembahasan
terhadap suatu permasalahan untuk mengetahui dan menemukan inti permasalahan
lalu disimpulkan.
2)
Bahasa
figuratif adalah
bentuk bahasa yang digunakan dalam karangan sastra, salah satunya dalam puisi
berbentuk syair yang dapat mewakili perasaan dan pikiran dari pengarang.
3)
Syair
Aceh adalah puisi yang berasal dari kesusastraan Arab, tetapi telah dituliskan
dalam bahasa Aceh dan sering dilantunkan oleh masyarakat Aceh dalam
kesehariannya. Bagi masyarakat Aceh, setiap yang dinyanyikan berirama
itu dikatakan syair (caé).
4)
Syair
Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga
adalah syair Aceh yang berisi tentang berbagai kisah para penghuni syurga, yang
memiliki amalan saleh dan berjihad di jalan Allah demi mendapatkan keridhaan
Allah.
KAJIAN
PENGANTAR
2.1
Pengertian Syair
Syair atau dalam bahasa Aceh disebut dengan
istilah caé merupakan salah satu
pembagian dari ragam sastra Aceh yaitu ragam puisi. Melalui caé tersebutlah
masyarakat Aceh sering mengungkapkan maksud yang ingin disampaikannya kepada
lawan komunikasinya, hal ini dikarenakan masyarakat Aceh memiliki bakat
tersendiri dalam bersyair.
Menurut Harun (2012:6), menyatakan bahwa
”Bagi orang Aceh, istilah caé
sering juga digunakan untuk maksud pantun atau jenis bahasa berirama lainnya,
terutama kalau ia disampaikan secara lisan”. Maksudnya, syair atau caé dalam keseharian
masyarakat Aceh digunakan juga dalam berpantun bahkan dalam berbagai bahasa
berirama lainnya, apalagi jika disampaikan secara lisan. Jadi, bagi masyarakat
Aceh, caé membuka diri untuk
digunakan dalam berbagai jenis bahasa berirama.
Selanjutnya, Harun (2012:212), menyatakan
bahwa ”Syair merupakan jenis puisi yang berasal dari kesusastraan Arab”. Maka
dapat diartikan bahwa syair atau caé
pada dasarnya merupakan jenis puisi yang berasal dari Arab, berarti syair pada
dasarnya ditulis dalam bahasa Arab. Hanya saja, sekarang syair telah diubah
dalam bahasa Aceh yang lebih dikenal dikalangan masyarakat Aceh dengan istilah caé.
6
|
2.2
Ciri-ciri Syair
Syair atau caé dalam masyarakat Aceh memiliki ciri-ciri
tersendiri yang membedakannya dengan bentuk sastra lainnya. Menurut Harun
(2012:212), menyatakan bahwa ”Syair kebanyakan ditulis dalam bentuk sastra
kitab dan romansa. Syair itu lazimnya digubah dalam bentuk sambung-menyambung
lebih dari satu bait dan satu bait terdiri atas empat baris bersajak akhir
aa-aa. Akan tetapi, yang terpenting adalah bentuk syair tersebut ditemukan
sebagai salah satu media ucap puisi lisan Aceh”.
Sejalan dengan pernyataan Harun di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa syair atau dalam masyarakat Aceh yang lebih akrab
disebut dengan caé
memiliki ciri-ciri yaitu syair merupakan jenis puisi yang tidak dapat berdiri
atas satu bait saja, karena ia digubah dalam bentuk sambung-menyambung lebih
dari satu bait. Pada dasarnya ditulis dalam bentuk sastra kitab, terdiri atas
empat baris satu bait dan bersajak akhir aa-aa. Namun, karena caé juga sering
digunakan dalam berpantun dan berbagai bahasa berirama lainnya oleh masyarakat
Aceh, maka tidak menutup kemungkinan ada yang bersajak akhir ab-ab.
Adapun ciri-ciri
syair adalah sebagai berikut:
1)
Syair terdiri
atas empat larik (baris) tiap bait;
2)
Setiap bait dalam
syair memberi arti sebagai satu
kesatuan;
3)
Semua baris dalam
syair merupakan isi (dalam syair
tidak ada sampiran);
4)
Sajak akhir
tiap baris dalam syair selalu
sama(aa-aa);
5)
Jumlah suku
kata tiap baris dalam syair hampir
sama (biasanya 8-12 suku kata);
6)
Isi syair
berupa nasihat atau petuah.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri
utama dari syair adalah syair terdiri atas empat baris setiap bait yang
memiliki satu kesatuan makna, setiap baris dalam syair merupakan isi, yang
memiliki sajak akhir yang sama dan memiliki suku kata yang hampir sama dalam
setiap barisnya serta isi syair berupa nasihat.
2.3
Jenis-jenis Syair
Selain memiliki ciri-ciri tersendiri yang
membedakannya dengan bentuk sastra lain. Syair juga memiliki berbagai jenis.
Berdasarkan isinya, syair terbagi atas lima jenis, yaitu:
1)
Syair Panji
Syair Panji menceritakan tentang keadaan yang terjadi
dalam istana dan keadaan orang-orang yang berasal dari istana. Maksudnya, syair
ini adalah syair yang menceritakan tentang keadaan yang ada di lingkungan
istana.
Contohnya:
Diureung laen sosah han sakri
Hana mupat ie teungoh khueng raya
Di tungku syiah han payah cari
Uleh mikail keunan troh geuba
(Amin,
1986:5)
Contoh di atas,
merupakan syair yang menceritakan tentang kehidupan raja yang megah dan
memiliki ketakwaan kepada Allah dalam beribadah. Bahkan tidak lagi memikirkan tentang
dunia. Suatu ketika musim kemarau yang panjang, sang raja tidak harus mencari
sumber air, namun Allah mengutus mikail untuk membawakannya.
2)
Syair Romantis
Syair Romantis berisi tentang percintaan yang biasanya
terdapat pada cerita pelipur lara, hikayat, maupun cerita rakyat. Maksudnya, syair
jenis ini adalah syair yang berisi tentang kisah percintaan manusia.
Contohnya:
Nyawong
ngon tuboh jinou lon pulang
Bandum
sibarang keu milek Teungku
Ban
hajat nafsu peulaku rijang
Neubeudoh
rijang peu peunoh nafsu
(Amin,1986:10)
Contoh di atas,
merupakan syair yang menceritakan tentang kejadian romantis yang terjadi ketika
seorang wanita cantik mengajak seorang ulama yang taat beribadah kepada Allah
untuk berzina.
3)
Syair Kiasan
Syair Kiasan berisi tentang percintaan ikan, burung,
bunga atau buah-buahan. Percintaan tersebut merupakan kiasan atau sindiran
terhadap peristiwa tertentu. Maksudnya, syair jenis ini adalah syair yang
berisi kiasan terhadap suatu peristiwa yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Contohnya:
Keunan
troh teuka sidara sidrou
Rupa
sambinou ban bintang kala
Keuieng
jih linteng dada meu asoe
Puteh
seureuloe kulet meucahya
(Amin, 1986:6)
Contoh di atas,
merupakan syair yang berisi kiasan tentang seorang gadis cantik yang
diumpamakan seperti sebuah bintang dan memiliki kulit yang bercahaya.
4)
Syair Sejarah
Syair Sejarah adalah syair yang berdasarkan peristiwa
sejarah. Sebagian besar syair sejarah berisi tentang peperangan. Maksudnya, syair
jenis ini adalah syair yang berisi tentang berbagai peristiwa sejarah, misalnya
tentang peperangan.
Contohnya:
Gaki
ngon jaroe pasoe lam rante
Ka
ji ikat lee jihue ngon guda
Kulet
ka teupluek teupiluek sare
Keunong
bate glee meucula-cula
(Amin, 1986:18)
Contoh di atas,
merupakan syair yang menceritakan tentang sejarah seorang sufi yang taat
beribadah kepada Allah, yang difitnah berzina dengan seorang wanita cantik, dan
ia dihukum dengan sangat keji oleh sang raja karena fitnah yang berikan oleh
iblis atas perbuatan yang tidak pernah dilakukannya.
5)
Syair Agama
Syair Agama merupakan syair terpenting. Syair
agama dibagi menjadi empat yaitu :
(1)
Syair sufi, yaitu syair yang berisi tentang berbagai kisah
orang-orang yang taat dan kuat dalam beragama.
Contohnya:
Oh teulheuh
saleum tamong lam wirid
Beungoh ngon
seupot jeub-jeub kutika
Tahlil dan
tahmid baca seulaweut
Hana tom lupot
sabe keurija
(Amin, 1986:81)
Contoh di atas, merupakan syair yang menceritakan tentang kehidupan
para sufi dalam menjalankan kehidupannya yang tidak pernah luput dari beribadah
kepada Allah.
(2)
Syair tentang ajaran Islam, yaitu syair yang berisi tentang berbagai
ajaran Islam, baik tentang tata cara beribadah atau berbagai hal lainnya.
Contohnya:
Tamse
ban lintah keunong ie bakong
Meunan
keuh untong eleumee hana
Meunyo
geutanyou hana meu iman
Tahudeb
sang-sang lagee ban unta
(Amin, 1986:72)
Contoh di atas, merupakan syair yang menceritakan tentang bagaimana
Islam menyuruh umatnya untuk berilmu dan beriman sebagai bekal untuk hidup bahagia
dunia akhirat.
