Senin, 20 Juni 2016

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN MODELLING THE WAY TERHADAP MATERI MENGKONVERSI TEKS ANEKDOT MENJADI NASKAH DRAMA PADA SISWA KELAS X SMAN 1 JANGKA KABUPATEN BIREUEN



BAB I
PENDAHULUAN
1.1         Latar Belakang Masalah
Permasalahan yang sering muncul dalam dunia pendidikan pada era globalisasi di Indonesia adalah tentang bagaimana meningkatkan mutu pendidikan sehingga proses pembelajaran yang berlangsung dapat memberikan output yang mampu bertahan dalam menghadapi persaingan global. Hal ini dikarenakan, pendidikan merupakan usaha sadar yang menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan untuk menciptakan peserta didik yang mampu berperan dan bersaing di masa yang akan datang.
Selain itu, pendidikan juga bertujuan untuk memuat gambaran tentang nilai-nilai yang baik, luhur, pantas dan indah dalam kehidupan peserta didik. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa atas dasar tersebut timbul berbagai macam permasalahan, diantaranya adalah perubahan kurikulum yang dilakukan pemerintah guna untuk memperbaiki sistem pendidikan. Meskipun pada dasarnya setiap kurikulum pastinya memiliki kekurangan yang perlu dievaluasi serta diperbaiki agar tujuan pendidikan tercapai dengan baik.   
1
Kurikulum mata pelajaran Bahasa Indonesia adalah salah satu program untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan berbahasa siswa, serta sikap positif terhadap Bahasa Indonesia. Sedangkan standar kompetensi yang disiapkan adalah berupa bahasa nasional dan bahasa negara yang berkonsentrasi pada fungsi dan tujuan mata pelajaran Bahasa Indonesia sebagai 1) sarana pembinaan kesatuan dan persatuan bangsa, 2) sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan dalam rangka pelestarian dan pengembangan budaya, 3) sarana peningkatan pengetahuan, teknologi dan seni, 4) sarana penyebarluasan pemakaian Bahasa Indonesia yang baik untuk berbagai keperluan, 5) sarana pengembangan penalaran dan 6) sarana pemahaman keberanekaragaman budaya Indonesia melalui khasanah kesastraan Indonesia. Untuk itulah, tujuan pembelajaran disajikan dalam komponen kebahasaan, komponen pemahaman dan komponen penggunaan secara terpadu.
Pembelajaran Bahasa Indonesia diorientasikan untuk mengembangkan empat macam keterampilan berbahasa, yaitu 1) keterampilan menyimak, 2) keterampilan berbicara, 3) keterampilan membaca dan 4) keterampilan menulis. Keterampilan menyimak dan membaca memiliki sifat reseptif, sedangkan keterampilan berbicara dan menulis memiliki sifat produktif. Keempat aspek yang dilatih pada siswa tersebut, menulis merupakan keterampilan yang harus mendapatkan perhatian secara cermat, teliti dan sungguh-sungguh. Jika dilihat dari penggunaan kurikulum 2013, banyak ditemukan materi-materi baru yang lebih menekankan siswa untuk menggunakan keterampilan berbahasa. Adapun diantara beberapa materi yang terdapat dalam kurikulum 2013 di SMA kelas X adalah materi pembelajaran tentang mengkonversi atau mengubah teks anekdot menjadi naskah drama yang memerlukan aspek membaca dan menulis.
Materi pembelajaran tentang mengkonversi teks anekdot menjadi naskah drama menggerakkan siswa untuk lebih aktif dan teliti dalam membaca sebuah teks cerita lalu menulis menjadi naskah drama. Namun, masalah yang muncul dalam proses pembelajaran adalah masih lemahnya kemampuan siswa dan daya tarik belajar siswa dalam materi mengkonversi teks anekdot menjadi naskah drama. Pada umumnya siswa hanya membaca sekilas teks anekdot dan memahami isi dari bacaan, tetapi ketika teks tersebut dikonversikan ke dalam naskah drama, terlihat bahwa siswa masih belum mampu dengan baik mengikuti pembelajaran. Maka, guru memiliki andil dan berperan penting dalam mengembangkan keaktifan dan kreatifitas siswa, misalnya dengan menggunakan sarana model pembelajaran yang dapat menimbulkan daya tarik siswa.
Penerapan model pembelajaran sangat bermanfaat dalam proses pembelajaran karena seluruh rangkaian penyajian materi ajar yang meliputi segala aspek sebelum dan sesudah pembelajaran berlangsung. Namun, sering kali ditemukan pendidik masih menggunakan model pembelajaran konvensional sehingga membuat siswa jenuh dan pada akhirnya siswa tidak mampu memahami materi. Penerapan model pembelajaran modeling the way merupakan salah satu solusi yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan mengkonversi teks anekdot menjadi naskah drama.
Menurut Istarani (2011:213), menyatakan bahwa “Model pembelajaran modeling the way adalah model pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mempraktikkan keterampilan spesifik yang dipelajari di kelas untuk demonstrasi, sehingga peserta didik dapat menjadi student center bagi siswa yang lain”. Dapat dipahami bahwa dengan menerapkan model pembelajaran modeling the way, siswa memiliki kesempatan untuk mempresentasikan hasil belajar yang telah dipelajarinya di kelas.
Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi pemasalahan dalam penelitian ini adalah apakah penerapan model pembelajaran modeling the way  efektif diterapkan seta dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada materi mengkonversi teks anekdot menjadi naskah drama. Berhubungan dengan pernyataan tersebut, maka untuk mengetahui jawaban masalah ini penulis tertarik untuk melakukan penelitian. Adapun judul penelitian ini adalah ”Penerapan Model Pembelajaran Modelling the Way Terhadap Materi Mengkonversi Teks Anekdot menjadi Naskah Drama pada Siswa Kelas X SMAN 1 Jangka Kabupaten Bireuen”.

1.2         Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah penerapan model pembelajaran modelling the way terhadap materi mengkonversi teks anekdot menjadi naskah drama pada siswa kelas X SMAN 1 Jangka Kabupaten Bireuen?

1.3         Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan adanya rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan data tentang penerapan model pembelajaran modelling the way terhadap materi mengkonversi teks anekdot menjadi naskah drama pada siswa kelas X SMAN 1 Jangka Kabupaten Bireuen.






1.4         Manfaat Penelitian
Berdasarkan uraian permasalahan dan tujuan penelitian yang telah dikemukakan tersebut, maka penelitian ini mempunyai dua manfaat yaitu secara teoretis dan praktis.
Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan agar dapat bermanfaat sebagai pengembangan ilmu pengetahuan sehingga banyak pengalaman yang diperoleh dan dapat menambah wawasan agar kualitas dalam dunia pendidikan semakin meningkat. Selain itu, penelitian ini juga memberikan dampak terhadap mutu pendidikan khususnya dalam proses belajar mengajar agar tujuan yang hendak dicapai sesuai dengan yang diharapkan.
Selanjutnya, secara praktis hasil penelitian ini bermanfaat bagi:
1)        bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan tentang bagaimana penerapan model pembelajaran modelling the way terhadap materi mengkonversi teks anekdot menjadi naskah drama, selain itu hasil penelitian ini dapat membantu memperbaiki pembelajaran, membantu peneliti untuk berkembang secara profesional, meningkatkan rasa percaya diri serta secara aktif dapat mengembangkan pengetahuan yang dimiliki.
2)        bagi siswa, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan baru tentang materi mengkonversi teks anekdot menjadi naskah drama dengan menerapkan model pembelajaran modelling the way, sehingga siswa dapat mengungkapkan pendapatnya dan memperoleh hasil belajar yang lebih baik dan efektif.
3)        bagi guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Jangka Kabupaten Bireuen, hasil  penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi model pembelajaran terutama dalam penerapan model pembelajaran modelling the way, sehingga guru lebih mudah dalam melaksanakan proses belajar mengajar dikarenakan guru hanya sebagai fasilitator sedangkan siswa dtuntut untuk lebih aktif dan kratif supaya dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
4)        bagi sekolah, hasil penelitian ini diharapkan dapat tercipta kondisi belajar yang kondusif, efektif, menyenangkan dan dengan meningkatnya hasil belajar siswa pada materi mengkonversi teks anekdot menjadi naskah drama melalui penerapan model pembelajaran modelling the way, maka akan dapat mendukung peningkatan mutu dan kualitas pembelajaran para siswa di SMAN 1 Jangka Kabupaten Bireuen.


1.5         Anggapan Dasar dan Hipotesis Penelitian
1.5.1   Anggapan Dasar Penelitian
Anggapan dasar yang terdapat dalam penelitian ini memiliki manfaat untuk memperoleh gagasan tentang letak persoalan atau masalahnya dalam hubungan yang lebih luas. Sehingga, dalam hal ini peneliti harus dapat memberikan sederetan asumsi yang kuat tentang kedudukan permasalahannya, yang nantinya akan menjadi tumpuan peneliti dalam melaksanakan penelitian tersebut dengan baik.
Menurut Arikunto (2006:65), menyatakan bahwa ”Anggapan dasar ini  merupakan landasan teori yang akan dijadikan pedoman dalam pelaporan hasil penelitian nanti”. Maka, yang menjadi anggapan dasar dalam penelitian ini adalah:
1)        mengkonversi teks anekdot menjadi naskah drama merupakan salah satu materi yang terdapat dalam kurikulum pembelajaran 2013 dan diajarkan kepada siswa kelas X SMAN 1 Jangka Kabupaten Bireuen. 
2)        melalui materi mengkonversi teks anekdot menjadi naskah drama, dapat menambah kemampuan siswa dalam menulis dan membaca, khususnya ketika mengubah sebuah teks cerita menjadi naskah drama.
3)        adanya perubahan yang berarti dalam pembelajaran bagi peserta didik dengan penerapan model pembelajaran modelling the way pada materi mengkonversi teks anekdot menjadi naskah drama.
1.5.2   Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan jawaban sementara yang masih dibutuhkan adanya pembuktian atau penjelasan-penjelasan tertentu mengenai suatu hal atau masalah. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Arikunto (2006:71), bahwa ”Hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul”. Adapun yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah hasil belajar  yang diajarkan dengan model pembelajaran modelling the way lebih baik dari pada model pembelajaran konvensional pada materi mengkonversi teks anekdot menjadi naskah drama.


1.6         Definisi Operasional
Untuk menghindari kesalahan penafsiran terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka penulis menguraikan beberapa definisi operasional sebagai berikut:
1)        penerapan adalah salah satu cara menerapkan sesuatu hal atau keadaan dengan tujuan agar apa yang disampaikan dapat bermanfaat dan dipahami dengan baik, yaitu dengan menggunakan model pembelajaran modelling the way pada materi mengkonversi teks anekdot menjadi naskah drama.
2)        model pembelajaran adalah seluruh rangkaian penyajian materi ajar yang meliputi segala aspek sebelum, sedang dan sesudah pembelajaran berlangsung yang dilaksanakan oleh pendidik.
3)        model pembelajaran modelling the way adalah salah satu model pembelajaran bermain peran dengan mempraktikkan atau mendemonstrasikan tentang materi mengkonversi teks anekdot menjadi naskah drama di depan kelas.
4)        mengkonversi adalah mengubah atau menukar suatu hal menjadi hal yang baru, yaitu mengubah teks anekdot menjadi naskah drama.
5)        teks anekdot adalah cerita singkat yang menarik karena lucu dan mengesankan, biasanya berisi tentang orang penting atau terkenal berdasarkan kejadian yang sebenarnya.
6)        naskah drama adalah bentuk tertulis dari sebuah cerita drama  yang berisi teks percakapan antartokoh.


BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1     Pengertian Model Pembelajaran
Model pembelajaran merupakan landasan praktik pembelajaran hasil penurunan teori psikologi pendidikan dan teori belajar yang dirancang berdasarkan analisis terhadap implementasi kurikulum dan implikasinya pada tingkat operasional di kelas. Model pembelajaran dapat diartikan pula sebagai pola yang digunakan untuk penyusunan kurikulum, mengatur materi dan memberi petunjuk kepada guru kelas. Belajar melalui model bertujuan untuk membantu siswa menemukan makna diri (jati diri) di dalam lingkungan sosial dan memecahkan dilemma atau persoalan yang muncul dalam pembelajaran dengan bantuan kelompok. Sehingga, dengan adanya pembelajaran melalui model siswa akan mengetahui perjalanan hidup serta aktivitas kerja keras seseorang dalam mencapai kesuksesan.
Menurut Istarani (2011:1), menyatakan bahwa ”Model pembelajaran adalah seluruh rangkaian penyajian materi ajar meliputi segala aspek sebelum, sedang dan sesudah pembelajaran yang dilakukan guru serta segala fasilitas yang terkait dan digunakan secara langsung atau tidak langsung dalam proses belajar mengajar”. Dapat dipahami bahwa model pembelajaran merupakan seluruh kegiatan atau bentuk penyampaian materi ajar yang berlangsung dalam proses belajar mengajar, baik sebelum, sedang atau sesudah proses belajar mengajar yang diterapkan oleh guru pengasuh mata pelajaran tersebut.
9
Sedangkan menurut Suprijono (2010:46), menyatakan bahwa ”Model pembelajaran merupakan pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran dalam bentuk kelompok atau tutorial. Proses pembelajaran yang direncanakan dalam membentuk kelompok yakni mengumpulkan beberapa orang siswa, sedangkan pembelajaran tutorial merupakan upaya memacu kemandirian, disiplin dan inisiatif diri siswa dalam belajar”. Dapat dipahami bahwa model pembelajaran adalah acuan yang diterapkan sebagai pedoman dalam pembelajaran, baik bersifat kelompok yaitu terdiri atas beberapa siswa maupun bersifat mandiri yaitu meningkatkan kemandirian atau keaktifan siswa dalam belajar.
Berdasarkan kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran adalah suatu rangkaian atau kerangka yang disajikan dan dirancang oleh seorang pendidik untuk mencapai tujuan pembelajaran. Model pembelajaran yang dirancang juga haruslah bersifat aktif, kreatif, inovatif dan menyenangkan. Sehingga peserta didik mampu menerima apa yang disampaikan oleh pendidik dan mampu meningkatkan minat belajar mereka.

2.2     Pengertian Model Pembelajaran Modelling the Way
Model pembelajaran modelling the way merupakan salah satu model pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada peseta didik untuk dapat mamaparkan apa yang telah diketahuinya di depan kelas secara langdung kepada siswa lain. Model pembelajaran ini sangat memberikan pengaruh yang berarti bagi peserta didik sehingga mereka berani mengemukakan pendapat dan ilmu yang dimiliki dalam forum yang lebih luas.
Menurut Istarani (2011:213), menyatakan bahwa ”Model Pembelajaran modelling the way adalah model pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mempraktikan keterampilan spesifik yang dipelajari di kelas untuk demonstrasi”. Dapat dipahami bahwa model pembelajaran modelling the way merupakan salah satu model pembelajaran yang membimbing siswa untuk mampu memaparkan apa yang telah dipelajarinya di kelas dalam bentuk demonstrasi atau praktik langsung di depan siswa lainnya. Selain itu, di dalam pembelajaran peserta didik diberi waktu untuk menciptakan skenario sendiri, membaca dan menentukan bagaimana mereka mengilustrasikan keterampilan dan teknik yang baru saja dijelaskan. Model ini sangat baik jika digunakan untuk mengajarkan pelajaran yang menutut keterampilan tertentu.
Sedangkan menurut Hisyam (2008:76), menyatakan bahwa ”Model pembelajaran modeling the way merupakan model pembelajaran yang memberi kesempatan kepada siswa untuk mempraktikkan keterampilan spesifik yang dipelajari di kelas melalui demonstrasi. Siswa diberi waktu untuk menciptakan skenario sendiri dan menentukan bagaimana mereka mengilustrasikan keterampilan dan teknik yang baru saja dijelaskan. Model pembelajaran ini akan sangat baik jika digunakan untuk mengajarkan pelajaran yang menuntut keterampilan tertentu”. Dapat dipahami bahwa model pembelajaran modeling the way merupakan model pembelajaran yang menuntut siswa untuk dapat mempraktikkan apa yang telah dipelajarinya di depan kelas. Siswa memiliki kesempatan untuk menyusun sendiri dan dalam bentuk apa yang ingin disampaikannya.
Berdasarkan pendapat pakar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa  model pembelajaran modeling the way adalah model pembelajaran yang diterapkan oleh guru dalam proses pembelajaran yaitu dengan mengasah keterampilan membaca  dan kemampuan berperan para siswa beradasarkan sesuatu skenario di depan kelas. Model pembelajaran ini menuntut siswa untuk mampu menyampaikan apa yang telah diperolehnya dalam pembelajaran untuk didemonstrasikan sesuai dengan apa yang telah dipelajarinya di depan kelas.

2.3      Langkah-langkah Model Pembelajaran Modelling the Way
Suatu model pembelajaran yang diterapkan dalam proses pembelajaran tentunya memiliki langkah-langkah tersendiri. Hal ini sama juga dengan proses pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran modelling the way juga memiliki beberapa tahap tersendiri. Menurut Istarani (2011:2013), menyatakan bahwa ”Langkah-langkah model pembelajaran modelling the way adalah sebagai berikut:
1)        menjelaskan materi yang diajarkan kepada siswa,
2)        mempraktikkan atau mendemonstrasikan materi ajar di depan kelas,
3)        setelah pelajaran satu topik tertentu, lalu carilah topik-topik yang menuntut siswa untuk mencoba dan mempraktikkan langsung yang  baru diterangkan,
4)        bagilah kelompok siswa ke dalam beberapa kelompok kecil sesuai jumlah mereka, kelompok ini yang akan mendemonstrasikan suatu keterampilan tertentu sesuai dengan skenario yang dibuat,
5)        berikan kepada siswa waktu 10-15 menit untuk menciptakan skenario kerja,
6)        berilah waktu 5-7 menit bagi siswa untuk berlatih,
7)        secara bergiliran tiap kelompok diminta mendemonstrasikan hasil kerja masing-masing, setelah selesai berilah kesempatan kepada kelompok yang lain untuk memberikan masukan pada setiap demonstrasi yang dilakukan,
8)        guru memberikan penjelasan secukupnya untuk mengklarifikasi,
9)        pengambilan keputusan.
Sedangkan menurut Suprijono (2010:115), ”Langkah-langkah model pembelajaran modelling the way adalah:
1)        setelah pembelajaran suatu topik tertentu, carilah topik-topik yang  menuntut siswa untuk mencoba atau mempraktikkan keterampilan yang diterangkan,
2)        bagilah siswa ke dalam kelompok kecil sesuai dengan jumlah mereka. Kelompok-kelompok ini akan mendemonstrasikan suatu keterampilan tertentu sesuai dengan skenario yang dibuat,
3)        berikan kepada siswa waktu 10-15 menit untuk menciptakan skenario kerja,
4)        berilah waktu 5-7 menit untuk berlatih,
5)        secara bergiliran tiap kelompok diminta mendemonstrasikan kerja masing-masing, setelah selesai berilah kesempatan kepada kelompok lain memberikan masukan pada setiap demonstrasi,
6)        guru memberikan penjelasan secukupnya untuk mengklasifikasi.
Berdasarkan kedua penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah model pembelajaran modelling the way yaitu : 1) guru menjelaskan materi yang akan diajarkan kepada para siswa, 2) guru mempraktikkan materi ajar tersebut di depan kelas, 3) guru memberikan topik lain sehingga siswa dapat mencoba mempraktikkan langsung sesuai dengan topik yang diberikan guru, 4) guru membagi siswa ke dalam beberapa kelompok kecil dan kelompok tersebutlah yang akan mempraktikkan apa skenario yang dibuat sesuai dengan topik yang telah ditentukan guru, 5) guru memberikan kesempatan kepada setiap kelompok untuk membuat skenario sesuai dengan topik yang telah ditentukan, 6) guru juga memberikan waktu kepada siswa untuk berlatih, 7) guru meminta setiap kelompok secara bergiliran untuk memaparkan hasil kerja setiap kelompok di depan kelas, lalu kelompok yang lain diberikan kesempatan untuk memberikan masukan atas paparan yang disampaikan kelompok lainnya, 8) guru memberikan penjelasan atas setiap demonstrasi yang dilakukan oleh masing-masing kelompok, dan 9) guru bersama siswa mengambil kesimpulan atas materi pembelajaran dan hasil demonstrasi yang berlangsung tersebut.

2.4      Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Modelling the Way
2.4.1 Kelebihan Model Pembelajaran Modelling the Way
Setiap model pembelajaran yang digunakan dalam proses pembelajaran tentunya memiliki kelebihan tersendiri, yang membedakannya dengan model pembelajaran lainnya. Kelebihan inilah yang menjadikan model pembelajaran tersebut layak diterapkan dalam prose pembelajaran, sehingga materi yang disampaikan dan tujuan pembelajaran bisa tercapai. Sama halnya dengan model pembelajaran modelling the way yang juga mempunyai kelebihan tersendiri. Menurut Istarani (2011-213), menyatakan bahwa ”Kelebihan dari model pembelajaran modelling the way adalah sebagai berikut :
1)      mendidik siswa untuk mampu menyelesaikan sendiri problema sosial yang ia jumpai,
2)      memperkaya pengetahuan dan pengalaman siswa,
3)      mendidik siswa berbahasa yang baik dan dapat menyalurkan pikiran serta perasaannya dengan jelas dan tepat,
4)      mau menerima dan menghargai pendapat orang lain,
5)      memupuk perkembangan kreativitas anak.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kelebihan model pembelajaran modelling the way antara lain adalah : 1) menuntut siswa untuk dapat menyelesaikan setiap persoalan sosial yang muncul secara pribadi, 2) menambah pengetahuan dan pengalaman para siswa, 3) menuntut siswa untuk dapat berbahasa yang baik ketika menyampaikan gagasan yang dimilikinya, 4) menuntut siswa untuk mampu menerima dan menghargai pendapat orang lain, dan 5) mampu mengembangkan kreatifitas siswa.
2.4.2        Kekurangan Model Pembelajaran Modelling the Way
Selain memiliki kelebihan tersendiri dalam setiap model pembelajaran yang diterapkan dalam proses pembelajaran, tentunya model pembelajaran tersebut juga memiliki kekurangan tersendiri. Sehingga, bisa menjadi acuan dalam penerapan model pembelajaran tersebut sehingga menjadi lebih baik. Begitu juga dengan model pembelajaran modelling the way, yang tentunya mempunyai kekurangan tersendiri. Menurut Istarani (2011-214), menyatakan bahwa ”Kekurangan dari model pembelajaran modelling the way adalah sebagai berikut :
1)        pemecahan problem yang disampaikan oleh siswa belum tentu cocok dengan keadaan yang ada di masyarakat,
2)        karena waktu yang terbatas, maka kesempatan berperan secara wajar kurang terpenuhi,
3)        rasa malu dan takut akan mengakibatkan ketidakwajaran dalam memainkan peran, sehingga hasilnya pun kurang memenuhi harapan,
4)        adakala media yang di praktikkan atau didemonstrasikan kurang tersedia dengan baik,
5)        imajinasi siswa kurang terlatih dalam mempraktikkan materi yang diajarkan karena jarang sekali guru melakukan hal ini.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kekurangan model pembelajaran modelling the way antara lain adalah : 1) sering kali pemecahan masalah yang diutarakan oleh siswa belum sesuai dengan keadaan sebenarnya di masyarakat, 2) kesempatan yang dimiliki siswa sangat terbatas untuk mendemonstrasikan materi yang telah diajarkan, 3) masih adanya rasa malu dan takut sehingga ketika siswa mendemonstrasikan hasilnya tidak sesuai harapan, 4) kurang tersedianya media untuk mendemonstrasikan materi, dan 5) kurang terlatihnya imajinasi siswa krtika mempraktikkan materi yang diajarkan.
2.5     Pengertian Drama
Banyak orang berasumsi bahwa drama itu hanyalah sekedar tontonan. Hal ini dikarenakan hampir semua jenis drama dipentaskan memang untuk ditonton. Pengajaran sastra di sekolah hanya menekankan pengetahuan sastra. Dalam pembelajaran sastra guru menekankan kemampuan siswa untuk dapat mengubah teks anekdot menjadi teks drama.
Menurut Soemanto (2001:3), menyatakan bahwa ”Drama adalah gerak, sehingga tidak dapat dipungkiri setiap drama akan mengandalkan gerak sebagai ciri utamanya. Kata kunci inilah yang membedakan dengan puisi dan prosa fiksi. Dalam bahasa prancis drama disebut drame yang berarti lakon serius. Lakon serius bukan berarti drama melarang adanya humor atau cerita lucu namun serius yang dimaksud merujuk pada aspek penggarapan. Drama adalah seni cerita dalam percakapan dan akting tokoh. Dikatakan serius artinya drama butuh penggarapan tokoh yang mendalam dan penuh pertimbangan sehingga yang digarap dapat memukau penonton”. Dapat dipahami bahwa hakikatnya drama merupakan gerak tokoh dalam cerita yang dipentaskan. Tokoh dalam drama menjalankan tugasnya untuk berakting sesuai dengan naskah dialog yang telah disusun oleh penulis naskah drama.
Sedangkan menurut Endraswara (2011:13), menyatakan bahwa ”Drama merupakan karya yang memiliki daya rangsang cipta, rasa dan karsa yang amat tinggi”. Dapat dipahami bahwa drama merupakan karya yang memiliki unsur ketertarikan tersendiri, yang membedakannya dengan karya sastra lainnya. Salah satunya, drama mampu merangsang daya imajinasi penontonnya dan mampu membangkitkan ketertarikan penonton untuk berbuat seperti apa yang dilakonkan oleh tokoh dalam drama.
Sesungguhnya, dalam drama juga terkandung aspek negatif, diantaranya drama yang memuat kekerasan dan adegan seksual, kadang memicu penonton untuk meniru. Drama yang menawarkan erotika tersembunyi pun sering mempengaruhi romantika hidup berkeluarga. Bahkan romantika dalam drama seringkali juga memperdaya antarpelaku untuk saling berkasih-kasihan di luar panggung. Begitu juga dengan drama sedih, sering mempengaruhi penonton harus menjiwai kesedihan”.
Menurut Endraswara (2011:13), menyatakan bahwa “Drama tidak hanya memiliki aspek negatif tetapi juga memiliki aspek positif, yaitu sebagai berikut:
1)        drama merupakan sarana yang paling efektif untuk melukiskan dan menggarap konflik-konflik sosial, dilema moral dan prolematika personal tanpa menanggung konsekuensi khusus dari aksi kita,
2)        aktor-aktor dalam drama memaksa kita untuk memusatklan perhatian kita pada protagonis lakon, yaitu untuk merasakan emosinya dan menghayati konflik-konfliknya, bahkan untuk ikut sama-sama merasakan penderitaan dan ketidakadilan yang dialami pelaku atau tokoh drama,
3)        melalui tragedi, misalnya dengan sedikit terluka dihati, mengajarkan tentang  bagaimana hidup dengan penuh derita dan memberikan wawasan mengenai suatu ketabahan dan kemuliaan yang tidak tertandingi,
4)        melalui komedi, kita dapat menikmati peluapan gelak tawa sebagai suatu pembukaan tabir rahasia mengenai untuk apa manusia mempertahanankan atau membela sesuatu,
5)        melodrama yang ditulis dengan baik, fantasi dapat mengusir keengganan (skepticism), memperluas imajinasi kita dan untuk sebentar membawa diri keluar dari diri kita sendiri,
6)        para psikiatris telah menggunakan psikodrama sebagai suatu sarana yang efektif dan dapat memuat pasien dapat mengingat kembali pengalaman masa lalunya.
7)        sosiodrama dikenal dapat menampilkan suatu fungsi yang sama bagi kelompok-kelompok kecil dalam masyarakat, misalnya sebagai sarana yang memuat masyarakat menyimpulkan identitas fiksional yang mengalami konflik yang tanpa serupa terjadi dalam keluarga dan kehidupan kelompok.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa drama adalah karya sastra yang dilakonkan oleh para tokoh sesuai dengan dialog yang telah ditulis dan juga dipentaskan. Sedangkan ketujuh hal di atas adalah kelebihan drama sebagai karya yang layak ditonton dan dibelajarkan. Nilai positif dan negatif dari drama amat tergantung pada resepsi penonton. Drama sebagai cerminan hidup dan diri kita sendiri. Drama adalah polesan sedangkan imajinasi hidup adalah yang telah dikreasi, justru akan memunculkan imajinasi yang lebih hebat. Alam pikiran manusia kadang-kadang melebihi drama, sikap dan tindakan seseorang yang bisa berubah. Orang dapat meniru tokoh, merasakan dan menghayati seluk beluk kejadian drama.

2.6     Karakteristik Drama
Drama merupakan bagian dari karya sastra, maka sifat dan kriteria yang ada pada karya sastra dimiliki juga oleh drama. Karakteristik drama bertumpu pada seni pertunjukan atau lakon para tokoh yang sesuai dengan peran atau naskah yang telah ditulis. Menurut Semi (2008:193-195), menyatakan bahwa “Karakteristik drama yaitu :
1)        mempunyai tiga dimensi, yaitu dimensi sastra, gerakan dan ujaran,
2)        memberi pengaruh emosional yang lebih kuat dibandingkan fiksi dan puisi,
3)        drama yang dipentaskan lebih lama diingat,
4)        memiliki konsentrasi dan intensitas,
5)        terbatas dalam wilayah penceritaan dan tempat,
6)        memiliki keterbatasan dari segi kepentasan,
7)        dibatasi oleh keterbatasan intelegensi penonton,
8)        memiliki episode yang terbatas,
9)        memiliki keterbatasan bentuk yaitu melaui percakapan

Dapat dipahami bahwa, karakteristik drama adalah sebagai berikut : 1) drama memiliki tiga bagian, yaitu sastra atau keindahan, gerakan atau lakon dan dialog atau ujaran, 2) drama mampu meberikan pengaruh emosional kepada penonton, 3) drama yang dipentaskan akan tetap melekat bagi penonton, 4) drama memiliki cakupan pesan tersendiri, 5) drama memiliki keterbatasan dalam segi tempat dan penceritaan, 6) adanya keterbatasan ruang dalam pementasan, 7) terbatas pada tingkat pemahaman penonton, 8) adanya episode yang lebih sedikit, dan 9) terbatas dari segi bentuk yaitu dalam bentuk percakapan.

2.7     Pengertian Naskah Drama
Naskah drama pada umumnya disebut skenario, yang berupa susunan dari adegan-adegan yang dituangkan dalam bentuk karya tulis. Suatu rangkaian perucapan atau percakapan dalam bentuk tulisan yang tersusun sedemikian rupa  dengan mempertimbangkan tema, isi, alur cerita maupun irama. Nakah drama biasanya disertakan keterangan tentang karakter atau perwatakan tokoh, suasana, dan setting. Secara keseluruhan bentuk khusus drama disampaikan melalui dialog. Dialog-dialog tersebut membentuk suatu kesatuan yang pada akhirnya menampilkan suatu kepribadian. Kepribadian tersebut menjadi keistimewaan dialog pada drama bukan karena dialognya saja.
Naskah adalah bentuk tertulis dari sebuah cerita drama dan termasuk ke dalam sastra. Oleh sebab itu, penulisannya sama dengan bentuk penciptaan sastra yang lain. Dimulai dari pencarian ide kemudian dikembangkan menjadi sebuah cerita yang utuh sesuai dengan ketentuan penulisan naskah drama, yaitu dalam bentuk dialog (percakapan) disertai atau tanpa penunjuk pementasan.
Menurut Endraswara (2011:14), menyatakan bahwa ”Naskah drama adalah urutan cerita yang belum dipentaskan. Naskah drama mempunyai beberapa unsur pendukung yakni bahasa, karakter (pelaku), konflik antar pelaku, alur dan tema. Bahasa terdiri atas pilihan kata, penyusunan dialog, ujaran (pernyataan) pelaku dan gambaran aksi pemain. Unsur bahasa tersebut harus tampak menarik dalam setiap naskah drama. Selain itu, karakter, konflik, alur dan tema sangat diperlukan dalam naskah drama. Konflik digunakan untuk mengembangkan karakter tokoh. Alur dikembangkan untuk memberikan  inspirasi situasi (setting), sedangkan tema menandakan karakteristik ide dalam naskah”.
Dapat dipahami bahwa naskah drama adalah skenario yang berisi tentang dialog percakapan yang akan dilakonkan olrh tokoh di dalam drama di atas pentas. Naskah drama tersusun atas bahasa, misalnya pilihan kata dalam penyusunan dialog dan gambaran  tentang rutinitas yang dilakonkan oleh tokoh. Selain bahasa, naskah drama juga tersusun atas karakter setiap tokohnya, masalah yang muncul dalam kehidupan tokoh, rentetan jalan cerita tokoh dalam drama dan yang terutama naskah drama tersusun atas tema cerita drama tersebut.
Sedangkan menurut Waluyo (2002:2), menyatakan bahwa ”Naskah drama adalah salah satu genre karya sastra yang sejajar dengan prosa dan puisi. Berbeda dengan prosa maupun puisi, naskah drama memiliki bentuk sendiri yaitu ditulis dalam bentuk dialog yang didasarkan atas konflik batin dan mempunyai kemungkinan dipentaskan”. Dapat dipahami bahwa naskah drama merupakan jenis karya sastra yang sejajar dengan prosa dan puisi. Namun, naskah drama ditulis dalam bentuk dialog percakapan antartokoh yang sesuai dengan masalah yang muncul dalam kehidupan para tokoh dan tentunya akan dipentaskan.
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa naskah drama adalah suatu cerita yang berisi dialog para tokoh. Selain itu, disertai juga dengan  keterangan-keterangan tertentu atas apa yang dilakukan tokoh dalam cerita tersebut seperti gerakan yang dilakukan pemain, tempat dan waktu terjadinya peristiwa, benda atau peralatan yang digunakan dalam setiap babak, keadaan panggung, dan sebagainya. Naskah drama tentunya masih berbentuk teks atau tulisan yang belum diterbitkan (pentaskan).

2.8      Unsur-unsur Naskah Drama
Sebuah naskah drama tidak dapat dipungkir pasti tersusun atas unsur-unsur yang membentuk naskah drama tersebut. Naskah drama merupakan bentuk karya sastra yang tersusun dari unsur intrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun sebuah drama dan berada dalam drama itu sendiri. Menurut Kosasih (2003:270), menjelaskan bahwa “Unsur-unsur intrinsik drama meliputi penokohan, dialog, alur dan latar”. Memperkuat pendapat tersebut Tarigan (2000:74) juga mengatakan bahwa “Unsur-unsur drama yaitu alur, penokohan, dialog dan latar”.
1)        Penokohan
Penokohan merupakan proses yang digunakan pengarang untuk menciptakan tokoh-tokoh pelaku serta sifat atau gambaran yang berkenaan dengannya. Pelaku dalam cerita dapat berupa manusia, binatang atau benda-benda mati yang dilisankan. Mereka adalah tokoh-tokoh imajinatif. Teknik penyajian watak para pelaku bermacam-macam. Ada pengarang yang menyajikan watak pelakunya secara sederhana dan jelas melalui penuturan pengarangnya, ada juga pengarang yang menggambarkan watak tokoh melalui tingkah laku, tindakan dan pemikiran pelakunya.
Menurut Kosasih (2003:256), menjelaskan bahwa “Teknik yang digunakan pengarang untuk menggambarkan watak tokoh yaitu teknik analitik dan teknik dramatik. Watak seorang tokoh dalam drama dapat dilihat dari ucapan-ucapannya. Seorang tokoh dapat diketahui usia, latar belakang sosial, moral, suasana kejiwaan, agama yang dianut dan bahkan politik atau idiologinya. Selain itu, watak seorang tokoh dapat dilihat dari gerak dan tingkah laku, cara berpakaian, jalan pikiran atau ketika tokoh itu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain”. Dapat dipahami bahwa penokohan adalah karakter yang diemban oleh tokoh dalam cerita yang sesuai dengan skenario yang telah ditulis. Karakter tokoh dalam cerita terlihat dari ucapan dan tingkah lakunya.
2)        Dialog
Dialog dalam suatu pertunjukan drama merupakan unsur penting, karena pertunjukan tanpa adanya dialog membuat penonton sulit memahami jalan cerita secara utuh (walaupun ada lakon drama yang dipantominkan). Dialog  memang unsur yang penting dalam drama karena dengan dialog-dialog inilah sebuah ceita akan terungkap, misalnya watak para pelaku. Menurut Tarigan (2000:77), menjelaskan bahwa “Dialog dalam drama harus memenuhi dua hal yaitu dialog haruslah dapat mempertinggi nilai gerak dan dialog haruslah baik dan bernilai tinggi”. Dapat dipahami bahwa dialog merupakan unsur dalam drama yang harus dapat memberikan dampak yang baik pada akting para tokoh dalam drama.
3)        Alur
Alur tidak hanya mengemukakan apa yang terjadi, tetapi yang lebih penting adalah penjelasan mengapa hal itu terjadi. Sehingga sambung menyambung peristiwa dalam cerita maka terwujudlah sebuah cerita. Sebuah cerita bermula dan berakhir, antara awal dan akhir inilah terlaksana alur itu. Alur mempunyai pula bagian-bagiannya yang secara sederhana dapat dikenal sebagai permulaan, pertikaian, perumitan, puncak, peleraian dan akhir dari sebuah cerita. Menurut Tarigan (2000:150), menyatakan bahwa “Alur adalah struktur gerak laku dalam suatu fiksi atau drama”. Dapat dipahami bahwa alur merupakan rentetan gerak pelaku dalam cerita drama yang melukiskan kisah hidup tokoh dalam cerita tersebut.  
4)        Latar
Latar adalah tempat atau waktu terjadinya cerita. Kegunaan latar atau setting dalam cerita, biasanya bukan hanya sekedar sebagai petunjuk kapan dan dimana cerita itu terjadi, melainkan juga sebagai tempat pengambilan nilai-nilai yang ingin diungkapkan pengarang melalui ceritanya tersebut. Latar merupakan identitas permasalahan drama sebagai karya fiksionalitas yang secara tidak langsung diperlihatkan penokohan dan alur.
Jika permasalahan drama sudah diketahui melalui alur atau penokohan, maka latar dan ruang memperjelas suasana, tempat serta waktu peristiwa itu berlaku. Latar tempat menunjuk pada tempat atau lokasi terjadinya cerita. Latar waktu menunjuk pada kapan atau bilamana cerita terjadi. Latar sosial menunjuk pada kondisi sosial yang melingkupi terjadinya cerita. Dapat dipahami bahwa latar adalah tempat terjadinya peristiwa dalam cerita yang meliputi tempat, ruang dan waktu.    
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur naskah drama adalah 1) penokohan, yaitu watak atau karakter yang dilakonkan oleh tokoh sesuai dengan naskah drama, 2) dialog, yaitu percakapan antartokoh dalam naskah drama, 3) alur, yaitu jalan cerita dalam naskah drama, dan 4) latar, yaitu tempat terjadinya peristiwa dalam naskah drama, baik tempat, ruang dan waktu kejadian peristiwa-peristiwa dalam cerita. Unsur-unsur tersebutlah yang harus ada dalam suatu naskah drama, sehingga tersusun sebuah naskah drama yang baik.

2.9         Pengertian Mengkonversi
Suatu jenis teks jika ingin dibuat menjadi bentuk yang lain hendaknya harus diubah terlebih dahulu. Mengubah bentuk teks asli menjadi bentuk teks yang lain disebut dengan konversi. Kegiatan mengkonversikan suatu jenis teks menjadi teks yang lain inilah yang nantinya akan dijadikan acuan para siswa dalam mengubah suatu jenis teks.
Menurut Mulyadi (2013:23), menyatakan bahwa ”Mengkonversi adalah kegiatan yang dilakukan oleh siswa dengan mengubah bentuk teks anekdot menjadi bentuk naskah drama”. Dapat dipahami bahwa mengkonversi merupakan kegiatan yang dilakukan seseorang untuk mengubah suatu bentuk teks menjadi jenis teks lainnya. Hakikatnya, mengkonversi adalah kegiatan mengubah jenis teks anekdot menjadi bentuk naskah drama.

2.10     Mengonversikan Teks Anekdot dalam Bentuk Drama
Teks anekdot dengan drama memiliki banyak persamaan, lebih-lebih anekdot yang berbentuk dialog. Oleh karena itu, akan lebih mudah untuk mengkonversikannya, yaitu melengkapinya dengan bagian-bagian yang belum ada pada anekdot, misalnya dalam hal strukturnya.
Menurut Mulyadi, (2013:39), menyatakan bahwa “Struktur dasar sebuah  drama terdiri atas tiga bagian, yaitu prolog, dialog dan epilog”.
1)        Prolog merupakan pembukaan atas peristiwa dalam drama. Dalam sebuah prolog dapat pula dikemukaan penjelasan tentang karakter setiap tokoh, gambaran setting dan unsur-unsur lainya.
2)        Dialog merupakan  media kisahan yang melibatkan tokoh-tokoh drama yang diharapkan dapat menggambarkan kehidupan dan watak setiap tokoh beserta konflik-konflik yang dihadapinya.
3)        Epilog merupakan bagian terakhir dari sebuah drama, fungsinya untuk menyampaikan intisari atau maksud cerita.
Dalam sebuah dialog itu sendiri, ada tiga unsur yang tidak boleh dilupakan. Ketiga elemen tersebut adalah tokoh, wawancang dan kramagung.
1)        Tokoh adalah pelaku yang mempunyai peran yang lebih dibandingkan pelaku lain, sifatnya bisa protagonis atau antagonis.
2)        Wawancang adalah dialog atau percakapan yang harus diucapkan oleh tokoh cerita.
3)        Kramagung adalah petunjuk perilaku, tindakan atau perbuatan yang harus dilakukan oleh tokoh. Dalam naskah drama, kramagung dituliskan dalam tanda kurung (biasanya dicetak miring).


2.11     Pengertian Teks Anekdot
Teks anekdot adalah sebuah teks yang berisi pengalaman seseorang yang tidak biasa. Pengalaman yang tidak biasa tersebut disampaikan kepada orang lain dengan tujuan untuk menghibur si pembaca. Munculnya teks anekdot sebagai teks yang diajarkan dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia baru disampaikan secara tersurat dalam Kurikulum 2013. Berdasarkan paradigma  kurikulum 2013 yang  mencanangkan pembelajaran bahasa berbasis teks, siswa sudah dituntut mampu mengonsumsi dan memproduksi teks. Selain teks sastra non-naratif itu, hadir pula teks cerita naratif dengan fungsi sosial berbeda. Teks anekdot dapat juga digunakan untuk mengkritik pihak lain dan suatu sistem tertentu.
Menurut Endraswara (2011:25), menjelaskan bahwa anekdot adalah ”Sebuah cerita singkat, lucu dan menarik, yang mungkin menggambarkan kejadian atau orang sebenarnya”. Maksudnya, anekdot merupakan sebuah naskah yang disajikan berdasarkan kejadian nyata yang melibatkan orang-orang sebenarnya, dan di suatu tempat yang dapat diidentifikasi. Selain itu, dapat juga menghibur, tetapi anekdot bukanlah lelucon, karena tujuan utamanya adalah tidak hanya untuk membangkitkan tawa, tetapi untuk mengungkapkan suatu kebenaran yang lebih umum daripada kisah singkat itu sendiri, atau untuk melukiskan suatu sifat karakter dengan ringan.
Sedangkan menurut Mulyadi (2013:23), menyatakan bahwa ”Teks anekdot adalah cerita singkat yang menarik karena lucu dan mengesankan, biasanya mengenai orang penting atau terkenal dan berdasarkan kejadian sebenarnya”. Dapat dipahami bahwa teks anekdot merupakan suatu teks yang berisi tentang cerita yang menarik disebabkan karena lelucon yang terdapat dalam teks tersebut. Lelucon dalam teks anekdot biasa mengenai tentang suatu kejadian yang dialami oleh tokoh dalam cerita tersebut.
Berdasakan kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa teks anekdot adalah cerita singkat dan unik yang berisi gambaran atau pemaparan yang lucu, mengesankan dan menarik mengenai orang penting atau terkenal. Dengan bentuk atau gambaran yang singkat dan pendek, anekdot mempunyai sifat yang sangat lentur sehingga memiliki banyak peminat. Dengan demikian teks anekdot merupakan cerita narasi ataupun percakapan yang lucu dengan berbagai tujuan, baik hanya sekadar hiburan atau senda gurau, sindirin, atau kritik tidak langsung.  Anekdot berisi pengalaman tentang peristiwa-peristiwa yang tidak biasa dari partisipan. Partisipan merupakan prilaku yang di dalam teks anekdot. Peristiwa tersebut membuat sengket atau berisi kekonyolan dari partisipan. Kejengkelan  dan kekonyolan merupakan krisis yang ditanggapi dengan reaksi dari pertentangan antara puas dan tidak puas serta nyaman dan tidak nyaman. Pengalaman yang tidak biasa tersebut disampaikan kepada orang lain dengan tujuan untuk menghibur si pembaca. Teks Anekdot disebut pula dengan cerita jenaka.

2.12   Tujuan Teks Anekdot
          Teks anekdot merupakan suatu teks yang berisi lelucon tentang suatu peristiwa yang dialami oleh sang tokoh dalam cerita tersebut. Teks anekdot tentunya dibuat dengan tujuan tertentu bagi pembaca. Menurut Endraswara (2011:25), menjelaskan bahwa tujuan teks anekdot, yaitu :
1)        menghibur,
2)        menambah wawasan dan pengetahuan
3)        mengetahui sikap, perilaku, pemikiran dan pandangan hidup tentang sekitar kita,
4)        bersifat sindiran

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan disusunnya teks anekdot yaitu : 1) untuk menghibur pembaca dengan berbagai lelucon yang terdapat dalam teks, 2) dapat menambah wawasan dan pengetahuan pembaca tentang teks tersebut, 3) dapat memahami tentang sikap, perilaku, pemikiran dan pandangan hidup tentang peristiwa yang muncul dalam kehidupan tokoh dalam teks, dan 4) teks tersebut bersifat sindiran tentang suatu kejadian yang terjadi dalam kehidupan tokoh.

2.13   Struktur Teks Anekdot
          Struktur merupakan unsur-unsur yang menjadi landasan dasar sehingga terbentuknya sebuah teks anekdot yang baik. Menurut Endraswara (2011:26), menjelaskan bahwa ”Pada umumnya teks anekdot terdiri atas lima bagian, yaitu:
1)        Abstrak
Abstrak adalah bagian di awal paragraf yang berfungsi memberi gambaran tentang isi teks. Biasanya bagian ini menunjukkan hal unik yang akan ada di dalam teks. Dapat dipahami bahwa abstrak merupakan bagian pertama dalam teks yang dapat mendeskripsikan tentang keseluruhan dari teks tersebut.
2)        Orientasi
Orientasi adalah bagian yang menunjukkan awal kejadian cerita atau latar belakang bagaimana peristiwa terjadi. Biasanya penulis bercerita dengan detil di bagian ini. Maksudnya, jelas bahwa orientasi merupakan bagian dalam teks yang menggambarkan kejadian awal yang terjadi dalam suatu teks.
3)        Krisis
Krisis adalah bagian ini adalah bagian terjadinya suatu hal atau masalah yang unik dan tidak biasa, yang terjadi pada si penulis atau orang yang diceritakan. Maksudnya, krisis merupakan bagian dalam teks yang menggambarkan tentang suatu hal yang berbeda dari yang lain yang dialami oleh tokoh dalam teks.
4)        Reaksi
Reaksi adalah bagian yang berisi tentang bagaimana cara penulis atau orang yang ditulis tersebut menyelesaikan masalah yang timbul di bagian krisis tadi. Maksudnya, jelas bahwa reaksi merupakan bagian dalam teks yang menceritakan tentang bagaimana sang tokoh menyelesaikan berbagai masalah yang telah muncul.
5)        Coda
Coda merupakan bagian akhir dari cerita unik tersebut. Bisa juga dengan memberi kesimpulan tentang kejadian yang dialami penulis atau orang yang ditulis. Dapat dipahami bahwa coda adalah bagian dalam teks yang menjadi bagian terakhir yang berisi tentang kesimpulan dari berbagai masalah yang dialami sang tokoh dalam teks dan bisa juga mendeskripsikan tentang pesan moral.
Sedangkan menurut Mulyadi (2013:23), menyatakan bahwa ”Struktur teks anekdot terdiri dari lima unsur yaitu :
1)        abstraksi (abstract), yaitu bagian awal anekdot yang berfungsi memberi gambaran tentang isi teks. Dapat dipahami bahwa abstraksi merupakan bagian awal dalam teks anekdot yang mendeskripsikan tentang isi dari teks tersebut.
2)        orientasi (orientation), yaitu bagian yang menunjukkan awal kejadian cerita atau latar belakang peristiwa. Dapat dipahami bahwa orientasi merupakan bagian dalam teks anekdot yang mendeskripsikan tentang kejadian awal terjadinya cerita tersebut.
3)        krisis (crisis), yaitu bagian yang menunjukkan terjadinya hal yang menarik atau kejanggalan ataupun ketidakpuasan pada si penulis atau orang yang diceritakan. Dapat dipahami bahwa krisis merupakan bagian dari teks anekdot yang memaparkan hal atau peristiwa yang menarik yang dialami oleh tokoh dalam cerita tersebut.
4)        reaksi (reaction), yaitu bagian yang menjelaskan cara penulis atau orang yang ditulis menyelesaikan masalah yang timbul pada bagian krisis. Dapat dipahami bahwa reaksi merupakan bagian dalam teks anekdot yang mendeskripsikan tentang berbagai solusi yang digunakan tokoh dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya.
5)        koda (coda), yaitu bagian akhir dari cerita Anekdot. Dapat dipahami bahwa koda merupakan bagian akhir dari teks anekdot yang berisi tentang simpulan akhir dari kehidupan tokoh dalam cerita tersebut.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa struktur pembangun teks anekdot terbagi atas lima bagian, yaitu abstrak, orientasi, krisis, reaksi, dan coda. Kelima struktur tersebut menjadi landasan tersusunnya sebuah teks anekdot yang baik.

2.14     Ciri-Ciri Teks Anekdot
Teks anekdot juga memiliki ciri-ciri tersendiri, yang dapat membedakannya dengan jenis teks lainnya. Menurut Endraswara (2011:28), menjelaskan bahwa teks anekdot memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1)        aspirasi (opini)
2)        menyindir (sarkasme)
3)        tokohnya faktual
4)        memiliki alur/plot
5)        memiliki latar waktu, tempat, dan latar suasana
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa teks anekdot memiliki ciri-ciri yang unik, yaitu bisa berupa opini dari seorang penulis naskah, bisa berupa kata-kata yang penuh dengan sindiran dalam naskah tersebut, bisa juga dikarenakan adanya tokoh yang terkenal, dan dianggap penting, selain itu bisa juga teks anekdot terbentuk dari urutan peristiwa yang menarik atau bahkan lucu, dan teks anekdot juga mempunyai latar kejadian dalam naskah.
































BAB III
METODE PENELITIAN
3.1     Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Penggunaan pendekatan ini didasarkan pada kenyataan bahwa data yang dikumpulkan berupa nilai atau angka-angka, adanya rumusan hipotesis yang jelas, analisis data dilakukan setelah semua data terkumpul dan analisis data ini dilakukan dengan menggunakan rumus statistik. Menurut Sugiyono (2012:14), menyatakan bahwa “Metode penelitian kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang melandaskan pada filsafat positifisme. Teknik pengambilan sampel pada umumnya dilakukan secara random, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data filsafat kuantitatif atau statistik dengan tujuan untuk menguji kebenaran dari hipotesis yang telah dirumuskan.
Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen. Menurut Sugiyono, (2012:107), menjelaskan bahwa ”Penelitian eksperimen adalah jenis penelitian yang dipakai digunakan untuk mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang terkendali.  Dapat dipahami bahwa jenis penelitian eksperimen digunakan untuk mencari ada tidaknya pengaruh atas suatu hal, yaitu dengan adanya penerapan model pembelajaran modelling the way terhadap materi mengkonversi teks anekdot menjadi naskah drama.


33
 
3.2     Desain Penelitian
Adapun desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pretest – posttest – control group design.
R            O1          X         O2
R            O3          X         O4
Dalam desain penelitian ini, terdapat dua kelompok yang dipilih secara random, kemudian diberi pretest untuk mengetahui keadaan awal yaitu adakah perbedaan antara kelompok eksperimen dan kelompok control. Hasil pretest yang baik bila nilai kelompok eksperimen tidak berbeda secara signifikan. Sehingga pengaruh perlakuan adalah (O2 – O1) – (O4 – O3).

3.3     Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 1 Jangka yang terletak di Jalan Jangka, Desa Jangka Kecamatan Jangka Kabupaten Bireuen. Penelitian ini dilakukan pada semester genap tahun pelajaran 2015/2016. Alasan peneliti memilih SMA Negeri 1 Jangka sebagai lokasi penelitian ini karena karakteristik yang dimiliki oleh warga pendidik di sekolah tersebut selalu menerima berbagai pembaharuan yang bersifat positif sehingga menggugah minat semua pihak terkait untuk bersama-sama mencari solusi terbaik untuk meningkatkan kemampuan siswa dan meningkatkan kualitas proses pembelajaran dalam materi mengkonvensi teks anekdot menjadi naskah drama.


3.4     Populasi dan Sampel Penelitian
          3.4.1 Populasi Penelitian
          Populasi adalah keseluruhan objek dalam penelitian. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Arikunto (2006:32) bahwa ”Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari. Populasi berkenaan dengan data, bukan dengan orang atau bendanya. Populasi merupakan kelompok subjek, baik manusia, kelas, nilai, tes, benda-benda ataupun peristiwa yang akan diteliti”. Adapun populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X SMA Negeri 1 Jangka yang terdiri atas 3 kelas paralel dengan rincian MIA 1, MIA 2, MIA 3, IPS 1 dan IPS 2 dengan jumlah 112 siswa. Maka, jumlah populasi adalah sebanyak 112 siswa.
          3.4.2  Sampel Penelitian
          Penarikan sampel dipedomani pada pendapat Arikunto (2006:134) menyatakan bahwa ”Apabila subjeknya (populasi) kurang dari 100, lebih baik diambil semua, sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Tetapi, jika jumlah subjeknya (populasi) besar atau lebih besar dari 100, dapat diambil antara 10-15% atau 20-25% atau lebih”. Adapun teknik pengambilan sampel dilakukan dengan teknik random sampling. Dengan demikian, yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah :
  x 15 % = 17 orang

         
3.5     Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik yang digunakan dalam pengumpulan data penelitian ini, adalah sebagai berikut :
1)        sebelum memberikan tes kepada responden, peneliti menyiapkan dua buah RPP yang sama, satu buah dengan model pembelajaran konvesional dan satu buah lagi dengan model pembelajaran modelling the way.
2)        peneliti memberikan protes kepada kedua kelas tersebut.
3)        peneliti mengajarkan materi mengkonversi teks anekdot menjadi naskah drama pada kelas kontrol dengan menggunakan model pembelajaran konvesional.
4)        peneliti mengajarkan materi mengkonversi teks anekdot menjadi naskah drama pada kelas eksperimen dengan menggunakan model pembelajaran modelling the way.
5)        peneliti memberikan soal protes kepada kedua kelas tersebut.
6)        peneliti mengumpulkan hasil kerja responden untuk dianalisis.

3.6     Teknik Analisis Data
Untuk melihat adakah hasil belajar siswa mengalami peningkatan, data yang dikumpul tersebut diolah dengan menggunakan rumus statistik uji-T dengan taraf signifikan 0,05 yang diperhatikan berdasarkan dari derajat kebebasan yang dibandingkan dengan besar T tabel, dengan rumus sebagai berikut :
1)        data yang telah disusun dalam daftar distribusi frekuensi rata-rata menurut Sudjana (2002:67) dihitung dengan rumus :
         

Keterangan :


f   = frekuensi
2)        untuk menghitung simpangan baku (s2) menurut Sudjana (2002:47) adalah :

Keterangan :
Xi = kelas interval
3)        untuk mencari varian gabungan menurut Sudjana (2002-293) adalah :

Keterangan :

n1     =  jumlah siswa kelas eksperimen
n2     =  jumlah siswa kelas kontrol
simpang baku data kelompok eksperimen
          simpang baku data kelompok kontrol
4)        untuk menguji kenormalan sampel menurut Sudjana (2005-293) adalah :
         

Keterangan :

Oi  = nilai-nilai yang nampak sebagai hasil pengamatan
Ei   = nilai-nilai yang diharapkan terjadi/nilai teroris

5)        untuk menguji kesamaan dua varian menurut Sudjana (2002:273) adalah :

6)        untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan yaitu tentang perbandingan belajar siswa menurut Sudjana (2002-249) adalah :
Keterangan :
t   =  uji-t
Hipotesis yang akan di uji adalah :
Ho =    (hasil belajar yang diajarkan siswa dengan model pembelajaran modelling the way sama dengan prestasi belajar dengan pembelajaran konvensional dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada meteri mengkonversi teks anekdot menjadi naskah drama).
Ha =    (hasil belajar yang diajarkan dengan model pembelajaran modelling the way lebih baik dengan pembelajaran konvensional dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada materi mengkonversi teks anekdot menjadi naskah drama.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Endraswara, Suwardi. 2011. Metode Pembelajaran Drama Apresiasi, Ekspresi dan Pengkajian. Yogyakarta : CAPS.

Hisyam Zaini, dkk. 2008. Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani.

Istarani. 2011. 58 Model Pembelajaran Inovatif. Medan: Media Persada.

Kosasih. E. 2003. Kompetensi Ketatabahasaan dan kesusastraan. Bandung: Ramawidia.

Mulyadi, Yadi, dkk.2013. Bahasa Indonesia untuk SMA-MA/SMK Kelas X. Bandung: Yrama Widya.

Semi, M. Atar. 2008. Stilistika Sastra. Padang: UNP Press.
Soemanto, Bakdi. 2001. Jagad Teater. Yogyakarta: Mespress.
Sudjana. 2002. Metode Statistika. Bandung: Tarsito.

Sugiyono. 2012. Metodelogi Penelitian Pendidikan, Bandung : Alfabeta
Suprijono, Agus. 2010 . Cooperatif Learning.Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Tarian, Henry Guntur. 2000. Prinsip-prinsip dasar Sastra. Bandung : Angkasa.
Tim Penyusun. 2014. Pedoman Penulisan Skripsi. Matangglumpangdua: FKIP Universitas Almuslim.

39
Waluyo, Herman. 2002. Drama: Teori dan Pengajarannya. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.

1 komentar: