Minggu, 05 April 2015

ANALISIS BAHASA FIGURATIF DALAM SYAIR ACEH RANGKAIAN KISAH ANEUK KUNCI SYURUGA KARYA Z. A. MOHD. AMIN

BAB I
PENDAHULUAN
1.1         Latar Belakang Masalah
Bahasa adalah alat komunikasi yang paling utama bagi manusia. Melalui bahasalah manusia dapat mengungkapkan pikiran, gagasan, ide dan perasaannya  kepada seseorang. Bahkan, bahasa merupakan media yang sangat berharga dalam kehidupan manusia, hampir tidak ada satu kegiatan pun yang dilalui tanpa kehadiran bahasa. Baik melalui bahasa tulisan maupun bahasa lisan. Bahasa lisan memiliki peran penting dalam sebuah komunikasi dan juga memiliki bagian-bagian permasalahan yang sangat kompleks, yang semakin hari sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta arus globalisasi yang semakin pesat, maka semakin jauh pula tonggak perjalanan dan perkembangan bahasa lisan tersebut.
Salah satu bagian dari bahasa lisan ialah bahasa yang bernilai sastra, bahkan tidak bisa dipungkiri kalau perkembangan sastra lisan Aceh seperti mengalami problematika tersendiri. Meskipun pada kenyataannya sejarah kesusastraan di Aceh sudah lama ada dan mengakar dalam kehidupan masyarakat Aceh. Salah satu bagian dari sastra lisan Aceh adalah syair atau dalam bahasa Aceh sering disebut dengan caé. Syair atau caé adalah pembagian dari ragam sastra Aceh yang berbentuk puisi.
1
Orang Aceh memiliki bakat tersendiri dalam menciptakan puisi secara langsung. Hal ini menjadi sebuah kelaziman yang membudaya dikalangan masyarakat Aceh sampai saat ini. Banyak persoalan atau hal tertentu yang diekspresikannya melalui puisi, begitu juga dengan caé. Bagi orang Aceh istilah caé sering juga digunakan untuk maksud pantun atau sejenis bahasa berirama lainnya, terutama kalau ia disampaikan secara lisan. Jadi, jika ada orang meucaé, maka ia adalah orang yang menyenandungkan puisi lisan.
Kegiatan bersyair dalam masyarakat Aceh bukanlah sebuah kegiatan yang dengan mudah dapat dilakukan oleh kebanyakan orang. Hal ini dikarenakan untaian kalimat yang dibentuk dari gabungan kata-kata dalam syair bukanlah penggabungan kosakata biasa, melainkan penggabungan kosakata yang bernilai sastra dan berdaya sugesti tinggi yang mampu menyihir para pembaca dan pendengar  syair atau caé tersebut jika dilantunkan.
Bahasa yang digunakan dalam caé adalah bahasa yang dimodifikasi sedemikian rupa dan mampu mewakili apa yang ingin diutarakan oleh orang yang meucaé atau bersyair. Selain itu, dalam ragam sastra Aceh berupa puisi banyak menggunakan bahasa figuratif. Hal ini tidak terkecuali dengan syair atau caé. Bahasa figuratif (gaya bahasa) tersebut tidak hanya mengandung fungsi estetis dari segi bentuk tetapi juga mampu merepresentasikan dan mewakili fungsi estetis dari segi penyampaian maksud yang dikandungnya.
Terlepas dari semua itu, bahasa figuratif dalam syair atau caé juga mampu membuat kegiatan berkomunikasi dalam masyarakat Aceh bejalan lancar dan terkesan santun, hal ini dikarenakan masyarakat Aceh sering menggunakan syair dalam berkomunikasi dengan sesamanya. Bahasa figuratif atau gaya bahasa dalam caé memiliki keunikan tersendiri yang dapat membedakannya dengan jenis sastra lisan Aceh lainnya. Bahasa figuratif terbagi atas beberapa bagian yang digunakan dalam caé sesuai dengan kebutuhan orang yang meucaé.
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang bahasa figuratif dalam syair Aceh, yaitu sesuai dengan judul yang penulis ajukan yaitu ”Analisis Bahasa Figuratif dalam Syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga karya Z. A. Mohd. Amin”.

1.2         Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah apa sajakah bahasa figuratif yang terdapat dalam syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga karya Z. A. Mohd. Amin?

1.3         Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan rumusan masalah di atas, yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan data tentang bahasa figuratif yang terdapat dalam syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga karya Z. A. Mohd. Amin.

1.4         Manfaat Penelitian
Berdasarkan uraian permasalahan dan tujuan penelitian yang telah dikemukakan di atas, penelitian ini mempunyai dua manfaat yaitu secara teoretis dan praktis.
Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan supaya dapat bermanfaat untuk menambah ilmu pengetahuan tentang hal yang berhubungan dengan bahasa figuratif yang terdapat dalam syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga karya Z. A. Mohd. Amin.
Selanjutnya, secara praktis hasil penelitian ini bermanfaat bagi :
1)        Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan tentang bahasa figuratif yang terdapat dalam syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga karya Z. A. Mohd. Amin dan untuk lebih memotivasi potensi yang ada dalam diri peneliti.
2)        Bagi pembaca, hasil penelitian ini dapat memberi informasi empiris dan pendalaman ilmu serta pengetahuan mengenai bidang kesusastraan, sehingga akan menjadi dasar dan landasan awal untuk lebih mencintai karya sastra lisan Aceh yang berbentuk puisi berupa syair atau caé.

1.5         Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian tentang bahasa figuratif yang terdapat dalam syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga karya Z. A. Mohd. Amin. Mengingat cakupan ruang penelitian terlalu luas, maka peneliti membatasi masalah penelitian ini pada bahasa figuratif yang terdapat dalam syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga karya Z. A. Mohd. Amin yaitu pada syair yang berjudul Wafeuet Bungong Syuruga halaman 77 sampai 114.

1.6         Definisi Operasional
Supaya tidak terjadi salah penafsiran antara peneliti dengan pembaca, maka perlu dijelaskan istilah-istilah sebagai berikut :
1)        Analisis adalah proses penguraian/pembahasan terhadap suatu permasalahan untuk mengetahui dan menemukan inti permasalahan lalu disimpulkan.
2)        Bahasa figuratif adalah bentuk bahasa yang digunakan dalam karangan sastra, salah satunya dalam puisi berbentuk syair yang dapat mewakili perasaan dan pikiran dari pengarang.
3)        Syair Aceh adalah puisi yang berasal dari kesusastraan Arab, tetapi telah dituliskan dalam bahasa Aceh dan sering dilantunkan oleh masyarakat Aceh dalam kesehariannya. Bagi masyarakat Aceh, setiap yang dinyanyikan berirama itu dikatakan syair (caé).
4)        Syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga adalah syair Aceh yang berisi tentang berbagai kisah para penghuni syurga, yang memiliki amalan saleh dan berjihad di jalan Allah demi mendapatkan keridhaan Allah.















BAB II
KAJIAN PENGANTAR
2.1     Pengertian Syair
Syair atau dalam bahasa Aceh disebut dengan istilah caé merupakan salah satu pembagian dari ragam sastra Aceh yaitu ragam puisi. Melalui caé tersebutlah masyarakat Aceh sering mengungkapkan maksud yang ingin disampaikannya kepada lawan komunikasinya, hal ini dikarenakan masyarakat Aceh memiliki bakat tersendiri dalam bersyair.
Menurut Harun (2012:6), menyatakan bahwa ”Bagi orang Aceh, istilah caé sering juga digunakan untuk maksud pantun atau jenis bahasa berirama lainnya, terutama kalau ia disampaikan secara lisan”. Maksudnya, syair atau caé dalam keseharian masyarakat Aceh digunakan juga dalam berpantun bahkan dalam berbagai bahasa berirama lainnya, apalagi jika disampaikan secara lisan. Jadi, bagi masyarakat Aceh, caé membuka diri untuk digunakan dalam berbagai jenis bahasa berirama.
Selanjutnya, Harun (2012:212), menyatakan bahwa ”Syair merupakan jenis puisi yang berasal dari kesusastraan Arab”. Maka dapat diartikan bahwa syair atau caé pada dasarnya merupakan jenis puisi yang berasal dari Arab, berarti syair pada dasarnya ditulis dalam bahasa Arab. Hanya saja, sekarang syair telah diubah dalam bahasa Aceh yang lebih dikenal dikalangan masyarakat Aceh dengan istilah caé.
6
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa syair atau caé dalam masyarakat Aceh merupakan bentuk bahasa berirama yang digunakan oleh masyarakat Aceh dalam berkomunikasi agar terkesan lebih santun. Di mana, syair tersebut merupakan terjemahan dari bahasa Arab. Selain itu dalam sastra Aceh, pantun juga diucapkan secara berirama, seperti syair, lagu, dan nyanyian.

2.2     Ciri-ciri Syair
Syair atau caé dalam masyarakat Aceh memiliki ciri-ciri tersendiri yang membedakannya dengan bentuk sastra lainnya. Menurut Harun (2012:212), menyatakan bahwa ”Syair kebanyakan ditulis dalam bentuk sastra kitab dan romansa. Syair itu lazimnya digubah dalam bentuk sambung-menyambung lebih dari satu bait dan satu bait terdiri atas empat baris bersajak akhir aa-aa. Akan tetapi, yang terpenting adalah bentuk syair tersebut ditemukan sebagai salah satu media ucap puisi lisan Aceh”.
Sejalan dengan pernyataan Harun di atas, maka dapat disimpulkan bahwa syair atau dalam masyarakat Aceh yang lebih akrab disebut dengan caé memiliki ciri-ciri yaitu syair merupakan jenis puisi yang tidak dapat berdiri atas satu bait saja, karena ia digubah dalam bentuk sambung-menyambung lebih dari satu bait. Pada dasarnya ditulis dalam bentuk sastra kitab, terdiri atas empat baris satu bait dan bersajak akhir aa-aa. Namun, karena caé juga sering digunakan dalam berpantun dan berbagai bahasa berirama lainnya oleh masyarakat Aceh, maka tidak menutup kemungkinan ada yang bersajak akhir ab-ab.
Adapun ciri-ciri syair adalah sebagai berikut:
1)        Syair terdiri atas empat larik (baris) tiap bait;
2)        Setiap bait dalam syair memberi arti sebagai satu kesatuan;
3)        Semua baris dalam syair merupakan isi (dalam syair tidak ada sampiran);
4)        Sajak akhir tiap baris dalam syair selalu sama(aa-aa);
5)        Jumlah suku kata tiap baris dalam syair hampir sama (biasanya 8-12 suku kata);
6)        Isi syair berupa nasihat atau petuah.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri utama dari syair adalah syair terdiri atas empat baris setiap bait yang memiliki satu kesatuan makna, setiap baris dalam syair merupakan isi, yang memiliki sajak akhir yang sama dan memiliki suku kata yang hampir sama dalam setiap barisnya serta isi syair berupa nasihat.
  