(3)
Syair riwayat cerita nabi, yaitu syair yang berisi tentang kisah
para nabi, baik cerita tentang keluarganya maupun cerita tentang kisah
perjuangan para nabi dalam menegakkan agama Allah.
Contohnya:
Bak
asoe rumoh kaleuh neupeugah
Wafeut
Fatimah seuot ayahda
Buleun
puasa uroe keu siblah
Sa’at
ka leupah bak watee asa
(Amin, 1986:79)
Contoh di atas, merupakan syair yang menceritakan tentang
kisah pada saat meninggalnya Fatimah, anak dari Rasullullah dengan Khadijah,
yaitu pada hari ke sebelas bulan Ramadhan, yaitu setelah waktu asar.
(4)
Syair nasihat, yaitu
syair yang berisi tentang berbagai petuah atau nasihat terhadap sesuatu hal,
yang dapat dijadikan sebagai penutan ataupun sebuah nasihat tentang suatu
larangan.
Contohnya:
Tamita
amai yohna di donya
Keu
pangkai taba tawoe bak Rabbi
Meunyo
kon meunan meuhat ceulaka
Hana
lee daya ngon peuglah diri
(Amin, 1986:60)
Contoh di atas, merupakan syair yang berisi tentang nasihat
kepada seseorang untuk selalu memperbanyak amal ibadah ketika masih di dunia
sebagai bekal ke akhirat kelak, namun jika tidak dengan demikian maka tidak akan
ada yang dapat menyelamatkan diri ketika di akhirat kelak.
Berdasarkan
bentuknya, syair terbagi atas:
1)
Syair
terikat
Syair terikat diatur oleh
banyaknya baris dalam satu bait, banyaknya suku kata dalam tiap baris, dan
bunyi vokal untuk akhir baris. Maksudnya jelas bahwa syair jenis ini merupakan
bentuk syair yang disusun berdasarkan aturan-aturan yang menjadi salah satu
yang membuat syair tersebut memiliki ciri khas diantara bentuk sastra lainnya,
yaitu adanya ketentuan jumlah baris dalam setiap baitnya yang berjumlah empat
baris, jumlah suku kata dalam setiap baris yang berjumlah 8-12 suku kata dan
adanya bunyi vokal yang sama pada akhir baris yaitu aa-aa.
Contohnya:
Wahe ureueng muda turi keuh drou neuh
Nyou peuraho umpama tuboh drou neuh
Hana padum trep udep drou neuh
U akherat teuka keukai udep drou neuh
(Syair Perahu karya Hamzah Fansuri)
Contoh syair di atas merupakan
contoh bentuk syair terikat, yang ditulis tanpa dengan memperhatikan ciri-ciri
utama dari sebuah syair, yaitu dengan adanya kesamaan bunyi vokal pada akhir
setiap baris syair.
2)
Syair
bebas
Syair jenis
ini tidak punya pedoman dalam penyusunannya. Syair bergerak bebas bagaikan air
mengalir. Maksudnya, jelas bahwa syair bebas merupakan bentuk syair yang
disusun secara bebas, tanpa memperhatikan ciri-ciri utama dari sebuah syair,
yaitu tidak adanya suatu keharusan dalam membuat syair jenis ini, baik dari
segi jumlah baris dalam setiap baitnya, jumlah suku kata dalam setiap barisnya
bahkan tidak adanya keharusan adanya bunyi vocal yang sama pada akhir setiap
barisnya. Buku syair Rangkaian Kisah
Aneuk Kunci Syuruga merupakan salah satu jenis syair yang ditulis
berdasarkan bentuk syair bebas.
Contohnya:
Tuhan bri balah meulimpat ganda
Seubab geujaga syahwat ngon
nafsu
Takot keu Tuhan ingat keu dosa
Rahmat sijahtra sabe geurindu
(Amin, 1986:25)
Contoh syair di atas merupakan contoh bentuk
syair bebas, yang ditulis tanpa memperhatikan ciri-ciri utama dari sebuah
syair, yaitu tanpa adanya kesamaan bunyi vokal pada akhir setiap baris
syair.
Berdasarkan
penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa syair terbagi menjadi dua,
yaitu berdasarkan isinya dan berdasarkan bentuknya. Berdasarkan isinya, syari
terbagi menjadi lima jenis, yaitu 1) syair panji, 2) syair romantis, 3) syair
kiasan, 4) syair sejarah, dan 5) syair agama. Sedangkan berdasarkan bentuknya,
syair terbagi menjadi dua jenis, yaitu 1) syair terikat, dan 2) syair bebas.
2.4
Pengertian Bahasa Figuratif
Dalam sebuah karya sastra, baik
yang berbentuk ragam prosa fiksi, prosa liris ataupun ragam puisi, penggunaan
bahasa dalam tiap bentuk sastra tersebut memiliki daya estetis tersendiri. Daya
estetis tersebut terwujud dalam penyusunan tiap kosakata yang diciptakan dengan
begitu menggugah dan mengandung makna tersendiri. Makna bahasa tersebut sering
disebut dengan bahasa figuratif.
Menurut Harun (2012:300),
menyatakan bahwa ”Puisi lisan Aceh sangat banyak menggunakan gaya bahasa
(bahasa figuratif; stylistic). Gaya bahasa
tersebut di samping mengandung fungsi estetis dari segi bentuk, juga
dipersiapkan untuk merepresentasikan fungsi estetis dari segi penyampaian
maksud yang dikandungnya”. Maksud dari pernyatan Harun di atas adalah bahasa figuratif
atau gaya bahasa, pada hakikatnya adalah bentuk dari penyusunan kosakata dalam
puisi, yang memiliki keindahan baik dari segi bentuk maupun dari segi makna
bahasa yang dikandung kosakata yang dirangkai oleh si penyair dalam puisi
tersebut.
Sejalan dengan penjelasan di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa bahasa figuratif merupakan bentuk bahasa
yang digunakan dalam sastra khususnya puisi lisan Aceh yaitu syair yang disusun
rapi dan memiliki kesan makna yang mendalam dari setiap kosakata yang dibentuk
oleh si penyair. Hal ini menimbulkan daya pikat tersendiri bagi para penikmat
sastra lisan Aceh yaitu syair. Bahkan, melalui gaya bahasalah si penyair
membungkus maksud yang ingin disampaikanya kepada pembaca atau pendengar karya
sastra yang diciptakannya
2.5
Jenis-jenis Bahasa Figuratif
Bahasa figuratif dalam puisi
lisan Aceh memiliki beberapa jenis, setiap jenis tersebut memiliki beragam
bentuk makna. Dalam puisi lisan Aceh bahasa figuratif yang digunakan berbeda
dengan bahasa figuratif dalam puisi pada umumnya. Hal ini sejalan dengan yang
dikemukakan oleh Harun (2012:300), menyatakan bahwa ”Gaya bahasa yang dominan
dalam puisi Aceh adalah 1) paralelisme, 2) simile, 3) metafora, 4) metonimia,
5) personifikasi, dan 6) hiperbola”.
1)
Paralelisme
Menurut Harun (2012:301), menyatakan bahwa ”Gaya
bahasa paralelisme ditandai oleh adanya kesejajaran kata, frasa atau baris yang
berpola sama dan kadang-kadang antara kata, frasa, dan baris tersebut memiliki
arti yang sama pula”. Maksudnya, paralelisme merupakan gaya bahasa yang
terdapat dalam syair atau puisi yang memberikan kesejajaran makna antara satu baris
syair dengan baris lainnya, misalnya dari segi fungsi kata tersebut.
Contohnya:
Tameukat di yub payông
Tapajôh bu di warông
Tameulimbôt ngön ija krông
(Harun, 2012:301)
Contoh di atas menjelaskan tentang kesejajaran
bentuk antara baris pertama, kedua dan ketiga. Kata temeukat, tapajôh dan tameulimbôt merupakan predikat yang berarti pekerjaan
yang dilakukan oleh seseorang. Selain itu, pola yang sama juga terlihat dalam
keterangan tempat pada baris pertama, dan kedua, yaitu di yub payông dan di warông.
2)
Simile
Menurut Junus (dalam Harun 2012:302), menyatakan
bahwa ”Gaya bahasa simile atau perbandingan/persamaan oleh Junus (1989:232)
disebut juga semacam metafora, tetapi persamaan atau perbandingan kedua
unsur dibandingkan oleh kata-kata ’sebagai’, ’seperti’, ’laksana’, dan kata
lain yang dapat disamakan dengannya”. Maksudnya, simile merupakan salah satu
gaya bahasa yang terdapat dalam syair atau puisi yang memberikan perbandingan
atau persamaan antara suatu benda dengan benda lain dengan menggunakan kata
seperti, laksana, dan kata lain.
Contohnya:
Rueng meuseutuek ibôh
Bahô meugulam sie tanggôh
Rupa meu-eungkong meureugôh
(Harun, 2012:302)
Contoh di atas menjelaskan tentang persamaan
yang terdapat antara sesuatu benda dengan menggunakan kata meu- yang berarti seperti atau bagai. Hal ini terlihat dalam contoh
yaitu punggung bagai upih pinang, bahu seperti memikul daging utang dan rupa
bagai mawas besar.
3)
Metafora
Menurut Harun (2012:304), mengungkapkan bahwa ”Gaya bahasa metafora merupakan
gaya bahasa yang paling luas penggunaannya dalam komunikasi manusia, baik
komunikasi lisan maupun tulis. Akibat seringnya menggunakan metafora, maka
kata-kata yang mengandung metafora akhirnya banyak yang berubah menjadi
kata-kata biasa atau kata yang diacukan bermakna kamus”.
Menurut Wahab (dalam Harun, 2012:304),
meyatakan bahwa ”Metafora adalah ungkapan kebahasaan yang maknanya tidak dapat
dijangkau secara langsung dari lambang, karena makna yang dimaksud terdapat
pada predikat ungkapan kebahasaan itu. Dengan kata lain, metafora merupakan
pemahaman dan pengalaman akan sejenis hal untuk dimaksudkan untuk perihal yang
lain”. Maksudnya, metafora merupakan gaya bahasa yang terdapat dalam syair atau
puisi yang memberikan kiasan antara sesuatu dengan suatu benda yang lain, yang
bisa memiliki kesamaan sifat antara keduanya.
Metafora terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:
(1)
Metafora
nominatif, merupakan gaya bahasa metafora yang lambang kiasnya terdapat hanya
terdapat pada nomina kalimatnya saja.
Contohnya:
Alah hai udeueng breueh
Èk manok han löt narit u ateueh
(Harun, 2012:304)
Contoh di atas menjelaskan tentang udeueng breueh/udang beras (udang sawah)
yang disamakan dengan orang yang berlagak hebat, pintar atau kaya, tetapi tidak
memiliki kemampuan yang memadai dibidangnya. Artinya, pihak yang tidak sanggup
makan tahi ayam, tetapi bercerita tinggi itu adalah manusia, bukan udang sawah
yang sebenarnya, karena udang sawah yang dalam kenyataannya tergolong jenis
udang yang sangat kecil ini adalah pengganti manusia itu sendiri yaitu manusia
yang berpikiran kerdil.
(2)
Metafora
predikatif, merupakan gaya bahasa metafora yang kata-kata lambang kiasnya hanya
terdapat pada predikat kalimatnya saja, sedangkan subjek dan komponen lain
dalam kalimat itu masih dinyatakan dalam makna langsung.
Contohnya:
Ie bubông trön u
seurayueng
Ie lam krueng trön u
kuala
Angèn padèe
soh jipuplueng
Asoe tatueng tinggai lam tika
(Harun, 2012:305)
Contoh di atas menjelaskan tentang kata trön ’turun’, bukanlah dimaksudkan sebagai
aktivitas turun sebagaimana yang dilakukan manusia. Begitu juga kata jipuplueng ’melarikan’ bukanlah
melarikan sebagaimana manusia atau binatang melarikan sesuatu. Dalam hal ini, ie bubông ’air cucuran’, ie lam krueng ’air sungai’dan angèn
padèe ’angin badai’
merupakan subjek yang diinsankan setelah dilekati predikat ’turun’ dan
’dilarikan’. Akibatnya, seakan-akan subjek yang noninsani itu kemudian berlaku seperti
manusia.
(3)
Metafora
kalimatif, merupakan gaya bahasa metafora yang seluruh lambang kiasnya
digunakan tidak terbatas pada nomina dan predikatnya saja, tetapi seluruh
komponen dalam kalimat metaforis itu.
Contohnya:
Tajak ubé lot tapak
Taduek ubé lot punggông
(Harun, 2012:306)
Contoh
di atas merupakan metafora secara utuh, hal ini dikarenakan baris pertama tidak
dapat dipisahkan menjadi frasa. Keduannya merupakan satu kesatuan sintaksis
yang padu, yaitu ’berjalan sebesar muat telapak kaki’ dan ’duduk sebesar muat
pinggul’. Kedua kalimat tersebut bukanlah makna sebenarnya, namun bermakna
metaforis, yang memberikan perumpamaan selayaknya suatu sikap manusia.
4)
Metonimia
Menurut Harun (2012:309), mengungkapkan bahwa
”Metonimia yang berarti ’perpindahan nama’ atau ’suatu kata mendapat arti yang
berasal dari arti kata lain’ banyak ditemukan dalam puisi Aceh.” Maksudnya, matonimia
merupakan gaya bahasa yang terdapat dalam syair atau puisi yang memiliki maksud
mengibaratkan sesuatu yang memiliki kesesuaian antara kedua benda tersebut,
dikarenakan adanya kesamaan sikap atau kedudukan sesuatu hal atau benda.
Contohnya:
Keureuléng mie meuhat keu panggang
Keureuléng ngang meuhat keu paya
(Harun, 2012:309)
Contoh di atas memberikan ibarat tentang
suatu kebiasaan yang dilakukan oleh suatu benda hidup, yaitu ’kerling kucing
pasti pada ikan (panggang)’ dan ’kerling bangau pasti pada ikan (kodok) di
rawa-rawa.
5)
Personifikasi
Menurut Harun (2012:311), menyatakan bahwa
”Personifikasi merupakan salah satu gaya bahasa yang paling banyak digunakan
dalam karya sastra, bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Gaya bahasa ini
berusaha mengestetiskan komunikasi dengan cara meng-’insan’-kan benda-benda
atau memperlakukan benda sebagai manusia; berbuat atau bekerja sebagaimana
layaknya manusia.” Maksudnya, gaya bahasa personifikasi merupakan gaya bahasa
yang digunakan dalam lirik syair atau puisi dengan mengumpamakan suatu benda
seperti kodrat manusia, baik dalam melakukan sesuatu hal maupun dalam bersikap.
Contohnya:
Jak rang jak bintéh
Jak pha jak gatéh
(Harun, 2012:311)
Contoh di atas menjelaskan tentang gaya bahasa
personifikasi yang mengumpamakan benda mati seolah-olah hidup dan berprilaku
layaknya manusia. Seperti ’berjalan balok, berjalan dinding’ seakan-akan balok
dan dinding sedang berjalan seperti jalannya paha dan betis pada baris kedua.
6)
Hiperbola
Menurut Harun (2012:313), menyatakan bahwa ”Gaya
bahasa hiperbola adalah kiasan yang berusaha membesar-besarkan sesuatu sehingga
diperoleh efek tertentu yang diinginkan oleh penyair. Gaya bahasa ini sering
digunakan dalam puisi untuk melukiskan suatu kemenangan, kekalahan, kesedihan, dan
duka lara.” Maksudnya, gaya bahasa hiperbola adalah gaya bahasa yang digunakan
dalam syair atau puisi untuk mendeskripsikan sesuatu hal atau benda secara
berlebih-lebihan bahkan tidak sesuai dengan kenyataannya.
Contohnya:
Meunyo jeuet buet jaroe
U công duroe pih seulamat
Meunyo h’an jeuet buet jaroe
Atra lam peutoe pih kiamat
(Harun, 2012:313)
Contoh di atas merupakan
pendeskripsian dari gaya bahasa hiperbola yaitu seperti pada baris pertama dan
kedua disebutkan bahwa ’siapapun yang pandai (terampil) pekerjaan tangan’ maka
dia ’akan selamat meskipun berada di atas duri’ adalah kiasan yang
dilebih-lebihkan. Begitu juga dengan baris keempat, adanya kata ’kiamat’ tampak
terlalu berlebih-lebihan. Sebab kata ’kiamat’ merupakan sebuah terminologi
religius mengenai lenyapnya segala makhluk ciptaan Ilahi yang berakhir dengan
tidak ada lagi kehidupan di dunia ini.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa terdapat enam macam bagasa figuratif (gaya bahasa)
dalam puisi atau syair Aceh, yaitu paralelisme, simile, metafora, metonimia,
personifikasi dan hiperbola.
2.6 Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga
Buku syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga merupakan salah satu buku yang
berisi beberapa syair Aceh diantaranya adalah syair Aceh yang berjudul Wafeuet Bungong Syuruga. Isi dari buku
ini merupakan salinan dari kitab nadham Aceh karangan ulama atau pujangga Aceh
di masa lalu. Buku syair Aceh Rangkaian
Kisah Aneuk Kunci Syuruga adalah buku syair yang disusun oleh Z. A. Mohd.
Amin, dan diterbitkan oleh toko buku Gali Bireuen pada tanggal 15 September
1986.
Buku syair Aceh Rangkaian
Kisah Aneuk Kunci Syuruga yang berjudul Wafeuet
Bungong Syuruga, merupakan salah satu syair Aceh yang menceritakan tentang kisah
Sitti Fatimah Zuhra, anak Nabi Muhammad saw. yang memiliki sifat dan akhlak
yang mulia. Fatimah Zuhra merupakan istri Saidina Ali dan ibunda dari Hasan dan
Husen.
2.7 Biografi Z. A. Mohd. Amin
Z. A. Mohd. Amin adalah penyusun buku syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga. Beliau merupakan salah satu
penyair Aceh yang lahir pada tanggal 05 April 1961 di kelurahan Geudong-geudong,
desa Blang Reulieng, Kec. Kota Juang, Kab. Bireuen, Aceh.
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan
dan Jenis Penelitian
Pendekatan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Hal
ini dikarenakan data hasil penelitian berbentuk penjelasan atau
deskripsi yaitu berupa data-data hasil penelitian secara aktual, artinya data
yang akan dianalisis merupakan hasil penelitian saat ini, bukan penelitian
terdahulu atau masa yang akan datang.
Menurut Kutha Ratna (2009:47),
mengungkapkan bahwa ”Pendekatan
kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah yaitu data dalam
hubungannya dengan konteks keberadaannya. Objek penelitian bukan gejala sosial
sebagai bentuk substantif melainkan makna-makna yang terkandung dibalik
tindakan yang justru mendorong timbulnya gejala sosial tersebut. Dalam hubungan
inilah pendekatan kualitatif dianggap sama dengan pemahaman. Sesuai dengan
namanya, pendekatan ini mempertahankan nilai-nilai sehingga pendekatan ini
dipertentangkan dengan pendekatan kualitatif yang berarti bebas nilai”.
23
|
3.2 Data dan Sumber Data
Data dalam penelitian ini adalah kata-kata dan kalimat-kalimat dalam syair Aceh yang mengandung bahasa
figuratif, pada judul Wafeuet Bungong
Syuruga dalam syair Aceh Rangkaian
Kisah Aneuk Kunci Syuruga karya Z. A.
Mohd. Amin, halaman 77 sampai 114.
Sedangkan sumber data penelitian
adalah buku syair Aceh Rangkaian
Kisah Aneuk Kunci Syuruga karya Z. A.
Mohd. Amin.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Langkah-langkah pengumpulan data dalam
penelitian hermeneutik ini adalah
sebagai berikut :
1)
Peneliti
membaca syair Aceh Rangkaian Kisah
Aneuk Kunci Syuruga karya Z. A. Mohd. Amin,
khususnya syair Wafeuet Bungong Syuruga
halaman 77 sampai 114.
2)
Peneliti
mencari data-data berupa bahasa figuratif yang terdapat dalam syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga
karya Z. A. Mohd. Amin yaitu pada
judul Wafeuet Bungong Syuruga halaman
77 sampai 114.
3)
Peneliti
mengelompokkan data-data tersebut sesuai dengan jenis bahasa figuratifnya
masing-masing untuk dianalisis.
3.4 Teknik Analisis Data
Data
dalam penelitian ini diolah dengan menggunakan teknik analisis secara
kualitatif yaitu menganalisis bahasa figuratif dalam syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga
karya Z. A. Mohd. Amin. Menurut penjelasan Sugiono (2009:337), mengungkapkan bahwa ”Analisis data dalam penelitian kualitatif
dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung dan setelah selesai
pengumpulan data dalam periode tertentu”.
Data tersebut dianalisis dengan menggunakan teori Miles dan
Huberman. Miles dan Huberman (Sugiono 2009:337), mengemukakan bahwa ”Aktifitas dalam analisis kualitatif
dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus sampai tuntas
sehingga datanya sudah jenuh. Aktifitas dalam analisis data yaitu mereduksi
data, menyajikan data dan menyimpulkan data”.
Adapun langkah-langkah yang ditempuh
dalam pengolahan data adalah mengolah data menurut jenisnya, menganalisis
penggunaan bahasa figuratif dan menyimpulkannya.
1)
Mereduksi
data
Tahap mereduksi
data mulai dilakukan melalui proses penyeleksian, identifikasi dan
pengklasifikasian. Penyeleksian dan pengidentifikasian merupakan kegiatan untuk
menyeleksi dan mengidentifikasi data-data pada kategori jenis bahasa figuratif
yang terdapat dalam
syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci
Syuruga karya Z. A. Mohd. Amin. yaitu pada judul Wafeuet Bungong Syuruga halaman 77
sampai 114. Tahap
pengklasifikasian merupakan proses yang dilakukan untuk mengklasifikasikan
data, memilih data dan mengelompokkan data.
2)
Menyajikan
Data
Menyajikan Data merupakan kegiatan pengelompokkan
data melalui tahap reduksi data pada kategori jenis bahasa figuratif
yang terdapat dalam
syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci
Syuruga karya Z. A. Mohd. Amin. yaitu pada judul Wafeuet Bungong Syuruga halaman 77
sampai 114.
3)
Menarik
Simpulan
Menarik simpulan dilakukan setelah mengikuti dua tahap.
Simpulan ditarik setelah data disusun dan diperiksa kembali. Selanjutnya,
didiskusikan dengan pembimbing. Setelah proses ini dilalui, hasil akhir
penelitian analisis bahasa figuratif dalam syair Aceh Rangkaian
Kisah Aneuk Kunci Syuruga karya Z. A.
Mohd. Amin. lalu disajikan dalam
bentuk laporan penelitian.
HASIL
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
Adapun hasil penelitian tentang bahasa
figuratif dalam Syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga karya Z.
A. Mohd. Amin, yaitu pada judul Wafeuet
Bungong Syuruga, halaman 77 sampai 114, maka penulis menjabarkan bahasa
figuratif tersebut sebagai berikut :
Data 1
Hana neupeugot pesta meuriah
Jeunamee muda hana mupaksa
Hana keuleumbu deungon peuratah
Hana peng angoh meujuta-juta
(bait
ke 10, halaman 78, paralelisme)
Data 2
Wafeut di Nabi meuguncang Arasy
Wafeut Fatimah meuguncang donya
Tinggai quru’an sajan ngon sunnah
Talou
nyang kukoh mumat beurata
(bait
ke 12, halaman 79, simile)
Data 3
Aneuk neupeudong diateuh batee
Pubasah ulee ple ie bak muka
Tijoh ie mata sigra meuree-ree
Fatimah neuthee ajai rab teuka
(bait
ke 15, halaman 79, hiperbola)
Data 4
Dari ulee phon sampou u gaki
Poma peusuci aneuk ban dua
Dang neu-uet tuboh aneuk boh hate
Ie
mata hile meulumba-lumba
(bait
ke 17, halaman 79, hiperbola)
Data
5
Saudara ulon bandum katan lee
Ka habeh meucre ngon donya fana
27
|
Sabab keunan rot meuhat lon pike
Nyankeuh jeut sabe tijoh ie mata
(bait
ke 22, halaman 80, metafora predikatif)
Data
6
Neucok lee aneuk peu’ek bak teumpat
Uroe katroh hat buka puasa
Neusok teuleukom sembahnyang Magreb
Sunat ngon wajeb reunggang hana bla
(bait
ke 25, halaman 81, metonimia)
Data
7
Oh teulheuh saleum tamong lam wirid
Beungoh ngon seupot jeub-jeub kutika
Tahlil dan tahmid baca seulaweut
Hana tom lupot sabe keurija
(bait
ke 26, halaman 81, metafora predikatif)
Data
8
Suloh nyang akhe sabe neubeudoh
Oh teulheuh suboh le macam neuba
Neubeut quru’an seulaweut sunggoh
Zikir pih neuboh bermacam rupa
(bait
ke 27, halaman 81, paralelisme)
Data
9
Saidina Ali sang meuri ragou
Hate neuh wang wou di dalam dada
Hate ngon jantong meutampou-tampou
Neubeudoh neuwou laju neugisa
(bait
ke 51, halaman 85, hiperbola)
Data
10
Ali neukalon Fatimah saket
Laju meureb-reb tijoh ie mata
Kareuna Nabi kalheuh neuwasiet
Fatimah wafeut buleun puasa
(bait
ke 53, halaman 85, hiperbola)
Data
11
Siluroh tuboh hanjeut lee megrak
Jarou lon peujak hana lee rasa
Langkah raseuki ohnou neubri hak
Lon keubah sinyak sajan ayahda
(bait
ke 56, halaman 86, metafora predikatif)
Data
12
Katroh kutika jeumba bak Allah
Lon seutot ayah saidil ambiya
Lon tinggai judo pahlawan meugah
Lon wou bak Allah u nanggrou baqa
(bait
ke 57, halaman 86, paralelisme)
Data
13
Donya akhirat bak saboh lampoh
Bak sapat piyoh yub payong raya
Iman iseulam bandum beu kokoh
Tapeukong saoh peulayeue behtra
(bait
ke 61, halaman 87, paralelisme)
Data
14
Nyang teungoh iman keunan peniyoh
Bak saboh lampoh sajan Auliya
Lon tinggai duson nanggrou Madinah
Ulon lon minah lam donya fana
(bait
ke 63, halaman 87, paralelisme)
Data
15
Batee di pante pudou ngon intan
Alon geulumbang ban su biola
Tujoh wareuna ie dalam kulam
Bandum geulumbang pujou Rabbana
(bait
ke 66, halaman 88, personifikasi)
Data
16
Riyeuek meuhalon su macam-macam
Tujoh ribee thon sang sikutika
Di bineh pante macam tanaman
Sou nyang troh keunan hate geumbira
(bait
ke 67, halaman 88, hiperbola)
Data
17
Hana nyang lahe kadang na baten
Kadang na ngeuren hate tan rila
Hanjeut han teupeh aweuek ngon reukan
Geutanyou insan ciet ka biasa
(bait
ke 73, halaman 89, metonimia)
Data
18
Masa temariet gata ngon peudeueng
Lon sangka ureueng tasom lee gata
Meu’ah deesya lon dilee teusareueng
Nyang na ban bandum dalam ngon luwa
(bait
ke 75, halaman 89, hiperbola)
Data
19
Fatimah mariet teuman ngon aneuk
Teungoh neugusuek neucom ngon neuwa
Pumeu’ah bunda wahe e aneuk
Kadang meusireuek nariet nyang gasa
(bait
ke 77, halaman 89, metafora predikatif)
Data
20
Meu’ah keubunda banta boh hate
Baten ngon lahe alang ngon cupa
Kadang na bunda haba nyang singke
Jinou laju lee peu meuah deesya
(bait
ke 78, halaman 90, hiperbola)
Data
21
Masa lon tingkue lon peu ek peutron
Masa lon ayon peudodi gata
Kadang meuseumpom lon lhom lam ayon
Meuah keu ulon ban dua gata
(bait
ke 79, halaman 90, paralelisme)
Data
22
Kadang meuseumpom bak lon lhom ulee
Bunda tan geuthee ka saket gata
Kadang meuseupet masa lon pangkee
Poma tan geuthee meularat gata
(bait
ke 80, halaman 90, paralelisme)
Data
23
Kadang lam ayon masa ulon cok
Jarou meuculok bak tuboh gata
Ciet tan lon saja hana teujalok
Bunda lam sibok le peu keurija
(bait
ke 81, halaman 90, hiperbola)
Data
24
Bak lon sibu ie di ateuh badan
Kadang meu janthang ngon talou tima
Kadang jan teulat lon boh makanan
Laen nibak nyan ulon dhot gata
(bait
ke 83, halaman 90, paralelisme)
Data
25
Aneuk ban dua rasa ka reuloh
Sabab geuteu’oh gobnyan meu deesya
Laen lom wasieut Fatimah peutroh
Ali katijoh manou ie mata
(bait
ke 85, halaman 91, hiperbola)
Data
26
Masa nyan laju meulu mangat bee
Layoh ka layee bungong syuruga
Sampou bak tanggoh katroh bak watee
Ban kheun panghulee hana meutuka
(bait
ke 87, halaman 91, metonimia)
Data
27
Aneuk mantong cut bunda ka neuwou
Aduen ngon adou hanco that rasa
Oh sare wafeut Fatimah sidrou
Hana sou tupue wareh dilingka
(bait
ke 93, halaman 92, hiperbola)
Data
28
Hingga sare troh keudeh bak kubu
Geupeuduek laju bungong syuruga
Uruek geubuka ngon sigra laju
Dalam buleun hu geumilang cahya
(bait
ke 110, halaman 95, metonimia)
Data
29
Keunou bak gata kamou jak keubah
Tuboh Fatimah aneuk Maulana
Keunou bak gata kamou peujok sah
Geunaseh Allah bungong syuruga
(bait
ke 113, halaman 95, paralelisme)
Data
30
Tapapah beujroh wahe e kubu
Meunyou keuh ibu mukmin lam donya
Aneuk di Nabi nyang that neurindu
Malam nyou laju neujok bak gata
(bait
ke 114, halaman 96, personifikasi)
Data
31
Nyou keuh cut puteh geunaseh Allah
Jinou lon keubah sinou bak gata
Jaweub lee kubu laju ngon pantah
Ngon kheundak Allah ban manusia
(bait
ke 117, halaman 96, personifikasi)
Data
32
Lon turi hana ma Hasan Husen
Nyang gata meusyen ateuh rueng donya
Hana lon turi judo pahlawan
Hana lon tuban aneuk Saidina
(bait
ke 119, halaman 96, paralelisme)
Data
33
Kamou meukalon asou lam hate
Baten ngon lahe jeut kamou baca
Nyang na seulamat iman lam hate
Bak sukreut akhe bunou pue jiba
(bait
ke 122, halaman 97, paralelisme)
Data
34
Nyang na seulamat nibak godaan
Nabi ngon Tuhan hana jituka
Nyang na seudia beukai amalan
Kamou singkirkan sigala bahya
(bait
ke 124, halaman 97, paralelisme)
Data
35
Nyang tan bak sukreut seulamat iman
Azeub siksaan bermacam rupa
Tuleung lam tuboh nuroh meukhan-khan
Bahthat bu manyang pangkat lam donya
(bait
ke 126, halaman 98, hiperbola)
Data
36
Abi Zar deungo kubu meututo
Masa nyan laju teuot jeut geumpa
Teuka teumakot hayuet ngon kuyu
Neudeungo kubu jeut meu suara
(bait
ke 129, halaman 98, hiperbola)
Data
37
Oh bungoh urou sampou lee meugah
Ureueng Madinah hate dum duka
Sabab hana lee Siti Fatimah
Nanggrou Madinah ka padam cahya
(bait
ke 132, halaman 99, metafora kalimatif)
Data
38
Ohban geudeungo beuklam geutanom
Bandum geujak gom Ali Murthala
Beungeh keu Ali inong ngon agam
Pakon jeut meunan geubri thee hana
(bait
ke 135, halaman 99, metafora predikatif)
Data
39
Ulon tan silab drou neuh tan salah
Ulon meutuah drou neuh bahgia
Meunan neuwasiet lee Rasulullah
Han lon jeut ubah takot binasa
(bait
ke 145, halaman 101, paralelisme)
Data
40
Ureueng nyang seutot sayang bukan lee
Mumet-met hate tuha ngon muda
Ureueng Madinah geuwou meuree-ree
Kubu nyang teuntee geuturi hana
(bait
ke 160, halaman 103, hiperbola)
Data
41
Purumoh digob hukom pih digob
Pakon tanyou rhob tapeuhu mata
Nyang jroh tasaba bek lee tapeu rhob
Roh meutak meutob sabe syeedara
(bait
ke 162, halaman 104, paralelisme)
Data
42
Ohban lheuh kalon kubu Fatimah
Geuriwang bagah tuha ngon muda
Bandum habeh wou nanggrou Madinah
Hate dum beukah berduka cita
(bait
ke 163, halaman 104, hiperbola)
Data
43
Hasan ngon Husen heuren ngon sosah
Ohtan lee nangmbah bunda tercinta
Ali Murthala dada sang beukah
Ohtan Fatimah that duka cita
(bait
ke 167, halaman 104, hiperbola)
Data
44
Hasan ngon Husen mumada dilee
Meunan ciet teuntee Ali Murthala
Bacut ibarat nasihat guree
Sou nyang tem angkee raya that guna
(bait
ke 168, halaman 105, metafora predikatif)
Data
45
Seudang Fatimah meugah ka teuntee
Nyang tamong dilee dalam syuruga
Bak kubu hana jipileh bulee
Hana jimalee aneuk Maulana
(bait
ke 187, halaman 108, personifikasi)
Data
46
Nyang geukheun donya na dua macam
Nyang phon tamselan bangke nyang hina
Ureueng nyang seutot asee geupeunan
Rasul janjongan meunan meusabda
(bait
ke 193, halaman 109, metafora nominatif)
Data
47
Bijeh nyang talhong dalam donya nyou
Laba ngon rugou peugot keunira
Meunyou bijeh got meuhat meuasou
Meunyou mupalou jadeh seungsara
(bait
ke 195, halaman 109, simile)
Data
48
Nyang saboh macam naban keulidee
Nyang saboh lagee umpama bue kra
Ladom ban uleue ladom ban asee
Meureutoh lagee takalon rupa
(bait
ke 199, halaman 110, simile)
Data
49
Deungon beureukat Nabi Muhammad
Neubri seulamat kamou sineuna
Deungon mukjizat panghulee ummat
Kamou bek sesat gadoh di mahsya
(bait
ke 202, halaman 110, paralelisme)
Data
50
Sou-sou nyang deungo bak gaseh hate
Keu aneuk Nabi Fatimah Zahra
Neubri beu inseuh teuka weueh hate
Bek neubri cayee iman lam dada
(bait
ke 207, halaman 111, hiperbola)
Data
51
Tacok donya nyou sikada hajat
Bek sampe liwat takot binasa
Beujroh takeukang nafsu ngon syahwat
Bek sampe sisat tablou nuraka
(bait
ke 211, halaman 112, paralelisme)
Data
52
Bek roh taseunoh peunajoh kaphe
Tapeutheuen hate bek keunong daya
Donya keu mukmin tutopan misee
Oh dudou page balah syuruga
(bait
ke 219, halaman 113, metonimia)
Data
53
Sideh keuh nanggrou teumpat seunangan
Hana le geutham pue nyang seulera
Sideh keuh teumpat meuhat nyang aman
Hana gangguan lagee lam donya
(bait
ke 221, halaman 113, paralelisme)
4.2 Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian tentang bahasa
figuratif dalam Syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga karya Z.
A. Mohd. Amin, yaitu pada judul Wafeuet
Bungong Syuruga, halaman 77 sampai 114, maka penulis menjelaskan pembahasan sebagai berikut :
1)
Paralelisme
Data 1 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan
bahasa figuratif, yaitu paralelisme. Syair tersebut menunjukkan adanya kesejajaran makna pada baris
ketiga dan keempat. Kata jeunamee, keuleumbu dan peng
merupakan objek yang memperlihatkan pola yang sama dalam setiap baris syair
tersebut.
Data 8 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang
mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu paralelisme. Syair tersebut menunjukkan adanya
kesejajaran makna pada baris ketiga dan keempat. Kata neubeut, dan meuzikir
merupakan predikat yang memperlihatkan pola yang sama dalam kedua baris syair
tersebut, yaitu pekerjaan yang dilakukan oleh Sitti Fatimah.
Data 12 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang
mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu paralelisme. Syair tersebut menunjukkan adanya
kesejajaran makna pada baris kedua, ketiga dan keempat. Kata seutot, tinggai, dan woe
merupakan predikat yang memperlihatkan pola yang sama dalam ketiga baris syair
tersebut, yaitu pekerjaan yang dilakukan oleh Sitti Fatimah. Selain itu, pola
yang sama juga terlihat dalam keterangan keikutsertaan pada baris kedua dan
keempat, yaitu ayah saidil ambiya dan
bak Allah.
Data 13 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang
mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu paralelisme. Syair tersebut menunjukkan adanya
kesejajaran makna pada baris pertama dan kedua. Kata saboh lampoh, dan payong raya
merupakan keterangan tempat yang memperlihatkan pola yang sama dalam kedua
baris syair tersebut, yaitu suatu tempat berkumpulnya manusia di akhirat
nantinya.
Data 14 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang
mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu paralelisme. Syair tersebut menunjukkan adanya
kesejajaran makna pada baris ketiga dan keempat. Kata tinggai, dan minah
merupakan suatu predikat yang memperlihatkan pola yang sama dalam kedua baris
syair tersebut, yaitu suatu pekerjaan yang dilakukan oleh Sitti Fatimah saat
tiba ajalnya. Selain itu, kesejajaran makna juga terlihat pada kedua baris
tersebut, yaitu nanggrou Madinah dan donya fana, yang merupakan keterangan
tempat.
Data 21 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang
mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu paralelisme. Syair tersebut menunjukkan adanya kesejajaran
makna pada baris kedua dan ketiga. Kata tingkue,
dan ayon merupakan suatu predikat
yang memperlihatkan pola yang sama dalam kedua baris syair tersebut, yaitu
suatu pekerjaan yang dilakukan oleh Sitti Fatimah terhadap kedua anaknya Hasan
dan Husen.
Data 22 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang
mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu paralelisme. Syair tersebut menunjukkan adanya
kesejajaran makna pada baris pertama dan ketiga. Kata meuseumpom, dan meuseupet
merupakan suatu predikat yang memperlihatkan pola yang sama dalam kedua baris
syair tersebut, yaitu suatu pekerjaan yang dilakukan oleh Sitti Fatimah
terhadap kedua anaknya Hasan dan Husen. Selain itu, kesejajaran makna juga
terlihat pada baris kedua dan keempat, yaitu pada Bunda tan geuthee ka saket gata dan Poma tan geuthee meularat gata, yang menjelaskan kondisi yang
dialami oleh kedua anak Sitti Fatimah.
Data 24 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang
mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu paralelisme. Syair tersebut menunjukkan adanya
kesejajaran makna pada baris kedua dan ketiga. Kata talou tima, dan makanan
merupakan suatu objek yang memperlihatkan pola yang sama dalam kedua baris
syair tersebut, yaitu suatu benda yang diberikan oleh Sitti Fatimah terhadap
kedua anaknya Hasan dan Husen.
Data 29 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang
mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu paralelisme. Syair tersebut menunjukkan adanya
kesejajaran makna pada baris pertama dan ketiga. Kata jak keubah, dan peujok sah merupakan suatu predikat
yang memperlihatkan pola yang sama dalam kedua baris syair tersebut, yaitu
suatu pekerjaan yang dilakukan oleh Ali dan kedua anaknya Hasan dan Husen saat
mengantar jasad Sitti Fatimah ke liang lahar.
Data 32 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang
mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu paralelisme. Syair tersebut menunjukkan adanya
kesejajaran makna pada baris pertama, ketiga dan keempat. Kata ma Hasan Husen, judo pahlawan, dan aneuk
Saidina merupakan suatu keterangan milik yang memperlihatkan pola yang sama
dalam ketiga baris syair tersebut, yaitu Sitti Fatimah merupakan ibunda Hasan
dan Husen, ia juga istri Ali, dan anak dari Saidina.
Data 33 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang
mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu paralelisme. Syair tersebut menunjukkan adanya
kesejajaran makna pada baris pertama dan kedua. Kata kamou meukalon, dan kamou
baca merupakan suatu predikat yang memperlihatkan pola yang sama dalam
kedua baris syair tersebut, yaitu suatu ujaran yang dituturkan oleh liang lahar
ketika jasad Sitti Fatimah sampai dan hendak dikebumikan.
Data
34 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet
Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu paralelisme. Syair tersebut menunjukkan adanya
kesejajaran makna pada baris pertama dan ketiga. Kata nibak godaan, dan beukai
amalan merupakan suatu pelengkap yang memperlihatkan pola yang sama dalam
kedua baris syair tersebut, yaitu suatu hal yang menjadikan suatu jasad tidak
akan disiksa di alam kubur dan akan mendapat kenikmatan yang tak terhingga.
Data 39 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang
mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu paralelisme. Syair tersebut menunjukkan adanya
kesejajaran makna pada baris pertama dan kedua. Kalimat Ulon
tan silab drou neuh tan salah, dan Ulon
meutuah drou neuh bahgia merupakan suatu kalimat yang memperlihatkan pola
yang sama dalam kedua baris syair tersebut, yaitu suatu pernyataan yang
dinyatakan oleh Saidina Ali kepada masyarakat bahwa tidak ada yang salah
diantara mereka dan kedua mereka merupakan hamba Allah yang baik budi dan akan
akan mendapatkan kebahagiaan.
Data 41 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang
mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu paralelisme. Syair tersebut menunjukkan adanya
kesejajaran makna pada baris pertama dan ketiga. Kalimat Purumoh
digob hukom pih digob, dan Nyang jroh
tasaba bek lee tapeu rhob merupakan suatu kalimat yang memperlihatkan pola
yang sama dalam kedua baris syair tersebut, yaitu suatu hal yang sebaiknya
dilakukan agar tidak terjadi permusuhan antarsesama.
Data 49 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang
mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu paralelisme. Syair tersebut menunjukkan adanya
kesejajaran makna pada baris pertama dan ketiga. Kalimat Deungon
beureukat Nabi Muhammad, dan Deungon
mukjizat panghulee ummat merupakan suatu kalimat yang memperlihatkan pola
yang sama dalam kedua baris syair tersebut, yaitu suatu janji Allah kepada kaum
Nabi Muhammad yang akan mendapatkan syafaat dari nabi kepada ummatnya yang
beriman dan bertakwa. Selain itu, kesejajaran makna juga terlihat pada baris
kedua dan keempat, yaitu Neubri seulamat
kamou sineuna dan Kamou bek sesat
gadoh di mahsya, yang merupakan suatu doa hamba Allah yang beriman agar
selamat dan tidak tersesat di padang mahsyar.
Data 51 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang
mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu paralelisme. Syair tersebut menunjukkan adanya
kesejajaran makna pada baris kedua dan keempat. Hal ini terlihat pada kalimat Bek sampe liwat takot binasa, dan Bek sampe sisat tablou nuraka merupakan
kalimat yang memperlihatkan pola yang sama dalam kedua baris syair tersebut,
yaitu suatu hal yang harus selalu diingat dan dijadikan pedoman agar manusia
selamat di dunia dan akhirat.
Data
53 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet
Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu paralelisme. Syair tersebut menunjukkan adanya
kesejajaran makna pada baris pertama dan ketiga. Kalimat Sideh
keuh nanggrou teumpat seunangan, dan Sideh
keuh teumpat meuhat nyang aman merupakan suatu kalimat yang memperlihatkan
pola yang sama dalam kedua baris syair tersebut, yaitu suatu tempat yang kekal
bagi manusia, tempat yang penuh dengan kesenangan dan aman dari berbagai
gangguan. Selain itu, kesejajaran makna juga terlihat pada baris kedua dan
keempat, yaitu Hana le geutham pue nyang
seulera dan Hana gangguan lagee lam
donya, yang merupakan suatu janji Allah kepada setiap hambanya yang
bertakwa ketika di akhirat kelak.
2)
Simile
Data 2 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang
mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu simile. Syair tersebut menjelaskan adanya persamaan yang terdapat pada
baris pertama dan kedua dengan menggunakan kata meu- yang berarti seperti atau
bagai. Hal ini terlihat dalam kedua baris syair di atas, yaitu wafat nabi bagai menggoncangkan langit,
dan wafat Fatimah bagai menggoncangkan
dunia.
Data 47 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang
mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu simile. Syair tersebut menjelaskan adanya persamaan yang terdapat pada
baris ketiga dan keempat dengan menggunakan kata meu- yang berarti seperti atau
bagai. Hal ini terlihat dalam kedua baris syair di atas, yaitu seperti benih yang baik maka akan menghasilkan
mutu yang baik pula, dan seperti
benih yang tidak baik maka akan menghasilkan mutu yang tidak baik pula.
Data 48 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang
mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu simile. Syair tersebut menjelaskan adanya persamaan yang terdapat pada
baris pertama dan kedua dengan menggunakan kata nyang- yang berarti bagai. Hal
ini terlihat dalam kedua baris syair di atas, yaitu bagai suatu kaum seperti perbuatan keledai, dan bagai suatu tempat seperti perbuatan kera.
3)
Metafora
(1) Metafora Nominatif
Data
46 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet
Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu metafora
nominatif. Syair tersebut
mendeskripsikan lambang kiasnya yang terdapat
hanya terdapat pada nomina kalimatnya saja, yaitu pada baris kedua dan ketiga.
Kata bangke nyang hina dan asee geupeunan, bukanlah dimaksudkan sebagai suatu benda pada kenyataannya. Namun,
dalam bait syair tersebut hanya memberikan lambang kias yang memberikan
penjelasan bahwa manusia yang tidak beriman dan bertakwa kepada Allah
diumpamakan layaknya bangkai yang sangat menjijikkan dan anjing yang bernajis.
(2) Metafora Predikatif
Data
5 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet
Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu metafora
predikatif. Syair tersebut
mendeskripsikan tentang kata meucre, bukanlah
dimaksudkan sebagai aktivitas bercerai sebagaimana yang dilakukan oleh manusia.
Namun, dalam bait syair tersebut hanya memberikan lambang kias kepada
predikatnya saja, yaitu Ka habeh meucre
ngon donya fana.
Data
7 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet
Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu metafora
predikatif. Syair tersebut
mendeskripsikan tentang kata tamong, bukanlah
dimaksudkan sebagai aktivitas memasuki suatu ruang sebagaimana yang dilakukan
oleh manusia. Namun, dalam bait syair tersebut hanya memberikan lambang kias
kepada predikatnya saja, yaitu Oh
teulheuh saleum tamong lam wirid.
Data
11 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet
Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu metafora
predikatif. Syair tersebut
mendeskripsikan tentang kata peujak, bukanlah
dimaksudkan sebagai aktivitas perintah untuk berjalan sebagaimana yang
dilakukan manusia oleh anggota tubuh yaitu kaki. Namun, dalam bait syair
tersebut hanya memberikan lambang kias kepada predikatnya saja, yaitu Jarou lon peujak hana lee rasa, yaitu
memberikan kiasan terhadap anggota tubuh manusia yaitu tangan.
Data 19 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang
mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu metafora predikatif. Syair tersebut mendeskripsikan tentang
kata meusireuek, bukanlah dimaksudkan
sebagai kejadian terjatuhnya manusia yang memberi efek sakit pada anggota tubuh manusia, yaitu kaki. Namun, dalam
bait syair tersebut hanya memberikan lambang kias yang memberikan keterangan
terhadap keadaan suatu subjek, seperti Kadang
meusireuek nariet nyang gasa, yaitu memberikan kiasan terhadap ucapan manusia
yang terlanjur keluar dengan kasar.
Data 38 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang
mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu metafora predikatif. Syair tersebut mendeskripsikan tentang
kata gom atau menutupi dengan sesuatu
benda yang besar, bukanlah
dimaksudkan sebagai suatu pekerjaan manusia dengan memakaikan suatu penutup.
Namun, dalam bait syair tersebut hanya memberikan lambang kias yang memberikan
maksud bahwa kaum madinah menjumpai Ali dengan berbagai pertanyaan yang
diajukan.
Data 44 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang
mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu metafora predikatif. Syair tersebut mendeskripsikan tentang
kata angkee, bukanlah dimaksudkan
sebagai suatu pekerjaan yang dilakukan menusia dengan menggunakan anggota tubuh
yaitu tangan yang memikul beban suatu benda. Namun, dalam bait syair tersebut
hanya memberikan lambang kias yang memberikan penjelasan bahwa nasihat yang
diberikan oleh guru haruslah digunakan dan diamalkan.
(3) Metafora Kalimatif
Data
37 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet
Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu metafora
kalimatif. Syair tersebut
mendeskripsikan lambang kiasnya yang digunakan
tidak terbatas pada nomina dan predikatnya saja, tetapi seluruh komponen dalam
kalimat metaforis, yaitu kalimat Nanggrou
Madinah ka padam cahya. Kalimat tersebut menunjukkan adanya lambang kias
kata sudah padam dengan cahaya yang tidak bisa dipisahkan yaitu
pada nomina dan predikatnya.
4)
Metonimia
Data 6 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang
mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu metonimia. Syair tersebut memberikan ibarat yaitu
pada kata reunggang yang biasanya
menjelaskan tentang keadaan letak atau posisi suatu benda. Namun pada baris
ketiga syair di atas, kata reunggang
memberikan suatu ibarat yang memiliki makna jarak, yaitu sunat ngon wajeb reunggang hana bla.
Data 17 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang
mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu metonimia. Pada baris ke tiga yaitu Hanjeut han teupeh aweuek ngon reukan,
memberikan suatu ibarat tentang keadaan kehidupan manusia dalam berkeluarga,
tentunya akan ada saat kapan terjadi kesalahpahaman atau ketidakcocokan, karena
selalu hidup bersama. Layaknya seperti tempat penggoreng dengan pengaduknya,
yang selalu bersama pasti akan sering tersenggol.
Data 26 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang
mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu metonimia. Pada baris kedua yaitu Layoh ka layee bungong syuruga,
memberikan suatu ibarat bahwa Sitti Fatimah yang disamakan dengan sekuntum
bunga syuruga yang sangat wangi dan ketika ia wafat laksana telah layunya bunga
tersebut. Hal ini dikarenakan, Sitti Fatimah berakhlak mulia dan ia juga
merupakan anak Saidina yang paling dikasihi.
Data 28 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang
mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu metonimia. Pada baris kedua yaitu Geupeuduek laju bungong syuruga,
memberikan suatu ibarat bahwa Sitti Fatimah yang disamakan dengan sekuntum
bunga syuruga yang sangat wangi dan ketika ia wafat laksana telah layunya bunga
tersebut. Hal ini dikarenakan, Sitti Fatimah berakhlak mulia dan ia juga
merupakan anak Saidina yang paling dikasihi.
Data 52 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang
mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu metonimia. Syair tersebut memberikan ibarat yaitu
pada kata tutopan misee yang biasanya
menjelaskan tentang keadaan suatu benda yang ditutupi oleh kain. Namun pada
baris ketiga syair di atas, kata tutopan
misee memberikan suatu ibarat yang memiliki makna cukup dan tidak
berlebihan, yaitu hanya makan secukupnya saja.
5)
Personifikasi
Data
15 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet
Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu personifikasi. Syair tersebut menunjukkan
pengumpamaan benda mati seolah-olah hidup dan berprilaku layaknya manusia dan
memberikan persamaan suatu benda. Hal ini terlihat pada baris keempat, yaitu Bandum geulumbang pujou Rabbana. Jadi,
seakan-akan gelombang bisa melakukan perbuatan memuji layaknya manusia.
Data 30 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan
bahasa figuratif, yaitu personifikasi. Syair tersebut menunjukkan pengumpamaan benda mati seolah-olah
hidup dan berprilaku layaknya manusia dan memberikan persamaan suatu benda. Hal
ini terlihat pada baris keempat, yaitu Tapapah
beujroh wahe e kubu. Jadi, seakan-akan kubur bisa melakukan perbuatan
menjaga dan membimbing jasad seperti layaknya yang dilakukan oleh manusia.
Data 31 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang
mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu personifikasi. Syair tersebut menunjukkan pengumpamaan
benda mati seolah-olah hidup dan berprilaku layaknya manusia dan memberikan
persamaan suatu benda. Hal ini terlihat pada baris keempat, yaitu Jinou lon keubah sinou bak gata. Jadi,
seakan-akan kubur bisa menjadi tempat dan menerima layaknya manusia terhadap
tamu yang datang kerumahnya.
Data 45 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang
mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu personifikasi. Syair tersebut menunjukkan pengumpamaan
benda mati seolah-olah hidup dan berprilaku layaknya manusia dan memberikan
persamaan suatu benda. Hal ini terlihat pada baris ketiga dan keempat, yaitu
pada kata jipileh bulee atau memilih
bulu dan jimalee atau malu. Kedua kata tersebut selayaknya
disandangkan dengan perilaku manusia dan bukan kubur.
6)
Hiperbola
Data 3 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang
mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu hiperbola. Syair tersebut mendeskripsikan suatu hal
dengan cara yang berlebih-lebihan, seperti dalam baris ketiga syair tersebut,
yaitu jatuh air mata segera deras. Hal
ini merupakan kiasan yang dilebih-lebihkan karena kata deras seharusnya lebih layak diletakkan bersama dengan nomina hujan
bukan air mata.
Data 4 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang
mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu hiperbola. Syair tersebut mendeskripsikan suatu hal
dengan cara yang berlebih-lebihan, seperti dalam baris keempat syair tersebut,
yaitu air mata mengalir secara terus
menurus tanpa henti. Hal ini merupakan kiasan yang dilebih-lebihkan karena
kata mengalir seharusnya lebih layak
diletakkan bersama dengan nomina air yang lebih banyak atau dalam wadah yang
lebih besar, misalnya air sungai bukan air mata.
Data 9 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang
mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu hiperbola. Syair tersebut mendeskripsikan suatu hal
dengan cara yang berlebih-lebihan, seperti dalam baris ketiga syair tersebut,
yaitu Hate ngon jantong meutampou-tampou.
Kata meutampou-tampou merupakan suatu
ungkapan yang dinyatakan secara berlebihan karena kata meutampou-tampou seharusnya lebih layak diletakkan bersama dengan
nomina seperti beras bukan hati manusia.
Data 10 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang
mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu hiperbola. Syair tersebut mendeskripsikan suatu hal
dengan cara yang berlebih-lebihan, seperti dalam baris kedua syair tersebut,
yaitu Laju meureb-reb tijoh ie mata.
Kata meureb-reb merupakan suatu
ungkapan yang dinyatakan secara berlebihan karena kata meureb-reb seharusnya lebih layak diletakkan bersama dengan nomina
seperti air jujuran bukan air mata manusia.
Data 16 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang
mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu hiperbola. Syair tersebut mendeskripsikan suatu hal
dengan cara yang berlebih-lebihan, seperti dalam baris ketiga syair tersebut,
yaitu Riyeuek meuhalon su macam-macam.
Penggalan baris tersebut merupakan suatu ungkapan yang dinyatakan secara
berlebihan karena kata riyeuek atau
gelombang tidak mungkin memiliki bunyi yang halus dan bermacam-macam,
seharusnya lebih layak diletakkan bersama dengan nomina seperti suatu alat
musik bukan gelombang air laut.
Data 18 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang
mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu hiperbola. Syair tersebut mendeskripsikan suatu hal
dengan cara yang berlebih-lebihan, seperti dalam baris kedua syair tersebut,
yaitu pada kata teusareueng. Kata teusareueng merupakan suatu ungkapan
yang dinyatakan secara berlebihan karena kata teusareueng seharusnya lebih layak diletakkan bersama dengan nomina
seperti batu atau benda yang lainnya yang berwujud konkrit bukan dosa manusia,
yang bersifat tidak nyata.
Data 20 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang
mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu hiperbola. Syair tersebut mendeskripsikan suatu hal
dengan cara yang berlebih-lebihan, seperti dalam baris ketiga syair tersebut,
yaitu pada kata singke. Kata singke merupakan suatu ungkapan yang
dinyatakan secara berlebihan karena kata singke
seharusnya lebih layak diletakkan bersama dengan nomina seperti gigi manusia
yang merasakan ngilu bukan perkataan/ucapan manusia.
Data 23 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang
mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu hiperbola. Syair tersebut mendeskripsikan suatu hal
dengan cara yang berlebih-lebihan, seperti dalam baris kedua syair tersebut,
yaitu pada kata meuculok. Kata meuculok merupakan suatu ungkapan yang
dinyatakan secara berlebihan karena kata meuculok
seharusnya lebih layak diletakkan bersama dengan keterangan seperti sebuah
benda yang memiliki lubangnya, misalnya kotak bukan tubuh manusia.
Data 25 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang
mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu hiperbola. Syair tersebut mendeskripsikan suatu hal
dengan cara yang berlebih-lebihan, seperti dalam baris kedua syair tersebut,
yaitu pada kata manoe atau mandi.
Kata manoe merupakan suatu ungkapan
yang dinyatakan secara berlebihan karena kata manoe seharusnya lebih layak diletakkan bersama dengan objek
seperti air sumur atau air sungai yang berjumlah banyak bukan air mata manusia.
Data 27 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang
mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu hiperbola. Syair tersebut mendeskripsikan suatu hal
dengan cara yang berlebih-lebihan, seperti dalam baris kedua syair tersebut,
yaitu pada kata hanco atau hancur.
Kata hanco merupakan suatu ungkapan
yang dinyatakan secara berlebihan karena kata hanco seharusnya lebih layak diletakkan bersama dengan objek
seperti benda yang berbentuk secara nyata, misalnya pot bunga bukan perasaan
manusia.
Data 35 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang
mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu hiperbola. Syair tersebut mendeskripsikan suatu hal
dengan cara yang berlebih-lebihan, seperti dalam baris ketiga syair tersebut,
yaitu pada kata nuroh atau jatuh dan
berguguran. Kata nuroh merupakan
suatu ungkapan yang dinyatakan secara berlebih-lebihan karena kata nuroh seharusnya lebih layak diletakkan
bersama dengan objek seperti dedaunan atau kuntum bunga yang telah layu bukan tulang
manusia.
Data 36 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang
mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu hiperbola. Syair tersebut mendeskripsikan suatu hal
dengan cara yang berlebih-lebihan, seperti dalam baris kedua syair tersebut,
yaitu pada kata geumpa atau gempa.
Kata geumpa merupakan suatu ungkapan
yang dinyatakan secara berlebih-lebihan karena kata geumpa seharusnya lebih layak diletakkan bersama dengan suatu
tempat atau benda seperti gedung atau lahan bukan teuot atau lutut yang merupakan anggota tubuh manusia.
Data 40 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang
mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu hiperbola. Syair tersebut mendeskripsikan suatu hal
dengan cara yang berlebih-lebihan, seperti dalam baris kedua dan ketiga syair
tersebut, yaitu pada kata mumet-met atau
bergerak-gerak dan kata meuree-ree. Kata
mumet-met merupakan suatu ungkapan
yang dinyatakan secara berlebih-lebihan karena kata mumet-met seharusnya lebih layak diletakkan bersama dengan suatu
benda misalnya sepeda bukan hati manusia. Begitu juga dengan kata meuree-ree seharusnya diletakkan bersama
dengan objek air yang mengalir bukan dengan kondisi manusia saat berjalan.
Data 42 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang
mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu hiperbola. Syair tersebut mendeskripsikan suatu hal
dengan cara yang berlebih-lebihan, seperti dalam baris keempat syair tersebut,
yaitu pada kata beukah atau sobek. Kata beukah merupakan suatu ungkapan yang dinyatakan secara
berlebih-lebihan karena kata beukah seharusnya
lebih layak diletakkan bersama dengan suatu benda misalnya kain bukan hati
manusia.
Data 43 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang
mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu hiperbola. Syair tersebut mendeskripsikan suatu hal
dengan cara yang berlebih-lebihan, seperti dalam baris keempat syair tersebut,
yaitu pada kata beukah atau sobek. Kata beukah merupakan suatu ungkapan yang dinyatakan secara
berlebih-lebihan karena kata beukah
seharusnya lebih layak diletakkan bersama dengan suatu benda misalnya kain
bukan dada manusia.
Data 50 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang
mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu hiperbola. Syair tersebut mendeskripsikan suatu hal
dengan cara yang berlebih-lebihan, seperti dalam baris keempat syair tersebut,
yaitu pada kata cayee atau cair. Kata cayee merupakan suatu ungkapan yang dinyatakan secara
berlebih-lebihan karena kata cayee seharusnya
lebih layak diletakkan bersama dengan suatu benda misalnya es batu atau sesuatu
benda yang memiliki sifat mencair bukan iman manusia yang tidak dapat dilihat
wujudnya hanya dapat tercermin melalui tingkahlaku dan sikapnya.
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah peneliti lakukan tentang bahasa figuratif dalam syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci
Syuruga karya Z. A. Mohd. Amin, yaitu pada judul
Wafeuet Bungong Syuruga, halaman 77
sampai 114, dapat disimpulkan bahwa terdapat 6 jenis
bahasa figuratif dalam syair Wafeuet
Bungong Syuruga, yaitu (1) paralelisme
yang terdapat dalam 17 kutipan data, (2) simile yang terdapat dalam 3 kutipan
data, (3) metafora, a) metafora nominatif yang terdapat dalam 1 kutipan data, b)
metafora predikatif yang terdapat dalam 6 kutipan data, dan c) metafora
kalimatif yang terdapat dalam 1 kutipan data, (4) metonimia yang terdapat dalam
5 kutipan data, (5) personifikasi yang terdapat dalam 4 kutipan data, dan (6) hiperbola
yang terdapat dalam 16 kutipan data. Berdasarkan data
tersebut, bahasa figuratif yang paling banyak dimunculkan penulis dalam syair Wafeuet Bungong Syuruga adalah bahasa figuratif paralelisme
dan hiperbola.
5.2 Saran
Berdasarkan simpulan di atas, maka
penulis menyarankan kepada berbagai pihak yaitu sebagai berikut :
1)
53
|
2)
Melalui penelitian ini diharapkan kepada
mahasiswa khususnya mahasiswa prodi Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah agar lebih
mendalami tentang kajian yang berhubungan dengan sastra lisan Aceh, khususnya syair
Aceh. Dengan demikian, akan lebih memperkuat jati diri mahasiswa tersebut
sebagai bagian dari mahasiswa prodi Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah.
3)
Melalui penelitian ini, peneliti mengharapkan
juga kepada prodi Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah agar memperhatikan lagi
materi perkuliahan tentang pengkajian sastra lisan Aceh melalui berbagai cara,
misalnya dengan menyajikan bahan
bacaan yang bermutu dan tenaga pendidik yang berkualitas serta ahli
dibidangnya.
A. Hamid,
Mukhlis. 2007. Sastra dan Problematika
Pembelajarannya di Aceh. Banda Aceh: Aliansi Sastrawan Aceh.
Amin, Z. A. Mohd. 1986. Syair
Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga. Geudong Bireuen: TB Gali.
Annisatul khoeriyah. http://rumoehcae.wordpress.com/karya-sastra-aceh/.
Diakses pada tanggal 27 Agustus 2013.
Endraswara,
Suwardi. 2003. Metodologi
Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Caps.
Harun, Mohd. 2012. Pengantar
Sastra Aceh. Banda Aceh: Cita Pustaka Media Perintis.
http://nawwafcom.blogspot.com/2013/05/pengertian-syair-dan-jenis-jenis-syair.html
diakses pada tanggal 25 Juni 2014.
Kutha Ratna,
Nyoman. 2010. Teori,
Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Denpasar: Pustaka Pelajar.
Moleong, Lexy J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Panitia Penyusun. 2013. Pedoman Penulisan Skripsi. Matangglumpangdua: FKIP Universitas Almuslim.
Redaksi, Tim.
2010. Kamus Dwibahasa Indonesia Aceh. Banda Aceh: Pena.
Sugiono. 2010. Metode
Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Wildan. 2010. Kaidah
Bahasa Aceh. Banda Aceh: Geuci.
55
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar