Senin, 20 Juni 2016

ANALISIS GAYA BAHASA DALAM NOVEL ”LAMPUKI” KARYA ARAFAT NUR



BAB I
PENDAHULUAN
1.1         Latar Belakang Masalah
Sastra merupakan suatu hasil imajinasi dan buah kreatif penulis yang dihasilkan dalam bentuk tulisan. Tulisan yang bernilai sastra dilahirkan dari sederet kalimat-kalimat yang disusun dan dimanipulasi dengan rapi oleh penulis. Penulis meluapkan imajinasi dan ide-ide yang dimilikinya dengan penuh kesungguhan sehingga menghasilkan sebuah karya yang dapat dinikmati oleh pembaca. Meluapkan gagasan tersebut tidaklah semudah yang dipikirkan, seorang penulis haruslah memiliki tingkat kreatifitas yang tinggi dalam menyusun sederet kalimat.
Namun, kreativitas itu tidak saja dituntut dalam upaya melahirkan pengalaman batin dalam bentuk karya sastra, tetapi lebih dari itu. Seorang pengarang menghayati berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan yang kemudian diungkapkannya kembali melalui sarana fiksi sesuai dengan pandangannya dan seorang pengarang harus dapat memilih unsur-unsur terbaik dari pengalaman hidup manusia yang dihayatinya, yang akhirnya dituang dalam bentuk tulisan.
1
Novel merupakan salah satu bentuk dari karya sastra. Dalam novel, pengarang memaparkan realitas kehidupan manusia yang dibungkus dengan rapi dengan menggunakan bahasa yang  dapat membuat pembaca ikut merasakan dan mengalami sendiri, seperti yang dilukiskan oleh pengarang. Pengarang menyampaikan imajinasinya dalam sebuah novel dengan memainkan kata-kata sehingga menjadi untaian bahasa yang bernilai sastra. Selain itu, pengarang juga menyusun sederet kata yang membangun alur cerita dalam novel dengan kata-kata yang bermakna kias, sehingga pembaca dengan sendirinya dapat merasakan adanya kehadiran nilai sastra yang tinggi dalam ceita novel tersebut.
Pengarang sebuah novel yang baik adalah pengarang yang dapat memainkan kata-kata, ia dapat menciptakan berbagai gaya bahasa dalam penceritaan berbagai rentetan alur dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam novel. Hal ini dikarenakan pada hakikatnya, gaya bahasa adalah cara khas penulis dalam pengungkapan imajinasinya melalui bahasa tulis. Penulis mengutarakan hasratnya dalam penyampaian ide-idenya melalui bahasa kias, atau bukan bahasa sebenarnya dengan alasan agar pembaca tertarik untuk melanjutkan membaca sampai tuntas jalannya alur dalam cerita. Selain itu, penulis ingin menghadirkan sebuah karya sastra tulis berbentuk novel yang memiliki kekhasan dalam segi bahasa, sehingga membedakannya dengan bentuk sastra tulis lainnya.
Novel Lampuki merupakan salah satu novel karya Arafat Nur yaitu sebuah novel yang menceritakan tentang kisah hidup masyarakat Aceh di masa DOM.  Lampuki dengan gamblangnya memaparkan bagaimana pilunya masyarakat Aceh kala itu, berbagai teror yang diterima rakyat dan berbagai penyikasaan harus dilalui dalam keseharian mereka. Hal tersebut dibentangkankan dalam Lampuki dengan menggunakan gaya bahasa yang menantang dan membuat pembaca ikut merasakan alur peristiwa yang dikisahkan dalam Lampuki.
Arafat Nur secara jelas mengungkapkan hal-hal itu dalamLampuki. Di dalam novel ini ia mengisahkan segala problema, dinamika serta gejolak masyarakat Aceh, ketika para pemberontak Aceh dan serdadu pemerintah saling mengarahkan senjatanya.
Menariknya, Arafat Nur tidak mengetengahkan kesemuanya dengan amarah ataupun emosi keberpihakan. Sebaliknya, ia mengungkapkannya dengan satir, sindiran, sinisme, sampai olok-olok. Inilah yang membuatLampuki terasa berbeda jika dibandingan dengan novel-novel lain dengan latar belakang konflik lokal lainnya.Lampuki tidak hadir untuk memihak, melainkan melakukan protes keras kepada semua pihak. Ia ingin menelanjangi bahwa pihak-pihak yang bertikai hanyalah orang-orang yang justru menambah beban dan penderitaan rakyat biasa. Justru rakyat biasalah yang menanggung segala akibatnya. Oleh sebab itu, Arafat tidak segan untuk mengatakan bahwa orang yang mengaku pemimpin perjuangan rakyat Aceh, yang dalam novel ini diwakili oleh Ahmadi, yaitu seorang pengecut.
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah yang telah penulis kemukakan di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian. Adapun judul penelitian ini adalah Analisis Gaya Bahasa dalam Novel ”Lampuki” Karya Arafat Nur.

1.2         Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah gaya bahasa dalam Novel ”Lampuki” Karya Arafat Nur?




1.3         Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan rumusan masalah di atas, yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan data tentang gaya bahasa dalam Novel ”Lampuki” Karya Arafat Nur.

1.4         Manfaat Penelitian
Berdasarkan uraian permasalahan dan tujuan penelitian yang telah dikemukakan di atas, penelitian ini mempunyai dua manfaat yaitu secara teoretis dan praktis.
Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pengalaman baru dalam mengungkapkan perkembangan dunia sastra Indonesia, yaitu mengenai gaya bahasa dalam Novel ”Lampuki” Karya Arafat Nur.
Selanjutnya, secara praktis hasil penelitian ini bermanfaat:
1)        Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan tentang kesusastraan Indonesia, yaitu mengenai gaya bahasa yang terdapat dalam karya fiksi berbentuk novel.
2)        Bagi pembaca, hasil penelitian ini dapat memberi informasi empiris dan pendalaman ilmu serta pengetahuan mengenai bidang kesusastraan, sehingga akan memotivasi untuk lebih mencintai karya sastra Indonesia berbentuk novel serta dapat dijadikan sebagai acuan untuk melakukan penelitian selanjutnya.


1.5         Definisi Operasional
Untuk menghindari kesalahan penafsiran terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka penulis menguraikan beberapa definisi operasional sebagai berikut:
1)        Analisis adalah suatu kajian yang dilaksanakan terhadap sebuah bahasa guna meneliti struktur bahasa tersebut secara mendalam yaitu tentang Gaya Bahasa dalam Novel ”Lampuki” Karya Arafat Nur.
2)        Gaya bahasa adalah cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulisan atau lisan, yang terletak pada pemilihan kata-katanya yang tidak secara langsung menyatakan makna yang sebenarnya.
3)        Novel adalah karya sastra yang menceritakan tentang realita kehidupan manusia yang diperankan oleh tokoh tertentu sesuai dengan karakternya masing-masing.
4)        Lampuki adalah sebuah novel yang bercerita tentang Aceh di era Daerah Operasi Militer.
5)        Arafat Nur adalah seorang penulis novel Lampuki, yang berdarah asli Aceh.














BAB II
LANDASAN TEORETIS
2.1     Pengertian Novel
   Novel merupakan bentuk karya sastra yang paling popular di dunia, yaitu berupa prosa yang mengungkapkan sebagian kehidupan pelaku yang dianggap penting dan menarik. Bentuk sastra ini paling banyak beredar. Hal ini dikarenakan daya komunikasinya yang luas dalam masyarakat. Novel yang baik adalah novel yang isinya dapat memanusiakan para pembacanya. Novel biasanya menceritakan suatu kejadian yang luar biasa dari tokoh cerita, di mana kejadian-kejadian itu menimbulkan pergolakan batin yang mengubah perjalanan nasib tokohnya.
Menurut Kosasih (2003:250), mengemukakan bahwa ”Novel adalah karya imajinatif yang mengisahkan sisi utuh atas problematika kehidupan seseorang atau beberapa orang tokoh”. Maksudnya jelas bahwa novel merupakan sebuah karya cipta manusia yang diwujudkan oleh seorang penulis melalui penggambaran berbagai kisah hidup yang dialami seseorang dengan untaian kisah, baik suka maupun duka yang muncul dalam kehidupan sang tokoh yang diceritakan dalam karya fiksi berbentuk novel.
Sedangkan menurut Nurgiyantoro (2012:15), menyatakan bahwa ”Novel adalah karya yang bersifat realistis dan mengandung nilai psikologi yang mendalam”. Maksudnya, novel merupakan hasil karya imajinasi pengarang yang bersifat tebuka dan sesuai dengan kenyataan sebenarnya, yaitu sesuatu yang menjadi bagian dalam kehidupan manusia dan mengandung nilai-nilai luhur yang dapat diaplikasikan bagi kehidupan para pembacanya. 
6
 
          Selain itu menurut Sumarjo (dalam Santosa dan Wahyuningtyas, 2010:47), menyatakan bahwa ”Novel adalah produk masyarakat. Novel berada di masyarakat karena novel dibentuk oleh anggota masyarakat berdasarkan desakan-desakan emosional atau rasional dalam masyarakat”. Dapat dipahami bahwa novel merupakan karya cipta seorang penulis yang berasal dari masyarakat itu sendiri dan dibentuk berdasarkan berbagai realita yang juga berasal dari masyarakat, hal ini dikarenakan adanya berbagai perasaan dan didukung oleh logika sang penulis untuk diaplikasikan dalam bentuk karya sastra berbentuk novel.
          Menurut The American College dictionary (dalam Purba, 2010:62), menyatakan bahwa ”Novel adalah suatu cerita prosa yang fiktif dengan panjangnya tertentu, yang melukiskan para tokoh, gerak serta adegan kehidupan nyata yang refressentatif dalam suatu alur atau keadaan yang agak kacau atau kusut”. Maksudnya, novel merupakan suatu karya yang bersifat rekaan dengan rentang ukuran dan waktu tertentu dalam mengilustrasiaan berbagai kisah yang dilalui oleh para tokoh dengan rentetan kisah yang dibungkus dalam alur yang menarik, meski pada hakikatnya banyak persoalan yang bermunculan.
          Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa novel merupakan sebuah cerita fiktif yang berusaha menggambarkan atau melukiskan kehidupan tokoh-tokohnya dengan menggunakan alur. Cerita fiktif tidak hanya sebagai cerita khayalan semata, tetapi sebuah imajinasi yang dihasilkan oleh pengarang dalam bentuk kisah realitas atau fenomena yang dilihat dan dirasakan.

2.2     Jenis-jenis Novel
Novel merupakan karya sastra yang dihasilkan dari buah imajinasi seorang penulis memiliki beragam jenis tersendiri. Menurut Kosasih (2003:252) yang dikutip dalam Anneahira, menjelaskan bahwa ”Karya sastra berbentuk novel memiliki pembagian tersendiri, yaitu berdasarkan :
1)        Berdasarkan Kebenaran Cerita
Berdasarkan kebenarannya ceritanya, novel terbagi menjadi dua jenis, yaitu:
(1)   Novel Fiksi, merupakan novel yang berkisah tentang hal yang fiktif dan tidak pernah terjadi. Cerita, tokoh, alur maupun latar belakangnya, semua hanyalah karangan penulis saja. Walaupun ada kisah nyata, biasanya kisah itu dimodifikasi sehingga terkesan tidak nyata, misalnya novel Perahu Kertas karya Dee.
(2)   Novel Nonfiksi, novel ini adalah kebalikan dari novel fiksi, yaitu novel yang bercerita tentang hal nyata yang sudah pernah terjadi. Biasanya pengalaman seseorang, kisah nyata, atau berdasarkan sejarah, misalnya novel Sepatu Terakhir karya Toni Tegar Sohidi.
2)        Berdasarkan Genre Cerita
Berdasarkan genre cerita, novel terbagi menjadi beberapa macam, yaitu:
(1)   Novel Romantis, merupakan novel yang ceritanya berkisar seputar percintaan dan kasih sayang. Dari awal hingga akhir, pembaca akan disuguhi sebuah konflik percintaan yang dibumbui oleh romantisme, misalnya novel Rindu karya Sefryana Khairil.
(2)   Novel Horor, merupakan novel yang memiliki cerita menegangkan, membuat pembaca berdebar-debar. Novel ini bercerita tentang hal-hal mistis, misalnya novel Jangan Sentuh Darahku karya Amal Komandoko.
(3)   Novel Misteri, merupakan novel yang memiliki unsur teka-teki yang harus dipecahkan. Genre novel seperti ini dapat menimbulkan rasa penasaran pembaca hingga akhir cerita, misalnya novel Angels and Demons karya Dan Brown.
(4)   Novel Komedi, merupakan novel yang mengandung unsur kelucuan atau humor yang pastinya akan membuat orang tertawa dan benar-benar terhibur, misalnya novel Diary Si Bocah Tengil karya Jeff Kinney.
(5)   Novel Inspiratif, merupakan novel yang ceritanya mampu menginspirasi orang banyak. Umumnya, novel ini sarat akan pesan moral atau hikmah tertentu yang bisa diambil oleh pembaca sehingga membaca mendapatkan motivasi untuk melakukan hal-hal yang lebih baik, misalnya novel 5 Cm karya Donny Dhirgantoro. H
3)        Berdasarkan Isi, Tokoh dan Pangsa Pasar
Berdasarkan isi, tokoh dan pangsa pasar, novel terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu:
(1)   Teenlit, berasal dari kata ’teen’ yang berarti remaja dan ’lit’ dari kata literature yang berarti tulisan/karya tulis. Novel ini merupakan jenis novel yang bercerita seputar persoalan para remaja, umumnya tentang cinta atau persahabatan. Tokoh dan pangsa pasar novel jenis ini adalah anak usia remaja, usia yang dianggap labil dan memiliki banyak permasalahan, misalnya novel Bukan Salah Bintang Jatuh karya Aisya Yuliana.
(2)   Chicklit, adalah bahasa slang dari Amerika yang berarti wanita muda. Novel ini merupakan novel yang bercerita tentang kehidupan atau permasalahan yang dihadapi oleh seorang wanita muda pada umumnya. Cerita dari novel ini lebih kompleks, rumit dan mengandung unsur dewasa yang tidak terlalu mudah ditangkap oleh pembaca usia remaja, misalnya novel Dunia Trisa karya Eva Sri Rahayu.
(3)   Songlit, merupakan novel yang ditulis berdasarkan sebuah lagu, misalnya novel Ruang Rindu, di mana judul novel ini adalah judul sebuah lagu ciptaan letto group band Indonesia.
(4)   Novel Dewasa, merupakan novel yang diperuntukkan untuk orang dewasa, karena umumnya ceritanya seputar percintaan yang mengandung unsur seksualitas orang dewasa, misalnya novel Suatu Sendja karya Harie. D.F.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa novel terbagi menjadi tiga jenis, yaitu berdasarkan kebenaran cerita, yaitu novel fiksi dan nonfiksi, berdasarkan genre cerita, yaitu novel romantis, horor, misteri, komedi, dan novel inspiratif,  dan berdasarkan isi, tokoh dan pangsa pasar, yaitu novel teenlit, chicklit, songlit, dan novel dewasa.



2.3     Pengertian Gaya Bahasa
          Gaya bahasa merupakan cara khas yang digunakan seorang penulis dalam menuangkan gagasan yang dimilikinya dalam bentuk karya sastra melalui media tulisan. Tulisan yang ditulis tersebut sedemikian rupa disusun dengan menggunakan kata-kata yang tidak secara langsung menyatakan makna aslinya. Penulis dengan cekatannya memainkan kata-kata sehingga membuat semakin indah sebuah tulisan tersebut.
          Menurut Endraswara (2003:73), menyatakan bahwa ”Gaya bahasa merupakan seni yang dipengaruhi oleh nurani”. Dapat dipahami bahwa, gaya bahasa adalah suatu seni atau keindahan yang diperoleh dan menyatu dengan perasaan seorang penulis.
Menurut (Keraf, 2004:112), menyatakan bahwa ”Gaya bahasa dapat dikatakan sebagai keahlian seorang pengarang dalam mengolah kata-kata”. Dapat dipahami bahwa gaya bahasa adalah kemahiran seseorang dalam menguraikan kata-kata dalam tulisannya.
          Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa atau majas adalah cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulisan atau lisan. Kekhasan dari gaya bahasa ini terletak pada pemilihan kata-katanya yang tidak secara langsung menyatakan makna yang sebenarnya.

2.4         Jenis-jenis Gaya Bahasa dalam Karya Sastra
Gaya bahasa adalah penggunaan bahasa secara khusus untuk mendapat efek-efek tertentu. Dalam sebuah karya sastra berbentuk novel tentunya terdapat jenis-jenis gaya bahasa tersendiri. Menurut Tarigan (2009:5), menyatakan bahwa ”Gaya bahasa dibagi menjadi empat kelompok, yaitu: 1) gaya bahasa perbandingan, 2) gaya bahasa perulangan, 3)  gaya bahasa pertentangan, dan 5) gaya bahasa pertautan.
1)        Gaya Bahasa Perbandingan
Menurut Tarigan (2009:8), berpendapat bahwaGaya bahasa perbandingan adalah bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan yang lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding seperti: bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, seumpama, laksana, dan kata-kata pembanding lain.
Dapat dipahami bahwa gaya bahasa perbandingan adalah gaya bahasa yang mengandung maksud membandingkan dua hal yang dianggap mirip atau mempunyai persamaan sifat (bentuk) dari dua hal yang dianggap sama. Adapun gaya bahasa perbandingan ini meliputi: perumpamaan, metafora, personifikasi, depersonifikasi, alegori, antitesis, pleonasme/tautologi, perifrasis, prolepsis atau antisipasi dan koreksio atau epanortosis.
(1)          Perumpamaan adalah gaya bahasa yang memberikan perbandingan tentang dua hal yang pada hakikatnya berhubungan dan yang sengaja kita anggap sama. Dapat dipahami bahwa, gaya bahasa perumpamaan merupakan gaya bahasa memberikan penyamaan kepada dua hal yang memiliki hubungan antara keduanya.
Contoh:
a.    Seperti air dengan minyak.
b.    Ibarat mengejar bayangan.
c.    Laksana pahat dengan pemukul.
(2)           Metafora adalah gaya bahasa yang memberikan perbandingan yang implisit diantara dua hal yang berbeda. Dapat dipahami bahwa, gaya bahasa metafora merupakan gaya bahasa yang memakai kata-kata bukan dengan arti yang sebenarnya melainkan sebagai persamaan atau perbandingan antara kedua hal tersebut.
Contoh:
a.    Dia anak emas pamanku.
b.    Mina buah hati Edi.
c.    Aku terus memburu untung.
(3)          Personifikasi adalah gaya bahasa yang meletakkan sifat insani kepada benda yang tak bernyawa dan ide yang abstrak. Dapat dipahami bahwa, gaya bahasa personifikasi merupakan gaya bahasa yang membandingkan sifat yang dimiliki manusia dengan suatu benda yang tak bernyawa.
Contoh:
a.    Hujan memandikan tanaman.
b.    Pepohonan tersenyum riang.
c.    Tugas menantikan kita.
(4)          Depersonifikasi adalah gaya bahasa yang melekatkan sifat benda pada manusia atau insan. Dapat dipahami bahwa gaya bahasa depersonifikasi merupakan gaya bahasa yang meletakkan sifat suatu benda kepada sifat atau tingkah laku manusia.

Contoh:
a.    Sekiranya suami menjadi ombak, maka istri menjadi pantai.
b.    Bila kakanda menjadi darah, maka adinda menjadi daging.
c.    Kalau dikau menjadi samudra, maka daku menjadi bahtera.
(5)          Alegori adalah gaya bahasa perbandingan yang bertautan satu dengan yang lainnya dalam kesatuan yang utuh. Dapat dipahami bahwa gaya bahasa alegori merupakan gaya bahasa yang memiliki keterikatan antara sesuatu dalam bagian yang menyatu.
Contoh:
a.    Hati-hatilah kamu dalam mendayung bahtera rumah tangga.
b.    Mengarungi lautan kehidupan yang penuh badai dan gelombang.
c.    Tetap semangat hingga titik darah penghabisan.
(6)          Antitesis adalah gaya bahasa yang mengadakan perbandingan antara dua antonim. Dapat dipahami bahwa gaya bahasa antitesis merupakan gaya bahasa yang memberikan perbandingan terhadap kata-kata yang memiliki makna semantik yang bertentangan.
Contoh:
a.    Dia bergembira ria atas kegagalanku dalam ujian itu.
b.    Gadis yang secantik si Ida diperistri oleh si Dedi yang jelek itu.
c.    Kecantikannyalah justru yang mencelakakannya.
(7)          Pleonasme atau tautologi adalah gaya bahasa yang memakai kata berlebihan dan bila kata yang berlebihan itu dihilangkan artinya tetap utuh. Dapat dipahami bahwa gaya bahasa pleonasme merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata-kata yang berlebihan, tetapi jika kata-kata tersebut dihilangkan maka maknanya tetap utuh.
Contoh:
a.    Anak-anak asyik menyepak bola yang bundar bentuknya itu.
b.    Kami tiba di rumah jam 4.00 subuh.
c.    Orang yang meninggal itu menutup mata buat selama-lamanya.
(8)          Perifrasis adalah gaya bahasa yang menggunakan kata-kata yang berlebihan dan pada prinsipnya dapat diganti dengan sebuah kata saja. Dapat dipahami bahwa gaya bahasa perifrasis merupakan  gaya bahasa yang memakai kata-kata yang berlebihan, namun pada hakikatnya dapat diganti dengan satu kata saja.
Contoh:
a.    Putri kami yang sulung telah melayarkan bahtera ke pulau idamannya bersama tunangannya (nikah atau kawin).
b.    Saya menerima segala saran, petuah, petunjuk yang sangat berharga dari Bapak Lurah (nasihat).
c.    Pemuda itu menumpahkan segala isi hati dan segala harapan kepada gadis desa itu. (cinta).
(9)          Antisipasi atau prolepsis adalah gaya bahasa yang mempergunakan terlebih dahulu satu atau beberapa kata sebelum gagasan atau peristiwa yang sebenarnya terjadi. Dapat dipahami bahwa gaya bahasa antisipasi merupakan gaya bahasa yang terlebih dahulu digunakan sebelum munculnya gagasan yang sebenarnya.
Contoh:
a.    Kami sangat gembira, minggu depan kami memperboleh hadiah dari Bapak Bupati.
b.    Mobil yang malang itu ditabrak oleh truk pasir dan jatuh ke jurang.
c.    Almarhum ayahku pada saat itu mengakui bahwa dia mempunyai piutang pada Rumah Makan Tambore.
(10)      Koreksi atau Epanortosis adalah gaya bahasa yang berwujud mula-mula ingin menegaskan sesuatu tetapi kemudian memeriksa dan memperbaiki mana-mana yang salah. Dapat dipahami bahwa gaya bahasa koreksi atau epanortosis merupakan gaya bahasa yang menyatakan sesuatu baru pada akhirnya memperbaiki yang tidak benar.
Contoh:
a.    Pak Tarigan memang orang Bali, ah bukan, orang Batak.
b.    Dia benar mencintai Neng Tetty, eh bukan Neng Terry.
c.    Saya telah membayar iuran sebanyak tujuh juta, tidak, tidak, tujuh ribu rupiah.
2)        Gaya Bahasa Pertentangan
Menurut Tarigan (2009:53), berpendapat bahwaGaya bahasa pertentangan adalah adalah gaya bahasa yang maknanya bertentangan dengan kata-kata yang ada. Dapat dipahami bahwa gaya bahasa pertentangan adalah gaya bahasa yang memiliki makna yang berbeda dengan kata-kata yang sudah ada atau kata-kata aslinya. Adapun gaya bahasa pertentangan ini meliputi: hiperbola, litotes, ironi, oksimoron, paronomasia, paralipsis, zeugma, silepsis, satire, inuendo, antifrasis, paradoks, klimaks, antiklimaks, apostrof, anastrof, apofasis atau preterisio, hiperbaton atau histeron proteron, hipalase, sinisme dan sarkasme.
(1)          Hiperbola adalah gaya bahasa yang merupakan ungkapan yang melebih-lebihkan apa yang sebenarnya dimaksudkan : jumlahnya, ukurannya atau sifatnya. Dapat dipahami bahwa gaya bahasa hiperbola merupakan gaya bahasa yang menggunakan ungkapan secara berlebihan dari maksud sebenarnya, baik jumlah, ukuran maupun sifat dari suatu hal.
Contoh:
a.    Sempurna sekali, tiada kekurangan suatu apapun, buat pengganti baik atau cantik.
b.    Kurus kering tiada daya kekurangan pangan, buat pengganti kelaparan.
c.    Tabungannya berjuta-juta emasnya berkilo-kilo, sawahnya berhektar-hektar, sebagai pengganti dia orang kaya.
(2)          Litotes adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang dikecil-kecilkan atau dikurangi dari kenyataan yang sebanarnya. Dapat dipahami bahwa gaya bahasa litotes merupakan suatu ungkapan yang menyatakan suatu hal dengan mengecil-ngecilkan suatu hal dari kenyataan sebenarnya.


Contoh:
a.    Anak itu sama sekali tidak bodoh.
b.    Hasil usahanya tidaklah mengecewakan.
c.    H.B. Yasin bukannya kritikus murahan.
(3)          Ironi adalah gaya bahasa yang menyatakan makna bertentangan dengan maksud berolok-olok. Dapat dipahami bahwa gaya bahasa ironi adalah gaya bahasa yang mengungkapkan sesuatu dengan maksud untuk mengolok-olok suatu hal secara kebalikannya.
Contoh:
a.    Aduh bersihnya kamar ini, puntung rokok dan sobekan kertas bertebaran di lantai.
b.    Bagusnya rapor si Andi ini, banyak benar angka merahnya.
c.    Saya percaya benar kepadamu, tak pernah janjimu kau tepati.
(4)          Oksimoron adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan dengan menggunakan kata-kata yang berlawanan dalam frase yang sama. Dapat dipahami bahwa gaya bahasa oksimoron merupakan  gaya bahasa yang menggunakan kata-kata yang berlawanan untuk menyatakan suatu makna yang bertentangan dengan makna yang sebenarnya.
Contoh:
a.    Bahasa memang dapat dipakai sebagai alat pemersatu tetapi dapat juga sebagai alat pemecah belah.
b.    Siaran televisi dapat dipakai sebagai sarana perdamaian namun dapat pula sebagai penghasut peperangan.
c.    Olahraga mendaki gunung memang menarik hati walaupun sangat berbahaya.
(5)          Paronomasia adalah gaya bahasa yang berisi penjajaran kata-kata yang berbunyi sama tetapi bermakna lain. Dapat dipahami bahwa gaya bahasa paronomasia merupakan gaya bahasa yang diungkapkan melalui sederetan kata yang berbunyi sama namun memiliki arti yang berlainan.
Contoh:
a.    Di samping menyukai suasana indah, saya juga mendambakan suasana indah.
b.    Oh adinda sayang, akan kutanam bungan tanjung di pantai tanjung hatimu.
c.    Mari kita kubik beramai-ramai kacang tahan yang setengah kubik banyaknya itu.
(6)          Paralipsis adalah gaya bahasa yang merupakan suatu formula yang dipergunakan sebagai sarana untuk menerangkan bahwa seseorang tidak mengatakan apa yang tersirat dalam kalimat itu sendiri. Dapat dipahami bahwa gaya bahasa paralipsis merupakan gaya bahasa yang digunakan untuk menjelaskan bahwa seseorang tidak mengatakan apa yang dimaksud dalam kalimat tersebut.
Contoh:
a.    Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa menolak doa kita ini, (maaf) bukan, maksud saya mengabulkannya.
b.    Tidak ada orang yang menyayangi kamu (maaf) yang saya maksud membenci kamu di desa ini.
c.    Biarlah masyarakat mendengar wasiat tersebut, yang (maafkan saya) saya maksud bukan membacanya.
(7)          Zeugma adalah gaya bahasa yang menggunakan gabungan gramatikal dua buah kata yang mengandung ciri-ciri semantik yang bertentangan. Dapat dipahami bahwa gaya bahasa zeugma merupakan gaya bahasa yang diungkapkan dengan menggunakan dua buah kata yang memiliki makna bahasa yang bertentangan.
Contoh:
a.    Anak itu memang rajin dan malas di sekolah.
b.    Nenek saya peramah dan pemarah.
c.    Saya membaca buku ini dengan mata dan tangan saya.
(8)          Silepsis adalah gaya bahasa yang mengandung konstruksi gramatikal yang benar tetapi secara semantik tidak benar. Dapat dipahami bahwa gaya bahasa silepsis merupakan  gaya bahasa yang secara susunan kalimatnya benar, namun secara maknanya tidak benar.
Contoh:
a.    Wanita itu kehilangan harta dan kehormatannya.
b.    Kakaknya menerima uang dan penghargaan.
c.    Makna dan sikap hidup.
(9)          Satire adalah gaya bahasa yang mengandung ungkapan untuk menertawakan atau menolak sesuatu. Dapat dipahami bahwa gaya bahasa satire merupakan gaya bahasa yang mengandung maksud untuk tidak mengiyakan sesuatu atau menolak sesuatu dengan ejekan atau tertawaan.
Contoh:
a.    Tanganmu dan tanganku dapat bikin ini negara sempurna bahagia.
b.    Kau menghilang di dalam mercedez-mu, hanya tinggal debu dan aku kembali mendorong gerobak menimbun sampah dari sudut ke sudut jalan.
c.    Kalau peluru pertama sudah meledak, kita harus paling dulu menyerang, mati ataupun menang.
(10)      Inuendo adalah gaya bahasa yang berupa sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Dapat dipahami bahwa innuendo adalah gaya bahasa yang berbentuk sindiran untuk sesuatu hal dengan maksud untuk menghilangkan kenyataan sebenarnya.
Contoh:
a.    Abangku sedikit gemuk karena terlalu kebanyakan makan daging berlemak.
b.    Orang itu sedikit malu karena tertangkap basah menjual perabot dapur majikannya.
c.    Pak Ogah agak kurang dipercayai orang karena selalu berbohong dan tidak pernah menepati janji.
(11)      Antifrasis adalah gaya bahasa yang berupa penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya. Dapat dipahami bahwa gaya bahasa antifrasis merupakan gaya bahasa yang menggunakan menggunakan ungkapan kata dengan makna sebaliknya atau bukan makna yang sebenarnya.
Contoh:
a.    Ia menerima pujian dari masyarakat sekelilingnya.
b.    Hadirin harap berdiri, mahasiswa teladan memasuki ruangan.
c.    Memang engkau orang pintar.
(12)      Paradoks adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Dapat dipahami bahwa gaya bahasa paradoks merupakan gaya bahasa yang kata-katanya bertentangan dengan makna atau kenyataan sebenarnya.
Contoh:
a.    Aku kesepian di tengah keramaian.
b.    Dia kedinginan di kota Jakarta yang panas.
c.    Mereka merasa tenang di tengah kebisingan kota Medan.
(13)      Klimaks adalah gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya. Dapat dipahami bahwa gaya bahasa klimaks merupakan gaya bahasa yang urutan gagasan yang diungkapkan semakin penting dari gagasan-gagasan sebelumnya.
Contoh:
a.    Setiap guru yang berdiri di depan kelas harus mengetahui, memahami, serta menguasai bahan yang diajarkan.
b.    Seorang guru harus bertindak sebagai pengajar, pembimbing, penyuluh, pengelola, penilai, pemberi kemudahan atau pendidik yang sejati.
c.    Melalui pengajaran Bahasa Indonesia kita mengharapkan agar para siswa terampil menyimak, terampil berbicara, terampil membaca dan terampil menulis, pendeknya terampil berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.
(14)      Antiklimaks adalah gaya bahasa yang berisi gagasan-gagasan yang diurutkan dari yang terpenting menjadi gagasan-gagasan yang kurang penting. Dapat dipahami bahwa gaya bahasa antiklimaks merupakan gaya bahasa yang menggunakan gagasan terpenting terlebih dahulu baru disusul oleh gagasan yang kurang penting.
Contoh:
a.    Bahasa Indonesia diajarkan kepada para mahasiswa, siswa SMA, SMP dan murid Taman Kanak-kanak.
b.    Dia memang raja uang di daerah ini, seorang budak hawa nafsu dan keserakahan.
c.    Kita hanya dapat merasakan betapa nikamatnya dan mahalnya kemerdekaan bangsa Indonesia, apabila kita mengikuti sejarah perjuangan para pimpinan kita serta pertumbuhan darah para prajurit kita melawan serdadu penjajah.
(15)      Apostrof adalah gaya bahasa yang berupa pengalihan amanat dari yang hadir kepada yang tidak hadir. Dapat dipahami bahwa apostrof merupakan gaya bahasa yang berupa ungkapan untuk mengalihkan pernyataan dari yang ada kepada yang tidak ada.
Contoh:
a.    Wahai roh-roh nenek moyang kami yang berada di negeri atas, tengah dan bawah, lindungilah warga desaku ini.
b.    Wahai kalian yang telah menumpahkan darah dan mengorbankan jiwa bagi tanah tumpah darah yang tercinta ini relakanlah supaya kami dapat menikmati kemerdekaan dan keadilan sosial yang pernah kalian canangkan dan perjuangkan.
c.    Wahai datu-datu dan nenek moyang kami yang mendirikan kampung ini, lindungilah cucu-cucumu dari segala marabahaya.
(16)      Anastrof atau inversi adalah gaya bahasa yang diperoleh dengan pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat. Dapat dipahami bahwa anastrof merupakan gaya bahasa yang muncul dengan membalikkan susunan kata yang sering digunakan dalam kalimat.
Contoh:
a.    Diceraikan istrinya tanpa setahu sanak-saudaranya.
b.    Kupilih warna yang serasi bagi kain kebaya kakakku.
c.    Datanglah dia, makanlah dia, lalu pulang tanpa ucapan sepatah kata.
(17)      Apofasis atau preterisio adalah gaya bahasa yang menegaskan sesuatu tetapi tampak seperti menyangkalnya. Dapat dipahami bahwa apofasis merupakan gaya bahasa yang berisi penegasan tentang sesuatu, namun dipakai untuk tidak mengiyakan sesuatu.
Contoh:
a.    Jika saya tidak menghargai nama baik sekolah ini, maka sesungguhnya saya ingin mengatakan bahwa Anda seorang koruptor.
b.    Kami tidak tega mendengar cibiran tetangga bahwa kamulah yang mencuri mobil sedan itu.
c.    Saya tidak rela mengungkapkan dalam pertemuan ini bahwa Bapak telah bermain serong dengan wanita lain.
(18)      Histeron proteron adalah gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari sesuatu yang logis/wajar. Dapat dipahami bahwa histeron proteron merupakan gaya bahasa yang berisi ungkapan tentang kebalikan dari sesuatu yang masuk akal.
Contoh:
a.    Pidato yang berapi-api pun keluarlah dari mulut orang yang berbicara terbata-bata itu.
b.    Dia membaca cerita itu dengan cepat dengan cara mengejanya kata demi kata.
c.    Kereta itu melaju dengan cepat di depan sepasang anjing yang menariknya.
(19)      Hipalase adalah gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari suatu hubungan alamiah antara dua komponen gagasan. Dapat dipahami bahwa hipalase meruapakan gaya bahasa yang berisi ungkapan pernyataan antara suatu pertalian hubungan secara langsung dari dua unsur gagasan.
Contoh:
a.    Aku menarik sebuah kendaraan yang resah. (yang resah adalah aku, bukan kendaraan).
b.    Ia duduk pada sebuah bangku yang gelisah. (yang gelisah adalah ia, bukan bangku).
c.    Kami tetap menagih bekas mertuamu uang pinjaman kepada pakcikmu. (maksudnya, kami tetap menagih uang pinjaman bekas mertuamu kepada pakcikmu).
(20)      Sinisme adalah gaya bahasa yang berupa sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. Dapat dipahami bahwa sinisme merupakan gaya bahasa yang berbentuk ungkapan sebagai sindiran atas ketidakyakinan yang mengandung ejekan terhadap niat baik seseorang.
Contoh:
a.    Memang tidak dapat diragukan lagi bahwa Andalah yang paling kaya di dunia yang mampu membeli kelima benua di bumi ini.
b.    Tidak dapat disangkal lagi bahwa Bapaklah orangnya, sehingga keamanan dan ketentraman di daerah ini akan ludes bersamamu!
c.    Memang Pak Dukunlah orangnya, yang dapat menghidupkan orang yang telah mati, apalagi mematikan orang yang masih hidup!
(21)      Sarkasme adalah gaya bahasa yang mengandung olok-olok atau sindiran pedas dan menyakiti hati. Dapat dipahami bahwa sarkasme merupakan gaya bahasa yang berisi ungkapan sebagai bentuk sindiran yang keras dan tidak menyenangkan kita mendengarnya.
Contoh:
a.    Memang kamu tidak rakus, daging itu beserta tulang-tulangnya ludes kamu makan.
b.    Cara dudukmu menghina kami.
c.    Meminjam itu serasa manis, tetapi memulangkan atau membayarnya serasa pahit dan getir.
3)        Gaya Bahasa Pertautan
Menurut Tarigan (2009:119), berpendapat bahwaGaya bahasa pertautan adalah bahasa kiasan yang menautkan atau mengaitkan sesuatu seuatu hal dengan suatu yang lainnya. Dapat dipahami bahwa gaya bahasa pertautan merupakan gaya bahasa yang mengandung maksud untuk mengaitkan sesuatu hal dengan sesuatu yang lainnya sehingga memiliki keterkaitan antara keduanya. Adapun gaya bahasa pertautan ini meliputi: metonimia, sinekdoke, alusio, eufemisme, eponim, epitet, antonomasia, erotesis, paralelisme, elipsis, gradasi, asindeton dan polisindeton.  
(1)          Metonimia adalah gaya bahasa yang memakai nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan nama orang, barang atau hal lain sebagai penggantinya. Dapat dipahami bahwa metonimia merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata-kata berdasarkan kriteria atau bentuk sesuatu yang dikaitkan dengan nama orang, barang atau yang lain sebagai pengganti.
Contoh:
a.    Saya tidak dapat membaca dengan jelas kini karena kontak lensa saya jatuh dan pecah.
b.    Berapa sih harga Lancer sekarang ini?
c.     Terkadang pena justru lebih tajam daripada pedang.
(2)          Sinekdoke adalah gaya bahasa yang menyebutkan nama bagian sebagai pengganti nama keseluruhannya atau sebaliknya. Dapat dipahami bahwa sidekdoke merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata-kata untuk menyatakan makna sebagian sebagai pengganti makna keseluruhannya, atau sebaliknya.
Contoh:
a.    Setiap tahun semakin banyak mulut yang harus diberi makan di Tanah Air kita ini.
b.     Pasanglah telinga baik-baik menghadapi masalah ini!
c.    Aduh, kemana kamu buat matamu?
(3)          Alusi adalah gaya bahasa yang menunjuk secara tidak langsung ke suatu peristiwa atau tokoh berdasarkan praanggapan adanya pengetahuan yang dimiliki oleh pengarang dan pembaca serta adanya kemampuan para pembaca untuk menangkap pengacuan itu. Dapat dipahami bahwa alusi merupakan gaya bahasa yang mengungkapkan suatu peristiwa atau tentang seorang tokoh secara tidak langsung berdasarkan pengetahuan atau pendapat yang dimiliki oleh pengarang dan berdasarkan kemampuan yang dimiliki pembaca untuk menangkap apa yang diungkapkan oleh pengarang.
Contoh:
a.    Saya ngeri membayangkan kembali peristiwa Westerling di Sulawesi Selatan.
b.    Tugu ini mengenangkan kita kembali ke peristiwa Bandung Selatan.
c.    Dapatkah kamu mambayangkan perjuangan KAMI dan KAPPI pada tahun 1966 menentang rezim Orde Lama dan menegakkan keadilan di tanah air kita ini?
(4)          Eufemisme adalah gaya bahasa yang mengandung nama seseorang yang begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat itu. Dapat dipahami bahwa eufemisme merupakan gaya bahasa yang menggunakan ungkapan lebih halus untuk mengganti ungkapan dirasakan kasar yang dianggap tidak mengenakkan.
Contoh:
a.    tunanetra pengganti buta
b.    tunakarya pengganti tidak mempunyai pekerjaan
c.    tunawisma pengganti gelandangan
(5)          Eponim adalah gaya bahasa yang mengandung nama seseorang yang begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat itu. Dapat dipahami bahwa eponim merupakan gaya bahasa yang berupa ungkapan berupa nama seseorang yang digunakan untuk menyatakan sifat tertentu.
Contoh:
a.    Hellen dari Troya menyatakan kecantikan
b.    Dewi Sri menyatakan kesuburan
c.    Hercules menyatakan kekuatan
(6)          Epitet adalah gaya bahasa yang mengandung acuan yang mengatakan suatu sifat atau ciri khas dari seseorang atau suatu hal. Dapat dipahami bahwa epitet merupakan gaya bahasa yang menggunakan ungkapan untuk menyatakan sifat atau ciri khas seseorang atau suatu hal.
Contoh:
a.    Petani malam menuai buah jambu dan pepaya itu beramai-ramai. (petani malam = kalong).
b.    Hati-hati berjalan di semak belukar ini, jangan sampai terinjak ikat pinggang nabi Sulaiman. (ikat pinggang nabi Sulaiman = ular).
c.    Putri malam menyambut kedatangan para remaja yang sedang diamuk asmara. (putri malam = bulan).
(7)          Antonomasia adalah gaya bahasa yang menggunakan gelar resmi atau jabatan sebagai pengganti nama diri. Dapat dipahami bahwa antonomasia merupakan gaya bahasa yang memakai ungkapan jabatan sebagai pengganti nama seseorang.
Contoh:
a.    Pangeran menandatangani Surat Penghargaan tersebut.
b.    Rakyat pengharapkan agar Yang Mulia dapat menghadiri upacara itu.
c.    Gubernur Sumatra Utara akan meresmikan Pembukaan Seminar Adat Karo di Kabanjahe bulan depan.
(8)          Erotesis adalah gaya bahasa yang berupa pertanyaan yang dipergunakan dalam tulisan atau pidato yang bertujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar dan sama sekali tidak menuntut suatu jawaban. Dapat dipahami bahwa erotesis merupakan ungkapan dalam bentuk pertanyaan yang biasa dipakai dalam pidato dan tidak menuntut adanya jawaban dari pendengar.
Contoh:
a.    Para gurukah yang harus menanggung akibat semua kegagalan dan kemorosotan pendidikan di Tanah Air tercinta ini?
b.    Apakah sudah wajar bila kesalahan atau kegagalan itu ditimpakan seluruhnya kepada para guru?
c.    Soal ujian tidak sesuai dengan bahan pelajaran. Herankah kita jika nilai pelajaran Bahasa Indonesia poada Ebtanas tahun 1985 ini sangat merosot?
(9)          Paralelisme adalah gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frase-frase yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama. Dapat dipahami bahwa paralelisme merupakan gaya bahasa yang menggunakan struktur kalimat yang berimbang.
Contoh:
a.    Baik di Perguruan Tinggi maupun di SMA, penataran P4 harus dilaksanakan mulai tahun pengajaran baru tahun 1985.
b.    Baik kaum pria maupun wanita mempunyai hak dan kewajiban yang sama secara hukum.
c.    Bukan saja korupsi itu harus dikutuk, tetapi juga harus diberantas di Negara Pancasila ini.
(10)      Elipsis adalah gaya bahasa yang di dalamnya dilaksanakan penanggalan atau penghilangan salah satu atau beberapa unsur penting dalam konstruksi sintaksis yang lengkap. Dapat dipahami bahwa elipsis merupakan gaya bahasa yang menghilangkan beberapa unsur dalam kalimat yang lengkap.
Contoh:
a.    Mereka ke Jakarta minggu yang lalu. (penghilangan predikat pergi atau berangkat).
b.    Saya akan berangkat hari ini. (penghilangan keterangan tujuan).
c.    Orang itu memukul dengan sekuat daya. (penghilangan objek, misalnya saya, istrinya dan lain-lain).
(11)      Gradasi adalah gaya bahasa yang mengandung suatu rangkaian atau urutan paling sedikit tiga kata atau istilah yang secara sintaksis mempunyai satu atau beberapa ciri semantik secara umum dan yang diantaranya paling sedikit satu ciri diulang-ulang dengan perubahan yang bersifat kuantitatif. Dapat dipahami bahwa gradasi merupakan gaya bahasa yang mengulang kembali satu atau bebraapa istilah dalam kalimat dengan perubahan yang bersifat kongkrit.
Contoh:
a.    Kita malah bermegah juga alam kesengsaraan kita, karena kita tahu bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan harapan dan pengharapan tidak mengecewakan.
b.    Kami berjuang dengan tekad; tekad harus maju; maju dalam kehidupan; kehidupan yang layak dan baik; baik secara jasmani dan rohani; jasmani dan rohani yang diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Pengasih.
c.    Aku mempersembahkan cintaku padamu; cinta yang bersih dan suci; suci murni tanpa noda; noda yang selalu kujauhi dalam hidup ini; hidup yang berpedomankan perintah Tuhan; Tuhan pencipta alam semesta yang kupuja selama hidupku.
(12)      Asindeton adalah gaya bahasa yang berupa acuan dimana beberapa kata, frase atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung. Dapat dipahami bahwa asindeton merupakan gaya bahasa yang tidak menggunakan kata sambung diantara kata, frase atau klausa yang sederajat.
Contoh:
a.    Dosen kami fasih berbahasa Belanda, Inggris, Jerman, Sunda, Toba, Karo, Simalungun, Indonesia.
b.    Saya lihat, saya senang, saya tawar, saya beli, saya bawa pulang, saya perlihatkan kepada istri saya.
c.    Vini, vidi, vici, adalah ucapan Julius Caesar yang berarti ‘saya datang, saya lihat, saya senang’.
(13)      Polisindeton adalah gaya bahasa (yang merupakan kebalikan dari asindeton) yang berupa acuan dimana beberapa kata, frase atau klausa yang berurutan dihubungkan satu sama lain dengan kata sambung. Dapat dipahami bahwa polisindeton merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata sambung diantara kata, frase atau klausa yang sederajat.
Contoh:
a.    Istri saya menanam nangka dan jambu dan cengkeh dan pepaya di pekarangan rumah kami.
b.    Harga padi dan jangung dan sayur-mayur sangat menggembirakan para petani tahun ini.
c.    Polisi menangkap Pak Ogah beserta istrinya beserta anak-anaknya beserta pembantunya dan membawanya ke penjara.
4)        Gaya Bahasa Perulangan
Menurut Tarigan (2009:173), berpendapat bahwa ”Gaya bahasa perulangan adalah ungkapan yang dipakai untuk mengulang kata atau frase dalam kalimat”. Dapat dipahami bahwa gaya bahasa perulangan merupakan gaya bahasa yang mengandung maksud untuk mengulang makna kata, atau frase dalam kalimat. Adapun gaya bahasa perulangan ini meliputi: aliterasi, asonansi, antanaklasis, kiasmus, epizeukis, tautotes, anafora, simploke, mesodilopsis, epanalepsis dan anadiplosis.
(1)          Aliterasi adalah gaya bahasa repetisi yang berwujud perulangan konsonan yang sama. Dapat dipahami bahwa aliterasi merupakan gaya bahasa yang menggulang konsonan yang sama dalam suatu kalimat.
Contoh:
a.    datang dari danau.
b.    Inilah indahnya impian.
c.    Andai aku ajak anak.
(2)          Asonansi adalah semacam gaya bahasa repetisi yang berwujud perulangan bunyi vocal yang sama. Dapat dipahami bahwa asonansi merupakan gaya bahasa yang mengulang bunyi vocal yang sama dalam kalimat.
Contoh:
a.    Muka muda mudah muram
Tiada singa tiada biasa
Jaga harga tahan raga

b.    Kura-kura dalam perahu
Pura-pura tidak tahu
Sudah tahu bertanya pula
c.    Lain Bangkahulu
Lain Semarang
Lain dahulu
Lain sekarang
(3)          Antanaklasis adalah gaya bahasa repetisi yang berwujud perulangan kata yang sama bunyi dengan makna yang berbeda. Dapat dipahami bahwa antanaklasis merupakan gaya bahasa yang mengulang kata yang sama bunyinya namun berbeda maknanya.
Contoh:
a.    Buah bajunya terlepas membuat buah dadanya hampir-hampir kelihatan.
b.    Karena buah penanya itu dia pun menjadi buah bibir masyarakat.
c.    Buah pikiran orang tua itu menjadi buah cakap orang kampung kami.
(4)          Kiasmus adalah gaya bahasa yang berisikan perulangan dan sekaligus merupakan inversi antara dua kata dalam satu kalimat. Dapat dipahami bahwa kiasmus merupakan gaya bahasa yang mengulang kata dalam kalimat dan kata yang diulang tersebut menjadi makna yang kebalikan dalam kalimat tersebut.
Contoh:
a.    Yang kaya merasa dirinya miskin, sedangkan yang miskin justru merasa dirinya kaya.
b.    Dia menyalahkan yang benar tetapi membenarkan yang salah.
c.    Mengapa kamu menganggap siang adalah malam dan malam adalah siang?
(5)          Epizeukis adalah gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan langsung atas kata yang dipentingkan beberapa kali berturut-turut. Dapat dipahami bahwa epizeukis merupakan gaya bahasa yang mengulang kata yang dianggap penting secara berulang-ulang dalam kalimat.
Contoh:
a.    Engkaulah anakku, engkaulah anakku, memang engkaulah anakku yang menjadi harapan dan tumpuan ibunda di hari tuaku kelak.
b.    Ingat, kamu harus bertobat, bertobat, sekali lagi bertobat, agar dosa-dosamu diampuni oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Pengasih.
c.    Keberhasilanmu, keberhasilanmu, memang keberhasilanmu dalam studimulah yang akan menjadi penawar segala penderitaan ayah-bundamu.
(6)          Tautotes adalah gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan atas sebuah kata dalam sebuah konstruksi. Dapat dipahami bahwa tautotes merupakan gaya bahasa yang mengulang sebuah kata dalam sebuah satuan kalimat.
Contoh:
a.    Kau adalah aku, aku adalah kau, kau dan aku menjadi padu.
b.    Dia memuji kau, kau memuji dia, dia dan kau saling memuji, kau dan dia saling menghargai.
c.    Aku menuduh kamu, kamu menuduh aku, aku dan kamu saling menuduh, kamu dan aku berseteru.
(7)          Anafora adalah gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan kata pertama pada setiap baris atau setiap kalimat. Dapat dipahami bahwa anafora merupakan gaya bahasa yang mengulang kata pertama pada setiap kalimat dalam sebuah paragraf.
Contoh:
a.    Dengan giat belajar kamu bisa memasuki perguruan tinggi. Dengan giat belajar segala ujianmu dapat kamu selesaikan dengan baik. Dengan giat belajar kamu dapat menjadi sarjana. Dengan giat belajar justru kamu dapat mencapai cita-citamu.
b.    Tanpa iman yang teguh engkau akan mudah terperosok ke dalam jurang kenistaan. Tanpa iman yang teguh engkau mudah tergoda wanita cantik di sekelilingmu. Tanpa iman yang teguh engkau akan tergoda oleh uang dan harta. Tanpa iman yang teguh hidupmu tidak akan tentram dan damai lahir batin.
c.    Berdosakah dia menyenangi dan mencintaimu? Berdosakah dia selalu memimpikan dan merindukanmu? Berdosakah dia ingin selalu berdampingan denganmu? Berdosakah dia ingin sehidup semati denganmu?
(8)          Epistrofa adalah gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan kata atau frase pada akhir baris atau kalimat berurutan. Dapat dipahami bahwa epistrofa merupakan gaya bahasa yang mengulang kata atau frase yang terdapat pada akhir kalimat yang berurutan.
Contoh:
a.    Kemarin adalah hari ini
Besok adalah hari ini
Hidup adalah hari ini
Segala sesuatu buat hari ini
b.    Bahasa resmi adalah bahasa Indonesia
Bahasa persatuan adalah bahasa Indonesia
Bahasa nasional adalah bahasa Indonesia
Bahasa kebangsaan adalah bahasa Indonesia
c.    Kehidupan dalam keluarga adalah sandiwara
Cintamu padaku pada prinsipnya adalah sandiwara
Seminar lokakarya, simposium adalah sandiwara
Proses belajar mengajar di dalam kelas adalah sandiwara
Pendeknya hidup kita ini adalah sandiwara
(9)          Simploke adalah gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan pada awal dan akhir beberapa baris atau kalimat berturut-turut. Dapat dipahami bahwa simploke merupakan gaya bahasa yang mengulang kata-kata pada awal dan akhir kalimat secara returut-turut.
Contoh:
a.    Kau katakana aku wanita pelacur. Aku katakana biarlah kau katakana aku wanita mesum. Aku katakana biarlah
Kau katakana aku sampah masyarakat. Aku katakana biarlah
Kau katakana aku penuh dosa. Aku katakana biarlah
b.    Ibu bilang saya pemalas. Saya bilang biar saja
Ibu bilang saya lamban. Saya bilang biar saja
Ibu bilang saya lengah. Saya bilang biar saja
Ibu bilang saya manja. Saya bilang biar saja
c.    Dia minta kami tolak saja. Saya tegaskan saya setuju sekali. Dia minta kami bercerai. Saya tegaskan saya setuju sekali
Dia minta kami putus hubungan. Saya tegaskan saya setuju sekali
(10)      Mesodilopsis adalah gaya bahasa repetisi yang berwujud perulangan kata atau frase di tengah baris atau beberapa kalimat beruntun. Dapat dipahami bahwa mesodilopsis merupakan gaya bahasa yang mengulang kata atau frase di tengah kalimat secara beruntun.
Contoh:
a.    Para pendidik harus meningkatkan kecerdasan bangsa
Para dokter harus meningkatkan kesehatan masyarakat
Para petani harus meningkatkan hasil sawah-ladang
Seluruh rakyat harus meningkatkan pembangunan di segala bidang
b.    Orang tua tidak boleh memfitnah anaknya
Para siswa tidak boleh memfitnah gurunya
Kamu tidak boleh memfitnah temanmu
Pendeknya kita tidak boleh memfitnah satu sama lain
c.    Anak merindukan orang tua
Orang tua merindukan anak
Kumbang merindukan kembang
Pendeknya semua merindukan sesuatu di dalam hidupnya
(11)      Epanalepsis adalah gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan kata pertama menjadi terakhir dalam klausa atau kalimat. Dapat dipahami bahwa epanalepsis merupakan gaya bahasa yang mengulang kata pertama menjadi kata terakhir dalam sebuah kalimat.
Contoh:
a.    Akulah yang bertanggung jawab atas pendidikan kemenakanku ini, akulah
b.    Berjuanglah mencapai cita-citamu dengan sekuat daya, berjuanglah
c.    Bawalah aku kemana engkau pergi, aku menyerahkan diriku padamu, bawalah
(12)      Anadiplosis adalah gaya bahasa repetisi, dimana kata atau frase terakhir dari suatu klausa atau kalimat menjadi frase pertama dari klausa atau kalimat berikutnya. Dapat dipahami bahwa anadiplosis merupakan gaya bahasa yang mengulang kata atau frase terakhir dari seuatu kalimat menjadi kata atau frase pertama dari kalimat berikutnya.
Contoh:
a.    Dalam raga ada darah
Dalam darah ada tenaga
Dalam tenaga ada daya
Dalam daya ada segala
b.    Dalam mata ada kaca
Dalam kaca ada adinda
Dalam adinda ada asa
Dalam asa ada cinta
c.    Karena dikau aku bergairah
Karena bergairah aku berkarya
Karena berkarya aku bermakna
Karena bermakna aku bercita
Karena bercita aku bercinta
Karena bercinta aku merindukan dikau
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1     Pendekatan dan Jenis Penelitian
          Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, hal ini dikarenakan data hasil penelitian diuraikan dengan tidak mengutamakan angka-angka, tetapi mengutamakan kedalaman penghayatan terhadap interaksi-interaksi antarkonsep yang sedang dikaji oleh peneliti secara empiris.
          Hal ini sejalan dengan pendapat Moleong (2010:6) yang menjelaskan bahwa ”Penelitian kualitatif adalah penelitian yang digunakan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks, khususnya yang alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah”. Dapat dipahami bahwa, penelitian kualitatif merupakan jenis penelitian yang mencoba menafsirkan suatu masalah yang timbul dari subjek dengan menggunakan media bahasa yang merupakan metode alamiah untuk mendeskripsikan berbagai masalah tersebut.
41
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah hermeneutik. Penggunaan jenis ini dianggap tepat oleh penulis dikarenakan penulis mengungkapkan gaya bahasa dalam novel Lampuki Karya Arafat Nur. Sesuai  dengan pendapat Endraswara (2003:42) yang menyatakan bahwa ”Studi sastra mengenal hermeneutik sebagai tafsir sastra.  Hermeneutik merupakan sebuah paradigma yang berusaha menafsirkan teks atas dasar logika linguistik, yang akan dapat membuat penjelasan teks sastra dan pemahaman makna dengan menggunakan makna kata dan selanjutnya makna bahasa. Makna kata lebih berhubungan dengan konsep semantik teks sastra dan makna bahasa lebih bersifat kultural. Makna kata akan membantu pemahaman makna bahasa. Oleh karena itu, dari kata-kata akan tercermin makna kultural teks sastra. Maksudnya, hermeneutik merupakan salah satu studi sastra yang mencoba menafsirkan teks sastra melalui kata-kata dan bahasa yang digunakan dalam teks sastra tersebut.

3.2     Data dan Sumber Data
Data dalam penelitian ini adalah kalimat-kalimat yang menunjukkan gaya bahasa yang terdapat dalam novel Lampuki Karya Arafat Nur, sedangkan sumber data dalam penelitian ini adalah novel Lampuki Karya Arafat Nur, terbit tahun 2011 setebal 433 halaman, penerbit Serambi Ilmu Indonesia.

3.3     Teknik Pengumpulan Data
          Langkah-langkah pengumpulan data dalam jenis penelitian hermeneutik ini adalah sebagai berikut:
1)        Peneliti membaca dan memahami novel Lampuki Karya Arafat Nur.
2)        Peneliti memberi kode dan mencatat teks-teks yang merupakan gaya bahasa yang terdapat dalam novel tersebut.
3)        Peneliti mengumpulkan kalimat-kalimat yang merupakan gaya bahasa yang terdapat dalam novel tersebut.
4)        Peneliti mengelompokkan data yang telah dikumpulkan, untuk dianalisis.

3.4     Teknik Analisis Data
          Analisis data adalah tahap terakhir yang harus dilakukan terhadap data yang telah terkumpul. Sugiono (2010:337), menyatakan bahwa ”Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu. Sejalan dengan yang dikemukakan Sugiono, maka data hasil penelitian ini dianalisis secara kualitatif yaitu menganalisis gaya bahasa dalam novel Lampuki Karya Arafat Nur.
          Data tersebut dianalisis dengan menggunakan teori Miles dan Huberman. Miles dan Huberman (Sugiono 2010:337), mengemukakan bahwaAktivitas dalam analisis kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus sampai tuntas sehingga datanya sudah jenuh. Adapun aktivitas yang ada dalam analisis data yaitu mereduksi data, menyajikan data dan menyimpulkan data.
          Sedangkan langkah-langkah yang ditempuh dalam pengolahan data adalah sebagai berikut:
1)        Mereduksi Data
Tahap mereduksi data mulai dilakukan melalui proses penyeleksian, identifikasi dan pengklasifikasian. Penyeleksian dan pengidentifikasian merupakan kegiatan untuk menyeleksi dan mengidentifikasi data-data berdasarkan kategori teks-teks yang merupakan gaya bahasa yang terdapat dalam novel Lampuki Karya Arafat Nur. Tahap pengklasifikasian merupakan proses yang dilakukan untuk mengklasifikasikan data, memilih data dan mengelompokkan data.
2)        Menyajikan Data
Menyajikan Data merupakan kegiatan pengelompokkan data melalui tahap reduksi data berdasarkan kategori teks-teks yang merupakan gaya bahasa yang terdapat dalam novel Lampuki Karya Arafat Nur.
3)        Menarik Simpulan
          Menarik simpulan dilakukan setelah mengikuti dua tahap. Simpulan ditarik setelah data disusun dan diperiksa kembali. Selanjutnya didiskusikan dengan pembimbing. Setelah proses ini dilalui, hasil akhir penelitian analisis gaya bahasa dalam novel Lampuki Karya Arafat Nur disajikan dalam bentuk laporan penelitian.


















DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 2009. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung : Sinar Baru
Argesindo.

Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta : Caps.
Keraf, Gorys. 2004. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Kosasih, Encang. 2003. Kompetensi Ketatabahasaan dan Kesusastraan. Bandung: Yrama Widya.

Moleong, Laxy J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Nur, Arafat. 2011. Lampuki. Bandung : Serambi Ilmu Semesta.

Nurdin, Ade dkk. 2002. Intisari Bahasa dan Sastra Indonesia untuk Kelas 1,2,3 SMU. Bandung : CV Pustaka setia.

Nurgiyantoro, Burhan. 2012. Teori Pengkajian Fiksi. Jakarta : Gajah Mada University Press.

Pradopo, Rachmad Djoko. 2005. Beberapa Teori Sastra, Metode, Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Purba, Antilan. 2010. Sastra Indonesia Kontemporer. Yogyakarta : Graha Ilmu. 

Santosa, Wijaya Heru dan Wahyuningtyas, Sri. 2010. Pengantar Apresiasi Prosa
                           Surakarta : Yuma Pustaka.

Sugiono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung : Angkasa.

Tim Penyusun. 2014. Pedoman Penulisan Skripsi. Matangglumpangdua : FKIP Universitas Almuslim.

Wiyatmi. 2009. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta : Pustaka Book Publisher.


45