2.3         Jenis-jenis Syair
Selain memiliki ciri-ciri tersendiri yang membedakannya dengan bentuk sastra lain. Syair juga memiliki berbagai jenis. Berdasarkan isinya, syair terbagi atas lima jenis, yaitu:
1)        Syair Panji
Syair Panji menceritakan tentang keadaan yang terjadi dalam istana dan keadaan orang-orang yang berasal dari istana. Maksudnya, syair ini adalah syair yang menceritakan tentang keadaan yang ada di lingkungan istana.
Contohnya:
Diureung laen sosah han sakri
Hana mupat ie teungoh khueng raya
Di tungku syiah han payah cari
Uleh mikail keunan troh geuba
(Amin, 1986:5)
Contoh di atas, merupakan syair yang menceritakan tentang kehidupan raja yang megah dan memiliki ketakwaan kepada Allah dalam beribadah. Bahkan tidak lagi memikirkan tentang dunia. Suatu ketika musim kemarau yang panjang, sang raja tidak harus mencari sumber air, namun Allah mengutus mikail untuk membawakannya.
2)        Syair Romantis
Syair Romantis berisi tentang percintaan yang biasanya terdapat pada cerita pelipur lara, hikayat, maupun cerita rakyat. Maksudnya, syair jenis ini adalah syair yang berisi tentang kisah percintaan manusia.
Contohnya:
Nyawong ngon tuboh jinou lon pulang
Bandum sibarang keu milek Teungku
Ban hajat nafsu peulaku rijang
Neubeudoh rijang peu peunoh nafsu
(Amin,1986:10)
Contoh di atas, merupakan syair yang menceritakan tentang kejadian romantis yang terjadi ketika seorang wanita cantik mengajak seorang ulama yang taat beribadah kepada Allah untuk berzina.
3)        Syair Kiasan
Syair Kiasan berisi tentang percintaan ikan, burung, bunga atau buah-buahan. Percintaan tersebut merupakan kiasan atau sindiran terhadap peristiwa tertentu. Maksudnya, syair jenis ini adalah syair yang berisi kiasan terhadap suatu peristiwa yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Contohnya:
Keunan troh teuka sidara sidrou
Rupa sambinou ban bintang kala
Keuieng jih linteng dada meu asoe
Puteh seureuloe kulet meucahya
(Amin, 1986:6)
Contoh di atas, merupakan syair yang berisi kiasan tentang seorang gadis cantik yang diumpamakan seperti sebuah bintang dan memiliki kulit yang bercahaya.
4)        Syair Sejarah
Syair Sejarah adalah syair yang berdasarkan peristiwa sejarah. Sebagian besar syair sejarah berisi tentang peperangan. Maksudnya, syair jenis ini adalah syair yang berisi tentang berbagai peristiwa sejarah, misalnya tentang peperangan.
Contohnya:
Gaki ngon jaroe pasoe lam rante
Ka ji ikat lee jihue ngon guda
Kulet ka teupluek teupiluek sare
Keunong bate glee meucula-cula
(Amin, 1986:18)
Contoh di atas, merupakan syair yang menceritakan tentang sejarah seorang sufi yang taat beribadah kepada Allah, yang difitnah berzina dengan seorang wanita cantik, dan ia dihukum dengan sangat keji oleh sang raja karena fitnah yang berikan oleh iblis atas perbuatan yang tidak pernah dilakukannya.
5)        Syair Agama
Syair Agama merupakan syair terpenting. Syair agama dibagi menjadi empat yaitu :
(1)     Syair sufi, yaitu syair yang berisi tentang berbagai kisah orang-orang yang taat dan kuat dalam beragama.
Contohnya:
Oh teulheuh saleum tamong lam wirid
Beungoh ngon seupot jeub-jeub kutika
Tahlil dan tahmid baca seulaweut
Hana tom lupot sabe keurija
(Amin, 1986:81)
Contoh di atas, merupakan syair yang menceritakan tentang kehidupan para sufi dalam menjalankan kehidupannya yang tidak pernah luput dari beribadah kepada Allah.
(2)     Syair tentang ajaran Islam, yaitu syair yang berisi tentang berbagai ajaran Islam, baik tentang tata cara beribadah atau berbagai hal lainnya.
Contohnya:
Tamse ban lintah keunong ie bakong
Meunan keuh untong eleumee hana
Meunyo geutanyou hana meu iman
Tahudeb sang-sang lagee ban unta
(Amin, 1986:72)
Contoh di atas, merupakan syair yang menceritakan tentang bagaimana Islam menyuruh umatnya untuk berilmu dan beriman sebagai bekal untuk hidup bahagia dunia akhirat.
(3)     Syair riwayat cerita nabi, yaitu syair yang berisi tentang kisah para nabi, baik cerita tentang keluarganya maupun cerita tentang kisah perjuangan para nabi dalam menegakkan agama Allah.
Contohnya:
Bak asoe rumoh kaleuh neupeugah
Wafeut Fatimah seuot ayahda
Buleun puasa uroe keu siblah
Sa’at ka leupah bak watee asa
(Amin, 1986:79)
Contoh di atas, merupakan syair yang menceritakan tentang kisah pada saat meninggalnya Fatimah, anak dari Rasullullah dengan Khadijah, yaitu pada hari ke sebelas bulan Ramadhan, yaitu setelah waktu asar.
(4)     Syair nasihat, yaitu syair yang berisi tentang berbagai petuah atau nasihat terhadap sesuatu hal, yang dapat dijadikan sebagai penutan ataupun sebuah nasihat tentang suatu larangan.
Contohnya:
Tamita amai yohna di donya
Keu pangkai taba tawoe bak Rabbi
Meunyo kon meunan meuhat ceulaka
Hana lee daya ngon peuglah diri
(Amin, 1986:60)
Contoh di atas, merupakan syair yang berisi tentang nasihat kepada seseorang untuk selalu memperbanyak amal ibadah ketika masih di dunia sebagai bekal ke akhirat kelak, namun jika tidak dengan demikian maka tidak akan ada yang dapat menyelamatkan diri ketika di akhirat kelak.
Berdasarkan bentuknya, syair terbagi atas:
1)        Syair terikat
Syair terikat diatur oleh banyaknya baris dalam satu bait, banyaknya suku kata dalam tiap baris, dan bunyi vokal untuk akhir baris. Maksudnya jelas bahwa syair jenis ini merupakan bentuk syair yang disusun berdasarkan aturan-aturan yang menjadi salah satu yang membuat syair tersebut memiliki ciri khas diantara bentuk sastra lainnya, yaitu adanya ketentuan jumlah baris dalam setiap baitnya yang berjumlah empat baris, jumlah suku kata dalam setiap baris yang berjumlah 8-12 suku kata dan adanya bunyi vokal yang sama pada akhir baris yaitu aa-aa.


Contohnya:
Wahe ureueng muda turi keuh drou neuh
Nyou peuraho umpama tuboh drou neuh
Hana padum trep udep drou neuh
U akherat teuka keukai udep drou neuh
(Syair Perahu karya Hamzah Fansuri)

Contoh syair di atas merupakan contoh bentuk syair terikat, yang ditulis tanpa dengan memperhatikan ciri-ciri utama dari sebuah syair, yaitu dengan adanya kesamaan bunyi vokal pada akhir setiap baris syair.
2)        Syair bebas
Syair jenis ini tidak punya pedoman dalam penyusunannya. Syair bergerak bebas bagaikan air mengalir. Maksudnya, jelas bahwa syair bebas merupakan bentuk syair yang disusun secara bebas, tanpa memperhatikan ciri-ciri utama dari sebuah syair, yaitu tidak adanya suatu keharusan dalam membuat syair jenis ini, baik dari segi jumlah baris dalam setiap baitnya, jumlah suku kata dalam setiap barisnya bahkan tidak adanya keharusan adanya bunyi vocal yang sama pada akhir setiap barisnya. Buku syair Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga merupakan salah satu jenis syair yang ditulis berdasarkan bentuk syair bebas.
Contohnya:
Tuhan bri balah meulimpat ganda
Seubab geujaga syahwat ngon nafsu
Takot keu Tuhan ingat keu dosa
Rahmat sijahtra sabe geurindu
(Amin, 1986:25)
Contoh syair di atas merupakan contoh bentuk syair bebas, yang ditulis tanpa memperhatikan ciri-ciri utama dari sebuah syair, yaitu tanpa adanya kesamaan bunyi vokal pada akhir setiap baris syair.    
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa syair terbagi menjadi dua, yaitu berdasarkan isinya dan berdasarkan bentuknya. Berdasarkan isinya, syari terbagi menjadi lima jenis, yaitu 1) syair panji, 2) syair romantis, 3) syair kiasan, 4) syair sejarah, dan 5) syair agama. Sedangkan berdasarkan bentuknya, syair terbagi menjadi dua jenis, yaitu 1) syair terikat, dan 2) syair bebas.

2.4  Pengertian Bahasa Figuratif
Dalam sebuah karya sastra, baik yang berbentuk ragam prosa fiksi, prosa liris ataupun ragam puisi, penggunaan bahasa dalam tiap bentuk sastra tersebut memiliki daya estetis tersendiri. Daya estetis tersebut terwujud dalam penyusunan tiap kosakata yang diciptakan dengan begitu menggugah dan mengandung makna tersendiri. Makna bahasa tersebut sering disebut dengan bahasa figuratif.
Menurut Harun (2012:300), menyatakan bahwa ”Puisi lisan Aceh sangat banyak menggunakan gaya bahasa (bahasa figuratif; stylistic). Gaya bahasa tersebut di samping mengandung fungsi estetis dari segi bentuk, juga dipersiapkan untuk merepresentasikan fungsi estetis dari segi penyampaian maksud yang dikandungnya”. Maksud dari pernyatan Harun di atas adalah bahasa figuratif atau gaya bahasa, pada hakikatnya adalah bentuk dari penyusunan kosakata dalam puisi, yang memiliki keindahan baik dari segi bentuk maupun dari segi makna bahasa yang dikandung kosakata yang dirangkai oleh si penyair dalam puisi tersebut.
Sejalan dengan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bahasa figuratif merupakan bentuk bahasa yang digunakan dalam sastra khususnya puisi lisan Aceh yaitu syair yang disusun rapi dan memiliki kesan makna yang mendalam dari setiap kosakata yang dibentuk oleh si penyair. Hal ini menimbulkan daya pikat tersendiri bagi para penikmat sastra lisan Aceh yaitu syair. Bahkan, melalui gaya bahasalah si penyair membungkus maksud yang ingin disampaikanya kepada pembaca atau pendengar karya sastra yang diciptakannya

2.5  Jenis-jenis Bahasa Figuratif
Bahasa figuratif dalam puisi lisan Aceh memiliki beberapa jenis, setiap jenis tersebut memiliki beragam bentuk makna. Dalam puisi lisan Aceh bahasa figuratif yang digunakan berbeda dengan bahasa figuratif dalam puisi pada umumnya. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Harun (2012:300), menyatakan bahwa ”Gaya bahasa yang dominan dalam puisi Aceh adalah 1) paralelisme, 2) simile, 3) metafora, 4) metonimia, 5) personifikasi, dan 6) hiperbola”.
1)        Paralelisme
Menurut Harun (2012:301), menyatakan bahwa ”Gaya bahasa paralelisme ditandai oleh adanya kesejajaran kata, frasa atau baris yang berpola sama dan kadang-kadang antara kata, frasa, dan baris tersebut memiliki arti yang sama pula”. Maksudnya, paralelisme merupakan gaya bahasa yang terdapat dalam syair atau puisi yang memberikan kesejajaran makna antara satu baris syair dengan baris lainnya, misalnya dari segi fungsi kata tersebut.


Contohnya:
Tameukat di yub payông
Tapajôh bu di warông
Tameulimbôt ngön ija krông
(Harun, 2012:301)
Contoh di atas menjelaskan tentang kesejajaran bentuk antara baris pertama, kedua dan ketiga. Kata temeukat, tapajôh dan tameulimbôt merupakan predikat yang berarti pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang. Selain itu, pola yang sama juga terlihat dalam keterangan tempat pada baris pertama, dan kedua, yaitu di yub payông dan di warông.
2)        Simile
Menurut Junus (dalam Harun 2012:302), menyatakan bahwa ”Gaya bahasa simile atau perbandingan/persamaan oleh Junus (1989:232) disebut juga semacam metafora, tetapi persamaan atau perbandingan kedua unsur dibandingkan oleh kata-kata ’sebagai’, ’seperti’, ’laksana’, dan kata lain yang dapat disamakan dengannya”. Maksudnya, simile merupakan salah satu gaya bahasa yang terdapat dalam syair atau puisi yang memberikan perbandingan atau persamaan antara suatu benda dengan benda lain dengan menggunakan kata seperti, laksana, dan kata lain.
Contohnya:
Rueng meuseutuek ibôh
Bahô meugulam sie tanggôh
Rupa meu-eungkong meureugôh
(Harun, 2012:302)
Contoh di atas menjelaskan tentang persamaan yang terdapat antara sesuatu benda dengan menggunakan kata meu- yang berarti seperti atau bagai. Hal ini terlihat dalam contoh yaitu punggung bagai upih pinang, bahu seperti memikul daging utang dan rupa bagai mawas besar.
3)        Metafora
Menurut Harun (2012:304), mengungkapkan bahwa ”Gaya bahasa metafora merupakan gaya bahasa yang paling luas penggunaannya dalam komunikasi manusia, baik komunikasi lisan maupun tulis. Akibat seringnya menggunakan metafora, maka kata-kata yang mengandung metafora akhirnya banyak yang berubah menjadi kata-kata biasa atau kata yang diacukan bermakna kamus”.
Menurut Wahab (dalam Harun, 2012:304), meyatakan bahwa ”Metafora adalah ungkapan kebahasaan yang maknanya tidak dapat dijangkau secara langsung dari lambang, karena makna yang dimaksud terdapat pada predikat ungkapan kebahasaan itu. Dengan kata lain, metafora merupakan pemahaman dan pengalaman akan sejenis hal untuk dimaksudkan untuk perihal yang lain”. Maksudnya, metafora merupakan gaya bahasa yang terdapat dalam syair atau puisi yang memberikan kiasan antara sesuatu dengan suatu benda yang lain, yang bisa memiliki kesamaan sifat antara keduanya.
Metafora terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:
(1)   Metafora nominatif, merupakan gaya bahasa metafora yang lambang kiasnya terdapat hanya terdapat pada nomina kalimatnya saja.
Contohnya:
Alah hai udeueng breueh
Èk manok han löt narit u ateueh
(Harun, 2012:304)
Contoh di atas menjelaskan tentang udeueng breueh/udang beras (udang sawah) yang disamakan dengan orang yang berlagak hebat, pintar atau kaya, tetapi tidak memiliki kemampuan yang memadai dibidangnya. Artinya, pihak yang tidak sanggup makan tahi ayam, tetapi bercerita tinggi itu adalah manusia, bukan udang sawah yang sebenarnya, karena udang sawah yang dalam kenyataannya tergolong jenis udang yang sangat kecil ini adalah pengganti manusia itu sendiri yaitu manusia yang berpikiran kerdil.
(2)   Metafora predikatif, merupakan gaya bahasa metafora yang kata-kata lambang kiasnya hanya terdapat pada predikat kalimatnya saja, sedangkan subjek dan komponen lain dalam kalimat itu masih dinyatakan dalam makna langsung.
Contohnya:
Ie bubông trön u seurayueng
Ie lam krueng trön u kuala
Angèn padèe soh jipuplueng
Asoe tatueng tinggai lam tika
(Harun, 2012:305)
Contoh di atas menjelaskan tentang kata trön ’turun’, bukanlah dimaksudkan sebagai aktivitas turun sebagaimana yang dilakukan manusia. Begitu juga kata jipuplueng ’melarikan’ bukanlah melarikan sebagaimana manusia atau binatang melarikan sesuatu. Dalam hal ini, ie bubông ’air cucuran’, ie lam krueng ’air sungai’dan angèn padèe ’angin badai’ merupakan subjek yang diinsankan setelah dilekati predikat ’turun’ dan ’dilarikan’. Akibatnya, seakan-akan subjek yang noninsani itu kemudian berlaku seperti manusia.
(3)   Metafora kalimatif, merupakan gaya bahasa metafora yang seluruh lambang kiasnya digunakan tidak terbatas pada nomina dan predikatnya saja, tetapi seluruh komponen dalam kalimat metaforis itu.
Contohnya:
Tajak ubé lot tapak
Taduek ubé lot punggông
(Harun, 2012:306)
Contoh di atas merupakan metafora secara utuh, hal ini dikarenakan baris pertama tidak dapat dipisahkan menjadi frasa. Keduannya merupakan satu kesatuan sintaksis yang padu, yaitu ’berjalan sebesar muat telapak kaki’ dan ’duduk sebesar muat pinggul’. Kedua kalimat tersebut bukanlah makna sebenarnya, namun bermakna metaforis, yang memberikan perumpamaan selayaknya suatu sikap manusia.
4)        Metonimia
Menurut Harun (2012:309), mengungkapkan bahwa ”Metonimia yang berarti ’perpindahan nama’ atau ’suatu kata mendapat arti yang berasal dari arti kata lain’ banyak ditemukan dalam puisi Aceh.” Maksudnya, matonimia merupakan gaya bahasa yang terdapat dalam syair atau puisi yang memiliki maksud mengibaratkan sesuatu yang memiliki kesesuaian antara kedua benda tersebut, dikarenakan adanya kesamaan sikap atau kedudukan sesuatu hal atau benda.
Contohnya:
Keureuléng mie meuhat keu panggang
Keureuléng ngang meuhat keu paya
(Harun, 2012:309)
Contoh di atas memberikan ibarat tentang suatu kebiasaan yang dilakukan oleh suatu benda hidup, yaitu ’kerling kucing pasti pada ikan (panggang)’ dan ’kerling bangau pasti pada ikan (kodok) di rawa-rawa.
5)        Personifikasi
Menurut Harun (2012:311), menyatakan bahwa ”Personifikasi merupakan salah satu gaya bahasa yang paling banyak digunakan dalam karya sastra, bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Gaya bahasa ini berusaha mengestetiskan komunikasi dengan cara meng-’insan’-kan benda-benda atau memperlakukan benda sebagai manusia; berbuat atau bekerja sebagaimana layaknya manusia.” Maksudnya, gaya bahasa personifikasi merupakan gaya bahasa yang digunakan dalam lirik syair atau puisi dengan mengumpamakan suatu benda seperti kodrat manusia, baik dalam melakukan sesuatu hal maupun dalam bersikap.
Contohnya:
Jak rang jak bintéh
Jak pha jak gatéh
(Harun, 2012:311)
Contoh di atas menjelaskan tentang gaya bahasa personifikasi yang mengumpamakan benda mati seolah-olah hidup dan berprilaku layaknya manusia. Seperti ’berjalan balok, berjalan dinding’ seakan-akan balok dan dinding sedang berjalan seperti jalannya paha dan betis pada baris kedua.
6)        Hiperbola
Menurut Harun (2012:313), menyatakan bahwa ”Gaya bahasa hiperbola adalah kiasan yang berusaha membesar-besarkan sesuatu sehingga diperoleh efek tertentu yang diinginkan oleh penyair. Gaya bahasa ini sering digunakan dalam puisi untuk melukiskan suatu kemenangan, kekalahan, kesedihan, dan duka lara.” Maksudnya, gaya bahasa hiperbola adalah gaya bahasa yang digunakan dalam syair atau puisi untuk mendeskripsikan sesuatu hal atau benda secara berlebih-lebihan bahkan tidak sesuai dengan kenyataannya.
Contohnya:
Meunyo jeuet buet jaroe
U công duroe pih seulamat
Meunyo h’an jeuet buet jaroe
Atra lam peutoe pih kiamat
(Harun, 2012:313)
          Contoh di atas merupakan pendeskripsian dari gaya bahasa hiperbola yaitu seperti pada baris pertama dan kedua disebutkan bahwa ’siapapun yang pandai (terampil) pekerjaan tangan’ maka dia ’akan selamat meskipun berada di atas duri’ adalah kiasan yang dilebih-lebihkan. Begitu juga dengan baris keempat, adanya kata ’kiamat’ tampak terlalu berlebih-lebihan. Sebab kata ’kiamat’ merupakan sebuah terminologi religius mengenai lenyapnya segala makhluk ciptaan Ilahi yang berakhir dengan tidak ada lagi kehidupan di dunia ini.
          Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat enam macam bagasa figuratif (gaya bahasa) dalam puisi atau syair Aceh, yaitu paralelisme, simile, metafora, metonimia, personifikasi dan hiperbola.

2.6  Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga
    Buku syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga merupakan salah satu buku yang berisi beberapa syair Aceh diantaranya adalah syair Aceh yang berjudul Wafeuet Bungong Syuruga. Isi dari buku ini merupakan salinan dari kitab nadham Aceh karangan ulama atau pujangga Aceh di masa lalu. Buku syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga adalah buku syair yang disusun oleh Z. A. Mohd. Amin, dan diterbitkan oleh toko buku Gali Bireuen pada tanggal 15 September 1986.
Buku syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga yang berjudul Wafeuet Bungong Syuruga, merupakan salah satu syair Aceh yang menceritakan tentang kisah Sitti Fatimah Zuhra, anak Nabi Muhammad saw. yang memiliki sifat dan akhlak yang mulia. Fatimah Zuhra merupakan istri Saidina Ali dan ibunda dari Hasan dan Husen.


2.7  Biografi Z. A. Mohd. Amin
Z. A. Mohd. Amin adalah penyusun buku syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga. Beliau merupakan salah satu penyair Aceh yang lahir pada tanggal 05 April 1961 di kelurahan Geudong-geudong, desa Blang Reulieng, Kec. Kota Juang, Kab. Bireuen, Aceh.







BAB III
METODE PENELITIAN
3.1     Pendekatan dan Jenis Penelitian
          Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Hal ini dikarenakan data hasil penelitian berbentuk penjelasan atau deskripsi yaitu berupa data-data hasil penelitian secara aktual, artinya data yang akan dianalisis merupakan hasil penelitian saat ini, bukan penelitian terdahulu atau masa yang akan datang.
          Menurut Kutha Ratna (2009:47), mengungkapkan bahwa Pendekatan kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah yaitu data dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya. Objek penelitian bukan gejala sosial sebagai bentuk substantif melainkan makna-makna yang terkandung dibalik tindakan yang justru mendorong timbulnya gejala sosial tersebut. Dalam hubungan inilah pendekatan kualitatif dianggap sama dengan pemahaman. Sesuai dengan namanya, pendekatan ini mempertahankan nilai-nilai sehingga pendekatan ini dipertentangkan dengan pendekatan kualitatif yang berarti bebas nilai”.
23
          Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah hermeneutik. Penggunaan jenis ini dianggap tepat karena peneliti mengungkapkan bahasa figuratif yang terdapat dalam syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga karya Z. A. Mohd. Amin. Menurut Endraswara (2003:42), menyatakan bahwa ”Studi sastra mengenal hermeneutik sebagai tafsir sastra. Hermeneutik merupakan sebuah paradigma yang berusaha menafsirkan teks atas dasar logika linguistik, yang akan dapat membuat penjelasan teks sastra dan pemahaman makna dengan menggunakan makna kata dan selanjutnya makna bahasa. Makna kata lebih berhubungan dengan konsep semantik teks sastra dan makna bahasa lebih bersifat kultural. Makna kata akan membantu pemahaman makna bahasa. Oleh karena itu, dari kata-kata akan tercermin makna kultural teks sastra.

3.2     Data dan Sumber Data
Data dalam penelitian ini adalah kata-kata dan kalimat-kalimat dalam syair Aceh yang mengandung bahasa figuratif, pada judul Wafeuet Bungong Syuruga dalam syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga karya Z. A. Mohd. Amin, halaman 77 sampai 114. Sedangkan sumber data penelitian adalah buku syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga karya Z. A. Mohd. Amin.

3.3     Teknik Pengumpulan Data
          Langkah-langkah pengumpulan data dalam penelitian hermeneutik ini adalah  sebagai berikut :
1)        Peneliti membaca syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga karya Z. A. Mohd. Amin, khususnya syair Wafeuet Bungong Syuruga halaman 77 sampai 114.
2)        Peneliti mencari data-data berupa bahasa figuratif yang terdapat dalam syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga karya Z. A. Mohd. Amin yaitu pada judul Wafeuet Bungong Syuruga halaman 77 sampai 114.
3)        Peneliti mengelompokkan data-data tersebut sesuai dengan jenis bahasa figuratifnya masing-masing untuk dianalisis.

3.4     Teknik Analisis Data
          Data dalam penelitian ini diolah dengan menggunakan teknik analisis secara kualitatif yaitu menganalisis bahasa figuratif dalam syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga karya Z. A. Mohd. Amin. Menurut  penjelasan Sugiono (2009:337), mengungkapkan bahwaAnalisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu.
          Data tersebut dianalisis dengan menggunakan teori Miles dan Huberman. Miles dan Huberman (Sugiono 2009:337), mengemukakan bahwa ”Aktifitas dalam analisis kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus sampai tuntas sehingga datanya sudah jenuh. Aktifitas dalam analisis data yaitu mereduksi data, menyajikan data dan menyimpulkan data.
          Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam pengolahan data adalah mengolah data menurut jenisnya, menganalisis penggunaan bahasa figuratif dan menyimpulkannya.
1)        Mereduksi data
Tahap mereduksi data mulai dilakukan melalui proses penyeleksian, identifikasi dan pengklasifikasian. Penyeleksian dan pengidentifikasian merupakan kegiatan untuk menyeleksi dan mengidentifikasi data-data pada kategori jenis bahasa figuratif yang terdapat dalam syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga karya Z. A. Mohd. Amin. yaitu pada judul Wafeuet Bungong Syuruga halaman 77 sampai 114. Tahap pengklasifikasian merupakan proses yang dilakukan untuk mengklasifikasikan data, memilih data dan mengelompokkan data.
2)        Menyajikan Data
Menyajikan Data merupakan kegiatan pengelompokkan data melalui tahap reduksi data pada kategori jenis bahasa figuratif yang terdapat dalam syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga karya Z. A. Mohd. Amin. yaitu pada judul Wafeuet Bungong Syuruga halaman 77 sampai 114.
3)   Menarik Simpulan
Menarik simpulan dilakukan setelah mengikuti dua tahap. Simpulan ditarik setelah data disusun dan diperiksa kembali. Selanjutnya, didiskusikan dengan pembimbing. Setelah proses ini dilalui, hasil akhir penelitian analisis bahasa figuratif dalam syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga karya Z. A. Mohd. Amin. lalu disajikan dalam bentuk laporan penelitian.
















BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1     Hasil Penelitian
          Adapun hasil penelitian tentang bahasa figuratif dalam Syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga karya Z. A. Mohd. Amin, yaitu pada judul Wafeuet Bungong Syuruga, halaman 77 sampai 114, maka penulis menjabarkan bahasa figuratif tersebut sebagai berikut :
          Data 1
Hana neupeugot pesta meuriah
Jeunamee muda hana mupaksa
Hana keuleumbu deungon peuratah
Hana peng angoh meujuta-juta
(bait ke 10, halaman 78, paralelisme)

          Data 2
Wafeut di Nabi meuguncang Arasy
Wafeut Fatimah meuguncang donya
Tinggai quru’an sajan ngon sunnah
          Talou nyang kukoh mumat beurata
(bait ke 12, halaman 79, simile)

          Data 3
Aneuk neupeudong diateuh batee
Pubasah ulee ple ie bak muka
Tijoh ie mata sigra meuree-ree
Fatimah neuthee ajai rab teuka
(bait ke 15, halaman 79, hiperbola)

          Data 4
Dari ulee phon sampou u gaki
Poma peusuci aneuk ban dua
Dang neu-uet tuboh aneuk boh hate
          Ie mata hile meulumba-lumba
(bait ke 17, halaman 79, hiperbola)

Data 5
Saudara ulon bandum katan lee
Ka habeh meucre ngon donya fana

27
 


Sabab keunan rot meuhat lon pike
Nyankeuh jeut sabe tijoh ie mata
(bait ke 22, halaman 80, metafora predikatif)

Data 6
Neucok lee aneuk peu’ek bak teumpat
Uroe katroh hat buka puasa
Neusok teuleukom sembahnyang Magreb
Sunat ngon wajeb reunggang hana bla
(bait ke 25, halaman 81, metonimia)

Data 7
Oh teulheuh saleum tamong lam wirid
Beungoh ngon seupot jeub-jeub kutika
Tahlil dan tahmid baca seulaweut
Hana tom lupot sabe keurija
(bait ke 26, halaman 81, metafora predikatif)

Data 8
Suloh nyang akhe sabe neubeudoh
Oh teulheuh suboh le macam neuba
Neubeut quru’an seulaweut sunggoh
Zikir pih neuboh bermacam rupa
(bait ke 27, halaman 81, paralelisme)

Data 9
Saidina Ali sang meuri ragou
Hate neuh wang wou di dalam dada
Hate ngon jantong meutampou-tampou
Neubeudoh neuwou laju neugisa
(bait ke 51, halaman 85, hiperbola)

Data 10
Ali neukalon Fatimah saket
Laju meureb-reb tijoh ie mata
Kareuna Nabi kalheuh neuwasiet
Fatimah wafeut buleun puasa
(bait ke 53, halaman 85, hiperbola)

Data 11
Siluroh tuboh hanjeut lee megrak
Jarou lon peujak hana lee rasa
Langkah raseuki ohnou neubri hak
Lon keubah sinyak sajan ayahda
(bait ke 56, halaman 86, metafora predikatif)

Data 12
Katroh kutika jeumba bak Allah
Lon seutot ayah saidil ambiya
Lon tinggai judo pahlawan meugah
Lon wou bak Allah u nanggrou baqa
(bait ke 57, halaman 86, paralelisme)

Data 13
Donya akhirat bak saboh lampoh
Bak sapat piyoh yub payong raya
Iman iseulam bandum beu kokoh
Tapeukong saoh peulayeue behtra
(bait ke 61, halaman 87, paralelisme)

Data 14
Nyang teungoh iman keunan peniyoh
Bak saboh lampoh sajan Auliya
Lon tinggai duson nanggrou Madinah
Ulon lon minah lam donya fana
(bait ke 63, halaman 87, paralelisme)

Data 15
Batee di pante pudou ngon intan
Alon geulumbang ban su biola
Tujoh wareuna ie dalam kulam
Bandum geulumbang pujou Rabbana
(bait ke 66, halaman 88, personifikasi)

Data 16
Riyeuek meuhalon su macam-macam
Tujoh ribee thon sang sikutika
Di bineh pante macam tanaman
Sou nyang troh keunan hate geumbira
(bait ke 67, halaman 88, hiperbola)

Data 17
Hana nyang lahe kadang na baten
Kadang na ngeuren hate tan rila
Hanjeut han teupeh aweuek ngon reukan
Geutanyou insan ciet ka biasa
(bait ke 73, halaman 89, metonimia)

Data 18
Masa temariet gata ngon peudeueng
Lon sangka ureueng tasom lee gata

Meu’ah deesya lon dilee teusareueng
Nyang na ban bandum dalam ngon luwa
(bait ke 75, halaman 89, hiperbola)

Data 19
Fatimah mariet teuman ngon aneuk
Teungoh neugusuek neucom ngon neuwa
Pumeu’ah bunda wahe e aneuk
Kadang meusireuek nariet nyang gasa
(bait ke 77, halaman 89, metafora predikatif)

Data 20
Meu’ah keubunda banta boh hate
Baten ngon lahe alang ngon cupa
Kadang na bunda haba nyang singke
Jinou laju lee peu meuah deesya
(bait ke 78, halaman 90, hiperbola)

Data 21
Masa lon tingkue lon peu ek peutron
Masa lon ayon peudodi gata
Kadang meuseumpom lon lhom lam ayon
Meuah keu ulon ban dua gata
(bait ke 79, halaman 90, paralelisme)

Data 22
Kadang meuseumpom bak lon lhom ulee
Bunda tan geuthee ka saket gata
Kadang meuseupet masa lon pangkee
Poma tan geuthee meularat gata
(bait ke 80, halaman 90, paralelisme)

Data 23
Kadang lam ayon masa ulon cok
Jarou meuculok bak tuboh gata
Ciet tan lon saja hana teujalok
Bunda lam sibok le peu keurija
(bait ke 81, halaman 90, hiperbola)

Data 24
Bak lon sibu ie di ateuh badan
Kadang meu janthang ngon talou tima
Kadang jan teulat lon boh makanan
Laen nibak nyan ulon dhot gata
(bait ke 83, halaman 90, paralelisme)

Data 25
Aneuk ban dua rasa ka reuloh
Sabab geuteu’oh gobnyan meu deesya
Laen lom wasieut Fatimah peutroh
Ali katijoh manou ie mata
(bait ke 85, halaman 91, hiperbola)

Data 26
Masa nyan laju meulu mangat bee
Layoh ka layee bungong syuruga
Sampou bak tanggoh katroh bak watee
Ban kheun panghulee hana meutuka
(bait ke 87, halaman 91, metonimia)

Data 27
Aneuk mantong cut bunda ka neuwou
Aduen ngon adou hanco that rasa
Oh sare wafeut Fatimah sidrou
Hana sou tupue wareh dilingka
(bait ke 93, halaman 92, hiperbola)

Data 28
Hingga sare troh keudeh bak kubu
Geupeuduek laju bungong syuruga
Uruek geubuka ngon sigra laju
Dalam buleun hu geumilang cahya
(bait ke 110, halaman 95, metonimia)

Data 29
Keunou bak gata kamou jak keubah
Tuboh Fatimah aneuk Maulana
Keunou bak gata kamou peujok sah
Geunaseh Allah bungong syuruga
(bait ke 113, halaman 95, paralelisme)

Data 30
Tapapah beujroh wahe e kubu
Meunyou keuh ibu mukmin lam donya
Aneuk di Nabi nyang that neurindu
Malam nyou laju neujok bak gata
(bait ke 114, halaman 96, personifikasi)

Data 31
Nyou keuh cut puteh geunaseh Allah
Jinou lon keubah sinou bak gata

Jaweub lee kubu laju ngon pantah
Ngon kheundak Allah ban manusia
(bait ke 117, halaman 96, personifikasi)

Data 32
Lon turi hana ma Hasan Husen
Nyang gata meusyen ateuh rueng donya
Hana lon turi judo pahlawan
Hana lon tuban aneuk Saidina
(bait ke 119, halaman 96, paralelisme)

Data 33
Kamou meukalon asou lam hate
Baten ngon lahe jeut kamou baca
Nyang na seulamat iman lam hate
Bak sukreut akhe bunou pue jiba
(bait ke 122, halaman 97, paralelisme)

Data 34
Nyang na seulamat nibak godaan
Nabi ngon Tuhan hana jituka
Nyang na seudia beukai amalan
Kamou singkirkan sigala bahya          
(bait ke 124, halaman 97, paralelisme)

Data 35
Nyang tan bak sukreut seulamat iman
Azeub siksaan bermacam rupa
Tuleung lam tuboh nuroh meukhan-khan
Bahthat bu manyang pangkat lam donya
(bait ke 126, halaman 98, hiperbola)

Data 36
Abi Zar deungo kubu meututo
Masa nyan laju teuot jeut geumpa
Teuka teumakot hayuet ngon kuyu
Neudeungo kubu jeut meu suara
(bait ke 129, halaman 98, hiperbola)

Data 37
Oh bungoh urou sampou lee meugah
Ureueng Madinah hate dum duka
Sabab hana lee Siti Fatimah
Nanggrou Madinah ka padam cahya
(bait ke 132, halaman 99, metafora kalimatif)

Data 38
Ohban geudeungo beuklam geutanom
Bandum geujak gom Ali Murthala
Beungeh keu Ali inong ngon agam
Pakon jeut meunan geubri thee hana
(bait ke 135, halaman 99, metafora predikatif)

Data 39
Ulon tan silab drou neuh tan salah
Ulon meutuah drou neuh bahgia
Meunan neuwasiet lee Rasulullah
Han lon jeut ubah takot binasa
(bait ke 145, halaman 101, paralelisme)

Data 40
Ureueng nyang seutot sayang bukan lee
Mumet-met hate tuha ngon muda
Ureueng Madinah geuwou meuree-ree
Kubu nyang teuntee geuturi hana
(bait ke 160, halaman 103, hiperbola)

Data 41
Purumoh digob hukom pih digob
Pakon tanyou rhob tapeuhu mata
Nyang jroh tasaba bek lee tapeu rhob
Roh meutak meutob sabe syeedara
(bait ke 162, halaman 104, paralelisme)

Data 42
Ohban lheuh kalon kubu Fatimah
Geuriwang bagah tuha ngon muda
Bandum habeh wou nanggrou Madinah
Hate dum beukah berduka cita
(bait ke 163, halaman 104, hiperbola)

Data 43
Hasan ngon Husen heuren ngon sosah
Ohtan lee nangmbah bunda tercinta
Ali Murthala dada sang beukah
Ohtan Fatimah that duka cita
(bait ke 167, halaman 104, hiperbola)

Data 44
Hasan ngon Husen mumada dilee
Meunan ciet teuntee Ali Murthala

Bacut ibarat nasihat guree
Sou nyang tem angkee raya that guna
(bait ke 168, halaman 105, metafora predikatif)

Data 45
Seudang Fatimah meugah ka teuntee
Nyang tamong dilee dalam syuruga
Bak kubu hana jipileh bulee
Hana jimalee aneuk Maulana
(bait ke 187, halaman 108, personifikasi)

Data 46
Nyang geukheun donya na dua macam
Nyang phon tamselan bangke nyang hina
Ureueng nyang seutot asee geupeunan
Rasul janjongan meunan meusabda
(bait ke 193, halaman 109, metafora nominatif)

Data 47
Bijeh nyang talhong dalam donya nyou
Laba ngon rugou peugot keunira
Meunyou bijeh got meuhat meuasou
Meunyou mupalou jadeh seungsara
(bait ke 195, halaman 109, simile)

Data 48
Nyang saboh macam naban keulidee
Nyang saboh lagee umpama bue kra
Ladom ban uleue ladom ban asee
Meureutoh lagee takalon rupa
(bait ke 199, halaman 110, simile)

Data 49
Deungon beureukat Nabi Muhammad
Neubri seulamat kamou sineuna
Deungon mukjizat panghulee ummat
Kamou bek sesat gadoh di mahsya
(bait ke 202, halaman 110, paralelisme)

Data 50
Sou-sou nyang deungo bak gaseh hate
Keu aneuk Nabi Fatimah Zahra
Neubri beu inseuh teuka weueh hate
Bek neubri cayee iman lam dada
(bait ke 207, halaman 111, hiperbola)

Data 51
Tacok donya nyou sikada hajat
Bek sampe liwat takot binasa
Beujroh takeukang nafsu ngon syahwat
Bek sampe sisat tablou nuraka
(bait ke 211, halaman 112, paralelisme)

Data 52
Bek roh taseunoh peunajoh kaphe
Tapeutheuen hate bek keunong daya
Donya keu mukmin tutopan misee
Oh dudou page balah syuruga
(bait ke 219, halaman 113, metonimia)

Data 53
Sideh keuh nanggrou teumpat seunangan
Hana le geutham pue nyang seulera
Sideh keuh teumpat meuhat nyang aman
Hana gangguan lagee lam donya
(bait ke 221, halaman 113, paralelisme)



4.2     Pembahasan
          Berdasarkan hasil penelitian tentang bahasa figuratif dalam Syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga karya Z. A. Mohd. Amin, yaitu pada judul Wafeuet Bungong Syuruga, halaman 77 sampai 114, maka penulis menjelaskan pembahasan sebagai berikut :
1)        Paralelisme
Data 1 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu paralelisme. Syair tersebut menunjukkan adanya kesejajaran makna pada baris ketiga dan keempat. Kata jeunamee, keuleumbu  dan peng merupakan objek yang memperlihatkan pola yang sama dalam setiap baris syair tersebut.
Data 8 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu paralelisme. Syair tersebut menunjukkan adanya kesejajaran makna pada baris ketiga dan keempat. Kata neubeut, dan meuzikir merupakan predikat yang memperlihatkan pola yang sama dalam kedua baris syair tersebut, yaitu pekerjaan yang dilakukan oleh Sitti Fatimah.
Data 12 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu paralelisme. Syair tersebut menunjukkan adanya kesejajaran makna pada baris kedua, ketiga dan keempat. Kata seutot, tinggai, dan woe merupakan predikat yang memperlihatkan pola yang sama dalam ketiga baris syair tersebut, yaitu pekerjaan yang dilakukan oleh Sitti Fatimah. Selain itu, pola yang sama juga terlihat dalam keterangan keikutsertaan pada baris kedua dan keempat, yaitu ayah saidil ambiya dan bak Allah.
Data 13 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu paralelisme. Syair tersebut menunjukkan adanya kesejajaran makna pada baris pertama dan kedua. Kata saboh lampoh, dan payong raya merupakan keterangan tempat yang memperlihatkan pola yang sama dalam kedua baris syair tersebut, yaitu suatu tempat berkumpulnya manusia di akhirat nantinya.
Data 14 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu paralelisme. Syair tersebut menunjukkan adanya kesejajaran makna pada baris ketiga dan keempat. Kata tinggai, dan minah merupakan suatu predikat yang memperlihatkan pola yang sama dalam kedua baris syair tersebut, yaitu suatu pekerjaan yang dilakukan oleh Sitti Fatimah saat tiba ajalnya. Selain itu, kesejajaran makna juga terlihat pada kedua baris tersebut, yaitu nanggrou Madinah dan donya fana, yang merupakan keterangan tempat.
Data 21 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu paralelisme. Syair tersebut menunjukkan adanya kesejajaran makna pada baris kedua dan ketiga. Kata tingkue, dan ayon merupakan suatu predikat yang memperlihatkan pola yang sama dalam kedua baris syair tersebut, yaitu suatu pekerjaan yang dilakukan oleh Sitti Fatimah terhadap kedua anaknya Hasan dan Husen.
Data 22 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu paralelisme. Syair tersebut menunjukkan adanya kesejajaran makna pada baris pertama dan ketiga. Kata meuseumpom, dan meuseupet merupakan suatu predikat yang memperlihatkan pola yang sama dalam kedua baris syair tersebut, yaitu suatu pekerjaan yang dilakukan oleh Sitti Fatimah terhadap kedua anaknya Hasan dan Husen. Selain itu, kesejajaran makna juga terlihat pada baris kedua dan keempat, yaitu pada Bunda tan geuthee ka saket gata dan Poma tan geuthee meularat gata, yang menjelaskan kondisi yang dialami oleh kedua anak Sitti Fatimah.
Data 24 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu paralelisme. Syair tersebut menunjukkan adanya kesejajaran makna pada baris kedua dan ketiga. Kata talou tima, dan makanan merupakan suatu objek yang memperlihatkan pola yang sama dalam kedua baris syair tersebut, yaitu suatu benda yang diberikan oleh Sitti Fatimah terhadap kedua anaknya Hasan dan Husen.
Data 29 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu paralelisme. Syair tersebut menunjukkan adanya kesejajaran makna pada baris pertama dan ketiga. Kata jak keubah, dan peujok sah merupakan suatu predikat yang memperlihatkan pola yang sama dalam kedua baris syair tersebut, yaitu suatu pekerjaan yang dilakukan oleh Ali dan kedua anaknya Hasan dan Husen saat mengantar jasad Sitti Fatimah ke liang lahar.
Data 32 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu paralelisme. Syair tersebut menunjukkan adanya kesejajaran makna pada baris pertama, ketiga dan keempat. Kata ma Hasan Husen, judo pahlawan, dan aneuk Saidina merupakan suatu keterangan milik yang memperlihatkan pola yang sama dalam ketiga baris syair tersebut, yaitu Sitti Fatimah merupakan ibunda Hasan dan Husen, ia juga istri Ali, dan anak dari Saidina.
Data 33 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu paralelisme. Syair tersebut menunjukkan adanya kesejajaran makna pada baris pertama dan kedua. Kata kamou meukalon, dan kamou baca merupakan suatu predikat yang memperlihatkan pola yang sama dalam kedua baris syair tersebut, yaitu suatu ujaran yang dituturkan oleh liang lahar ketika jasad Sitti Fatimah sampai dan hendak dikebumikan.
          Data 34 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu paralelisme. Syair tersebut menunjukkan adanya kesejajaran makna pada baris pertama dan ketiga. Kata nibak godaan, dan beukai amalan merupakan suatu pelengkap yang memperlihatkan pola yang sama dalam kedua baris syair tersebut, yaitu suatu hal yang menjadikan suatu jasad tidak akan disiksa di alam kubur dan akan mendapat kenikmatan yang tak terhingga.
Data 39 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu paralelisme. Syair tersebut menunjukkan adanya kesejajaran makna pada baris pertama dan kedua. Kalimat  Ulon tan silab drou neuh tan salah, dan Ulon meutuah drou neuh bahgia merupakan suatu kalimat yang memperlihatkan pola yang sama dalam kedua baris syair tersebut, yaitu suatu pernyataan yang dinyatakan oleh Saidina Ali kepada masyarakat bahwa tidak ada yang salah diantara mereka dan kedua mereka merupakan hamba Allah yang baik budi dan akan akan mendapatkan kebahagiaan.
Data 41 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu paralelisme. Syair tersebut menunjukkan adanya kesejajaran makna pada baris pertama dan ketiga. Kalimat  Purumoh digob hukom pih digob, dan Nyang jroh tasaba bek lee tapeu rhob merupakan suatu kalimat yang memperlihatkan pola yang sama dalam kedua baris syair tersebut, yaitu suatu hal yang sebaiknya dilakukan agar tidak terjadi permusuhan antarsesama.
Data 49 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu paralelisme. Syair tersebut menunjukkan adanya kesejajaran makna pada baris pertama dan ketiga. Kalimat  Deungon beureukat Nabi Muhammad, dan Deungon mukjizat panghulee ummat merupakan suatu kalimat yang memperlihatkan pola yang sama dalam kedua baris syair tersebut, yaitu suatu janji Allah kepada kaum Nabi Muhammad yang akan mendapatkan syafaat dari nabi kepada ummatnya yang beriman dan bertakwa. Selain itu, kesejajaran makna juga terlihat pada baris kedua dan keempat, yaitu Neubri seulamat kamou sineuna dan Kamou bek sesat gadoh di mahsya, yang merupakan suatu doa hamba Allah yang beriman agar selamat dan tidak tersesat di padang mahsyar.
Data 51 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu paralelisme. Syair tersebut menunjukkan adanya kesejajaran makna pada baris kedua dan keempat. Hal ini terlihat pada kalimat Bek sampe liwat takot binasa, dan Bek sampe sisat tablou nuraka merupakan kalimat yang memperlihatkan pola yang sama dalam kedua baris syair tersebut, yaitu suatu hal yang harus selalu diingat dan dijadikan pedoman agar manusia selamat di dunia dan akhirat.
Data 53 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu paralelisme. Syair tersebut menunjukkan adanya kesejajaran makna pada baris pertama dan ketiga. Kalimat  Sideh keuh nanggrou teumpat seunangan, dan Sideh keuh teumpat meuhat nyang aman merupakan suatu kalimat yang memperlihatkan pola yang sama dalam kedua baris syair tersebut, yaitu suatu tempat yang kekal bagi manusia, tempat yang penuh dengan kesenangan dan aman dari berbagai gangguan. Selain itu, kesejajaran makna juga terlihat pada baris kedua dan keempat, yaitu Hana le geutham pue nyang seulera dan Hana gangguan lagee lam donya, yang merupakan suatu janji Allah kepada setiap hambanya yang bertakwa ketika di akhirat kelak.
2)        Simile
Data 2 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu simile. Syair tersebut menjelaskan adanya persamaan yang terdapat pada baris pertama dan kedua dengan menggunakan kata meu- yang berarti seperti atau bagai. Hal ini terlihat dalam kedua baris syair di atas, yaitu wafat nabi bagai menggoncangkan langit, dan wafat Fatimah bagai menggoncangkan dunia.
Data 47 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu simile. Syair tersebut menjelaskan adanya persamaan yang terdapat pada baris ketiga dan keempat dengan menggunakan kata meu- yang berarti seperti atau bagai. Hal ini terlihat dalam kedua baris syair di atas, yaitu seperti benih yang baik maka akan menghasilkan mutu yang baik pula, dan seperti benih yang tidak baik maka akan menghasilkan mutu yang tidak baik pula.
Data 48 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu simile. Syair tersebut menjelaskan adanya persamaan yang terdapat pada baris pertama dan kedua dengan menggunakan kata nyang- yang berarti bagai. Hal ini terlihat dalam kedua baris syair di atas, yaitu bagai suatu kaum seperti perbuatan keledai, dan bagai suatu tempat seperti perbuatan kera.
3)        Metafora
(1)     Metafora Nominatif
          Data 46 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu metafora nominatif. Syair tersebut mendeskripsikan lambang kiasnya yang terdapat hanya terdapat pada nomina kalimatnya saja, yaitu pada baris kedua dan ketiga. Kata bangke nyang hina dan  asee geupeunan, bukanlah dimaksudkan sebagai suatu benda pada kenyataannya. Namun, dalam bait syair tersebut hanya memberikan lambang kias yang memberikan penjelasan bahwa manusia yang tidak beriman dan bertakwa kepada Allah diumpamakan layaknya bangkai yang sangat menjijikkan dan anjing yang bernajis.
(2)     Metafora Predikatif
          Data 5 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu metafora predikatif. Syair tersebut mendeskripsikan tentang kata meucre, bukanlah dimaksudkan sebagai aktivitas bercerai sebagaimana yang dilakukan oleh manusia. Namun, dalam bait syair tersebut hanya memberikan lambang kias kepada predikatnya saja, yaitu Ka habeh meucre ngon donya fana.
          Data 7 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu metafora predikatif. Syair tersebut mendeskripsikan tentang kata tamong, bukanlah dimaksudkan sebagai aktivitas memasuki suatu ruang sebagaimana yang dilakukan oleh manusia. Namun, dalam bait syair tersebut hanya memberikan lambang kias kepada predikatnya saja, yaitu Oh teulheuh saleum tamong lam wirid.
          Data 11 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu metafora predikatif. Syair tersebut mendeskripsikan tentang kata peujak, bukanlah dimaksudkan sebagai aktivitas perintah untuk berjalan sebagaimana yang dilakukan manusia oleh anggota tubuh yaitu kaki. Namun, dalam bait syair tersebut hanya memberikan lambang kias kepada predikatnya saja, yaitu Jarou lon peujak hana lee rasa, yaitu memberikan kiasan terhadap anggota tubuh manusia yaitu tangan.
Data 19 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu metafora predikatif. Syair tersebut mendeskripsikan tentang kata meusireuek, bukanlah dimaksudkan sebagai kejadian terjatuhnya manusia yang memberi efek sakit pada anggota tubuh manusia, yaitu kaki. Namun, dalam bait syair tersebut hanya memberikan lambang kias yang memberikan keterangan terhadap keadaan suatu subjek, seperti Kadang meusireuek nariet nyang gasa, yaitu memberikan kiasan terhadap ucapan manusia yang terlanjur keluar dengan kasar.
Data 38 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu metafora predikatif. Syair tersebut mendeskripsikan tentang kata gom atau menutupi dengan sesuatu benda yang besar, bukanlah dimaksudkan sebagai suatu pekerjaan manusia dengan memakaikan suatu penutup. Namun, dalam bait syair tersebut hanya memberikan lambang kias yang memberikan maksud bahwa kaum madinah menjumpai Ali dengan berbagai pertanyaan yang diajukan.
Data 44 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu metafora predikatif. Syair tersebut mendeskripsikan tentang kata angkee, bukanlah dimaksudkan sebagai suatu pekerjaan yang dilakukan menusia dengan menggunakan anggota tubuh yaitu tangan yang memikul beban suatu benda. Namun, dalam bait syair tersebut hanya memberikan lambang kias yang memberikan penjelasan bahwa nasihat yang diberikan oleh guru haruslah digunakan dan diamalkan.
(3)     Metafora Kalimatif
          Data 37 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu metafora kalimatif. Syair tersebut mendeskripsikan lambang kiasnya yang digunakan tidak terbatas pada nomina dan predikatnya saja, tetapi seluruh komponen dalam kalimat metaforis, yaitu kalimat Nanggrou Madinah ka padam cahya. Kalimat tersebut menunjukkan adanya lambang kias kata sudah padam dengan cahaya yang tidak bisa dipisahkan yaitu pada nomina dan predikatnya.
4)        Metonimia
Data 6 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu metonimia. Syair tersebut memberikan ibarat yaitu pada kata reunggang yang biasanya menjelaskan tentang keadaan letak atau posisi suatu benda. Namun pada baris ketiga syair di atas, kata reunggang memberikan suatu ibarat yang memiliki makna jarak, yaitu sunat ngon wajeb reunggang hana bla.
Data 17 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu metonimia. Pada baris ke tiga yaitu Hanjeut han teupeh aweuek ngon reukan, memberikan suatu ibarat tentang keadaan kehidupan manusia dalam berkeluarga, tentunya akan ada saat kapan terjadi kesalahpahaman atau ketidakcocokan, karena selalu hidup bersama. Layaknya seperti tempat penggoreng dengan pengaduknya, yang selalu bersama pasti akan sering tersenggol.
Data 26 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu metonimia. Pada baris kedua yaitu Layoh ka layee bungong syuruga, memberikan suatu ibarat bahwa Sitti Fatimah yang disamakan dengan sekuntum bunga syuruga yang sangat wangi dan ketika ia wafat laksana telah layunya bunga tersebut. Hal ini dikarenakan, Sitti Fatimah berakhlak mulia dan ia juga merupakan anak Saidina yang paling dikasihi.
Data 28 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu metonimia. Pada baris kedua yaitu Geupeuduek laju bungong syuruga, memberikan suatu ibarat bahwa Sitti Fatimah yang disamakan dengan sekuntum bunga syuruga yang sangat wangi dan ketika ia wafat laksana telah layunya bunga tersebut. Hal ini dikarenakan, Sitti Fatimah berakhlak mulia dan ia juga merupakan anak Saidina yang paling dikasihi.
Data 52 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu metonimia. Syair tersebut memberikan ibarat yaitu pada kata tutopan misee yang biasanya menjelaskan tentang keadaan suatu benda yang ditutupi oleh kain. Namun pada baris ketiga syair di atas, kata tutopan misee memberikan suatu ibarat yang memiliki makna cukup dan tidak berlebihan, yaitu hanya makan secukupnya saja.
5)        Personifikasi
          Data 15 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu personifikasi. Syair tersebut menunjukkan pengumpamaan benda mati seolah-olah hidup dan berprilaku layaknya manusia dan memberikan persamaan suatu benda. Hal ini terlihat pada baris keempat, yaitu Bandum geulumbang pujou Rabbana. Jadi, seakan-akan gelombang bisa melakukan perbuatan memuji layaknya manusia.
Data 30 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu personifikasi. Syair tersebut menunjukkan pengumpamaan benda mati seolah-olah hidup dan berprilaku layaknya manusia dan memberikan persamaan suatu benda. Hal ini terlihat pada baris keempat, yaitu Tapapah beujroh wahe e kubu. Jadi, seakan-akan kubur bisa melakukan perbuatan menjaga dan membimbing jasad seperti layaknya yang dilakukan oleh manusia.
Data 31 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu personifikasi. Syair tersebut menunjukkan pengumpamaan benda mati seolah-olah hidup dan berprilaku layaknya manusia dan memberikan persamaan suatu benda. Hal ini terlihat pada baris keempat, yaitu Jinou lon keubah sinou bak gata. Jadi, seakan-akan kubur bisa menjadi tempat dan menerima layaknya manusia terhadap tamu yang datang kerumahnya.
Data 45 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu personifikasi. Syair tersebut menunjukkan pengumpamaan benda mati seolah-olah hidup dan berprilaku layaknya manusia dan memberikan persamaan suatu benda. Hal ini terlihat pada baris ketiga dan keempat, yaitu pada kata jipileh bulee atau memilih bulu dan jimalee atau malu. Kedua kata tersebut selayaknya disandangkan dengan perilaku manusia dan bukan kubur.
6)        Hiperbola
Data 3 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu hiperbola. Syair tersebut mendeskripsikan suatu hal dengan cara yang berlebih-lebihan, seperti dalam baris ketiga syair tersebut, yaitu jatuh air mata segera deras. Hal ini merupakan kiasan yang dilebih-lebihkan karena kata deras seharusnya lebih layak diletakkan bersama dengan nomina hujan bukan air mata.
Data 4 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu hiperbola. Syair tersebut mendeskripsikan suatu hal dengan cara yang berlebih-lebihan, seperti dalam baris keempat syair tersebut, yaitu air mata mengalir secara terus menurus tanpa henti. Hal ini merupakan kiasan yang dilebih-lebihkan karena kata mengalir seharusnya lebih layak diletakkan bersama dengan nomina air yang lebih banyak atau dalam wadah yang lebih besar, misalnya air sungai bukan air mata.
Data 9 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu hiperbola. Syair tersebut mendeskripsikan suatu hal dengan cara yang berlebih-lebihan, seperti dalam baris ketiga syair tersebut, yaitu Hate ngon jantong meutampou-tampou. Kata meutampou-tampou merupakan suatu ungkapan yang dinyatakan secara berlebihan karena kata meutampou-tampou seharusnya lebih layak diletakkan bersama dengan nomina seperti beras bukan hati manusia.
Data 10 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu hiperbola. Syair tersebut mendeskripsikan suatu hal dengan cara yang berlebih-lebihan, seperti dalam baris kedua syair tersebut, yaitu Laju meureb-reb tijoh ie mata. Kata meureb-reb merupakan suatu ungkapan yang dinyatakan secara berlebihan karena kata meureb-reb seharusnya lebih layak diletakkan bersama dengan nomina seperti air jujuran bukan air mata manusia.
Data 16 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu hiperbola. Syair tersebut mendeskripsikan suatu hal dengan cara yang berlebih-lebihan, seperti dalam baris ketiga syair tersebut, yaitu Riyeuek meuhalon su macam-macam. Penggalan baris tersebut merupakan suatu ungkapan yang dinyatakan secara berlebihan karena kata riyeuek atau gelombang tidak mungkin memiliki bunyi yang halus dan bermacam-macam, seharusnya lebih layak diletakkan bersama dengan nomina seperti suatu alat musik bukan gelombang air laut.
Data 18 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu hiperbola. Syair tersebut mendeskripsikan suatu hal dengan cara yang berlebih-lebihan, seperti dalam baris kedua syair tersebut, yaitu pada kata teusareueng. Kata teusareueng merupakan suatu ungkapan yang dinyatakan secara berlebihan karena kata teusareueng seharusnya lebih layak diletakkan bersama dengan nomina seperti batu atau benda yang lainnya yang berwujud konkrit bukan dosa manusia, yang bersifat tidak nyata.
Data 20 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu hiperbola. Syair tersebut mendeskripsikan suatu hal dengan cara yang berlebih-lebihan, seperti dalam baris ketiga syair tersebut, yaitu pada kata singke. Kata singke merupakan suatu ungkapan yang dinyatakan secara berlebihan karena kata singke seharusnya lebih layak diletakkan bersama dengan nomina seperti gigi manusia yang merasakan ngilu bukan perkataan/ucapan manusia.
Data 23 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu hiperbola. Syair tersebut mendeskripsikan suatu hal dengan cara yang berlebih-lebihan, seperti dalam baris kedua syair tersebut, yaitu pada kata meuculok. Kata meuculok merupakan suatu ungkapan yang dinyatakan secara berlebihan karena kata meuculok seharusnya lebih layak diletakkan bersama dengan keterangan seperti sebuah benda yang memiliki lubangnya, misalnya kotak bukan tubuh manusia.
Data 25 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu hiperbola. Syair tersebut mendeskripsikan suatu hal dengan cara yang berlebih-lebihan, seperti dalam baris kedua syair tersebut, yaitu pada kata manoe atau mandi. Kata manoe merupakan suatu ungkapan yang dinyatakan secara berlebihan karena kata manoe seharusnya lebih layak diletakkan bersama dengan objek seperti air sumur atau air sungai yang berjumlah banyak bukan air mata manusia.
Data 27 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu hiperbola. Syair tersebut mendeskripsikan suatu hal dengan cara yang berlebih-lebihan, seperti dalam baris kedua syair tersebut, yaitu pada kata hanco atau hancur. Kata hanco merupakan suatu ungkapan yang dinyatakan secara berlebihan karena kata hanco seharusnya lebih layak diletakkan bersama dengan objek seperti benda yang berbentuk secara nyata, misalnya pot bunga bukan perasaan manusia.
Data 35 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu hiperbola. Syair tersebut mendeskripsikan suatu hal dengan cara yang berlebih-lebihan, seperti dalam baris ketiga syair tersebut, yaitu pada kata nuroh atau jatuh dan berguguran. Kata nuroh merupakan suatu ungkapan yang dinyatakan secara berlebih-lebihan karena kata nuroh seharusnya lebih layak diletakkan bersama dengan objek seperti dedaunan atau kuntum bunga yang telah layu bukan tulang manusia.
Data 36 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu hiperbola. Syair tersebut mendeskripsikan suatu hal dengan cara yang berlebih-lebihan, seperti dalam baris kedua syair tersebut, yaitu pada kata geumpa atau gempa. Kata geumpa merupakan suatu ungkapan yang dinyatakan secara berlebih-lebihan karena kata geumpa seharusnya lebih layak diletakkan bersama dengan suatu tempat atau benda seperti gedung atau lahan bukan teuot atau lutut yang merupakan anggota tubuh manusia.
Data 40 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu hiperbola. Syair tersebut mendeskripsikan suatu hal dengan cara yang berlebih-lebihan, seperti dalam baris kedua dan ketiga syair tersebut, yaitu pada kata mumet-met atau bergerak-gerak dan kata meuree-ree. Kata mumet-met merupakan suatu ungkapan yang dinyatakan secara berlebih-lebihan karena kata mumet-met seharusnya lebih layak diletakkan bersama dengan suatu benda misalnya sepeda bukan hati manusia. Begitu juga dengan kata meuree-ree seharusnya diletakkan bersama dengan objek air yang mengalir bukan dengan kondisi manusia saat berjalan.
Data 42 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu hiperbola. Syair tersebut mendeskripsikan suatu hal dengan cara yang berlebih-lebihan, seperti dalam baris keempat syair tersebut, yaitu pada kata beukah atau sobek. Kata beukah merupakan suatu ungkapan yang dinyatakan secara berlebih-lebihan karena kata beukah seharusnya lebih layak diletakkan bersama dengan suatu benda misalnya kain bukan hati manusia.
Data 43 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu hiperbola. Syair tersebut mendeskripsikan suatu hal dengan cara yang berlebih-lebihan, seperti dalam baris keempat syair tersebut, yaitu pada kata beukah atau sobek. Kata beukah merupakan suatu ungkapan yang dinyatakan secara berlebih-lebihan karena kata beukah seharusnya lebih layak diletakkan bersama dengan suatu benda misalnya kain bukan dada manusia.
Data 50 di atas merupakan sepenggal bait syair Wafeuet Bungong Syuruga yang mendeskripsikan bahasa figuratif, yaitu hiperbola. Syair tersebut mendeskripsikan suatu hal dengan cara yang berlebih-lebihan, seperti dalam baris keempat syair tersebut, yaitu pada kata cayee atau cair. Kata cayee merupakan suatu ungkapan yang dinyatakan secara berlebih-lebihan karena kata cayee seharusnya lebih layak diletakkan bersama dengan suatu benda misalnya es batu atau sesuatu benda yang memiliki sifat mencair bukan iman manusia yang tidak dapat dilihat wujudnya hanya dapat tercermin melalui tingkahlaku dan sikapnya.
  
         






BAB V
PENUTUP
5.1     Simpulan
          Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah peneliti lakukan tentang bahasa figuratif dalam syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga karya Z. A. Mohd. Amin, yaitu pada judul Wafeuet Bungong Syuruga, halaman 77 sampai 114, dapat disimpulkan bahwa terdapat 6 jenis bahasa figuratif dalam syair Wafeuet Bungong Syuruga, yaitu (1) paralelisme yang terdapat dalam 17 kutipan data, (2) simile yang terdapat dalam 3 kutipan data, (3) metafora, a) metafora nominatif yang terdapat dalam 1 kutipan data, b) metafora predikatif yang terdapat dalam 6 kutipan data, dan c) metafora kalimatif yang terdapat dalam 1 kutipan data, (4) metonimia yang terdapat dalam 5 kutipan data, (5) personifikasi yang terdapat dalam 4 kutipan data, dan (6) hiperbola yang terdapat dalam 16 kutipan data. Berdasarkan data tersebut, bahasa figuratif yang paling banyak dimunculkan penulis dalam syair Wafeuet Bungong Syuruga adalah bahasa figuratif paralelisme dan hiperbola.
         
5.2     Saran
          Berdasarkan simpulan di atas, maka penulis menyarankan kepada berbagai pihak yaitu sebagai berikut :
1)            
53

Bahasa figuratif yang terdapat dalam syair Wafeuet Bungong Syuruga patutlah diaplikasikan dalam keseharian dan dapat dijadikan sebagai pedoman dalam bersikap dan bertingkah laku dalam bermasyarakat. Sehingga dapat memposisikan diri dalam bergaul.
2)             Melalui penelitian ini diharapkan kepada mahasiswa khususnya mahasiswa prodi Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah agar lebih mendalami tentang kajian yang berhubungan dengan sastra lisan Aceh, khususnya syair Aceh. Dengan demikian, akan lebih memperkuat jati diri mahasiswa tersebut sebagai bagian dari mahasiswa prodi Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah.
3)             Melalui penelitian ini, peneliti mengharapkan juga kepada prodi Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah agar memperhatikan lagi materi perkuliahan tentang pengkajian sastra lisan Aceh melalui berbagai cara, misalnya dengan menyajikan bahan bacaan yang bermutu dan tenaga pendidik yang berkualitas serta ahli dibidangnya.













DAFTAR PUSTAKA
A.  Hamid, Mukhlis. 2007. Sastra dan Problematika Pembelajarannya di Aceh. Banda Aceh: Aliansi Sastrawan Aceh.

Amin, Z. A. Mohd. 1986. Syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga. Geudong Bireuen: TB Gali.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Caps.
Harun, Mohd. 2012. Pengantar Sastra Aceh. Banda Aceh: Cita Pustaka Media Perintis.


Kutha Ratna, Nyoman. 2010. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Denpasar: Pustaka Pelajar.

Moleong, Lexy J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Panitia Penyusun. 2013. Pedoman Penulisan Skripsi. Matangglumpangdua: FKIP Universitas Almuslim.

Redaksi, Tim. 2010. Kamus Dwibahasa Indonesia Aceh. Banda Aceh: Pena.
Sugiono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Wildan. 2010. Kaidah Bahasa Aceh. Banda Aceh: Geuci.






55
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar