BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Bahasa
merupakan alat komunikasi
yang sangat penting dalam kehidupan manusia untuk berinteraksi dengan sesamanya.
Pada hakikatnya, setiap manusia tidak dapat hidup sendiri, bersosialisasi
dengan manusia yang lain adalah sebuah keharusan dan sudah menjadi fitrah bagi
setiap manusia. Hal
ini dikarenakan bahasa adalah alat komunikasi dalam kehidupan masyarakat, yang
berupa bunyi ujaran yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bahasa dalam
fungsinya sebagai alat komunikasi, keberadaannya memiliki peran utama dalam
masyarakat. Komunikasi melalui bahasa memungkinkan setiap orang dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik dan sosialnya serta untuk mempelajari
kebiasaan, kebudayaan, adat istiadat serta latar belakang lawan komunikasinya.
Selain itu, bahasa juga
merupakan alat pertukaran informasi. Namun, kadang kala informasi yang
dituturkan oleh komunikator memiliki maksud yang susah untuk dipahami oleh
lawan komunikasinya. Suatu proses berbahasa dikatakan berjalan dengan baik apabila
makna yang disampaikan oleh penutur dapat diresapi oleh lawan tutur sehingga
tidak menimbulkan salah penafsiran. Sebaliknya, suatu proses berbahasa dikatakan
tidak berjalan dengan baik apabila makna yang disampaikan penutur diresapi dan
dipahami oleh lawan tutur tidak sesuai dengan yang dikehendaki oleh penutur.
Hadirnya
fenomena ini
menyebabkan munculnya
sebuah pertanyaan, bagaimana seorang manusia hidup bersosialisasi dengan
manusia yang lain? Jawabnya adalah dengan melakukan tindak tutur. Ketika seseorang melakukan tindak tutur yang baik
dan benar, yaitu
tindak tutur yang tidak melukai lawan bicara, maka proses bersosialisasi pun akan berjalan dengan
lancar.
Atas dasar inilah, pragmatik
hadir sebagai
jembatan dalam melakukan tindak tutur yang baik. Pragmatik merupakan
salah satu cabang ilmu tata bahasa yang berkaitan erat dengan tindak tutur. Konteks
dalam suatu tindak tutur
memiliki peran yang sangat penting. Konteks dalam suatu situasi yang berbeda
akan mempengaruhi
makna sebuah tindak tutur
yang sama. Jadi, penggunaan sebuah bahasa dapat mempengaruhi maksud dan tujuan
dari tindak tutur
yang disampaikan oleh pelaku tindak tutur.
Di dalam ilmu pragmatik, bahasa diteliti tidak lepas dan harus sesuai
dengan konteks bahasa yang dimaksud. Bahasa dan konteks dalam pragmatik menjadi
satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan pragmatik juga memiliki ruang kesantunan dalam
berbahasa.
Penilaian kesantunan berbahasa
yaitu bagaimana kita bertutur dan dengan siapa kita bertutur. Hakikatnya
kesantunan berbahasa adalah etika kita dalam bersosioalisasi di masyarakat
dengan penggunaan, pemilihan kata yang baik dengan memperhatikan di mana, kapan,
kepada siapa, dan dengan tujuan apa kita berbicara secara santun. Budaya kita
menilai berbicara dengan menggunakan bahasa yang santun akan memperlihatkan
sejatinya kita sebagai manusia yang beretika, berpendidikan dan berbudaya yang
mendapat penghargaan sebagai manusia yang baik, karena hakikatnya manusia adalah
”makhluk berbahasa” senantiasa melakukan komunikasi verbal yang sudah
sepatutnya beretika.
Salah satu ruang untuk
bersosialisasi yaitu sebuah lembaga perbankan adalah interaksi antara customer service dengan nasabah. Customer service adalah orang yang
memberikan bantuan/pelayanan kepada pelanggan, artinya customer service adalah orang yang berinteraksi langsung dengan pelanggan
sebagai salah satu ujung tombak terpenting bagi sebuah lembaga dalam membangun
kepuasan pelanggan. Sedangkan nasabah adalah seseorang ataupun badan usaha yang
mempunyai rekening simpanan/pinjaman dan melakukan transaksi simpanan/pinjaman
tersebut pada sebuah bank. Hal inilah yang menjadi dasar utama bahwa seorang customer service haruslah mampu beretika
dalam berbahasa khususnya ketika berinteraksi dengan nasabah dalam lembaga
perbankan.
Dari uraian pada latar belakang
masalah yang telah penulis kemukakan di atas, maka penulis tertarik untuk
mengadakan penelitian. Adapun judul penelitian ini adalah ”Analisis Kesantunan
Berbahasa Customer Service pada Bank
di Kota Bireuen dalam Berinteraksi dengan Nasabah”.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di
atas, yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah kesantunan
berbahasa customer service pada bank
di Kota Bireuen dalam berinteraksi dengan nasabah?
1.3
Tujuan
Penelitian
Sehubungan dengan rumusan
masalah di atas, yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan
mendeskripsikan data tentang kesantunan berbahasa customer service pada bank di Kota Bireuen dalam berinteraksi dengan
nasabah.
1.4
Manfaat
Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberi manfaat secara teoretis dan secara praktis. Secara teoretis,
hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan untuk perkembangan
teori-teori pragmatik dalam penelitian selanjutnya, perbaharuan
menyeluruh tentang kesantunan berbahasa dan pengembangan ilmu bahasa.
Secara praktis, hasil penelitian
ini bermanfaat bagi peneliti, lembaga perbankan dan mahasiswa lainnya. Bagi
peneliti dapat termotivasi serta menambah pengetahuan tentang kesantunan
berbahasa customer service pada
lembaga perbankan dalam berinteraksi dengan nasabah. Bagi
lembaga perbankan, hasil penelitian ini dapat menjadi bahan bacaan dan menambah
pengetahuan para customer service
dalam berinteraksi dengan nasabah agar terjalin komunikasi yang baik antara
kedua belah pihak. Sedangkan, bagi mahasiswa lain atau pembaca, dapat dijadikan
sebagai bahan acuan untuk menambah pemahaman tentang konsep kesantunan
berbahasa dalam berinteraksi dengan lawan komunikasi serta sebagai bahan
pertimbangan untuk mendapatkan suatu ide atau gagasan baru di masa yang akan
datang.
1.5
Ruang
Lingkup Penelitian
Penelitian ini tentang kesantunan
berbahasa customer service pada bank
di Kota Bireuen dalam berinteraksi dengan nasabah. Mengingat cakupan ruang
penelitian terlalu luas, maka peneliti membatasi masalah ini pada kesantunan
berbahasa customer service pada bank
di Kota Bireuen dalam berinteraksi dengan nasabah yaitu pada Bank Mandiri
Syariah, Bank Mega Syariah dan Bank BPD Syariah.
1.6
Definisi
Operasional
Untuk menyamakan pemahaman antara peneliti dengan pembaca, maka perlu
dijelaskan istilah-istilah sebagai berikut:
1)
Analisis
adalah proses penguraian/pembahasan
terhadap suatu permasalahan untuk mengetahui dan menemukan inti permasalahan
lalu disimpulkan, yaitu tentang kesantunan berbahasa customer service pada bank di Kota Bireuen dalam berinteraksi
dengan nasabah.
2)
Kesantunan
berbahasa adalah tata cara berbahasa atau etika berbahasa yaitu kesopanan dan kehalusan dalam
menggunakan bahasa ketika berinteraksi dengan seseorang.
3)
Customer service adalah orang yang melayani,
berinteraksi, berkomunikasi langsung dengan nasabah dan calon nasabah.
4)
Bank
di Kota Bireuen adalah bank yang menjadi objek penelitian ini, yaitu Bank
Mandiri Syariah, Bank Mega Syariah dan Bank BPD Syariah.
5)
Berinteraksi
adalah menjalin komunikasi atau bercakapan, yaitu antara customer service dengan nasabah pada lembaga perbankan.
6)
Nasabah
adalah orang yang telah menjadi pelanggan bank, mempunyai simpanan/pinjaman dan
melakukan transaksi simpan-pinjam tersebut pada bank yang terdapat di Kota
Bireuen.
BAB II
LANDASAN TEORETIS
2.1 Pengertian Pragmatik
Bahasa merupakan media bagi manusia
untuk mewujudkan suatu komunikasi. Masyarakat tutur selalu mengharapkan apa
yang disampaikannya dalam berkomunikasi dapat dipahami oleh mitra tuturnya.
Agar hal ini dapat diwujudkan, maka ilmu
tentang kebahasaan atau yang sering disebut dengan ilmu pragmatik sangat
dibutuhkan dalam kehidupan. Hal ini dikarenakan ilmu pragmatik merupakan studi yang
mempelajari tentang makna satuan bahasa yang terikat konteks.
Levinson (dalam Nababan, 1987: 2), ia
menyatakan bahwa ”Pragmatik merupakan, 1) kajian dari hubungan antara
bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan
pengertian bahasa, dan 2) kajian tentang kemampuan pemakai bahasa mengaitkan
kalimat-kalimat dengan konteks-konteks yang sesuai bagi kalimat-kalimat itu”.
Maksudnya, studi pragmatik adalah studi yang mempelajari bahasa sesuai dengan
konteks atau situasi si penutur dan lawan tutur, selain itu pragmatik juga
merupakan studi yang memaparkan kemampuan pemakai bahasa dalam menjabarkan
kalimat-kalimat sesuai dengan situasi kalimat tersebut diujarkan.
Nababan (1987: 3), ia mengungkapkan bahwa ”Pragmatik adalah aturan-aturan
pemakaian bahasa, yaitu pemilihan bentuk bahasa dan penentuan maknanya
sehubungan dengan maksud pembicara sesuai dengan konteks pemakaiannya”. Maksud
dari pernyataan Nababan di atas adalah pragmatik merupakan kajian tentang
pemakaian bahasa, baik berupa bentuk maupun makna bahasa sesuai dengan situasi pembicara
dan lawan bicaranya.
Selanjutnya, Leech (1993: 8), mengemukakan bahwa ”Pragmatik adalah studi
tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situations) yang meliputi
unsur-unsur penyapa dan yang disapa, konteks, tujuan, tindak ilokusi, tuturan,
waktu, dan tempat”. Maksudnya, pragmatik merupakan studi yang mengkaji tentang makna
bahasa ditinjau dari situasi si penutur bahasa dan lawan tuturnya, yang
meliputi siapa penuturnya dan siapa lawan tuturnya, dalam situasi yang
bagaimana serta kapan dan di mana tuturan itu terjadi.
Selain itu, Chaer dan Agustina (2004: 57), ia
menyatakan bahwa ”Pragmatik merupakan kajian yang menelaah makna menurut tafsiran
pendengar”. Maksudnya, studi pragmatik mengkaji tentang makna bahasa penutur sesuai
dengan apa yang ditafsirkan oleh lawan tutur.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa pragmatik merupakan suatu kajian yang menelaah tentang
bagaimana caranya konteks mempengaruhi peserta tutur dalam menafsirkan kalimat.
Selain itu, pragmatik juga menelaah makna dalam kaitannya dengan situasi ujaran
yang menunjuk kepada fakta bahwa untuk mengerti sebuah ujaran diperlukan
pengetahuan kebahasaan sesuai dengan konteks pemakaiannya.
2.2 Pengertian Tindak Tutur
Dalam berkomunikasi secara lisan, maka
secara langsung penutur menyampaikan informasi, baik gagasan atau idenya kepada
lawan tutur. Melalui proses komunikasi
ini terjadi peristiwa tutur. Jadi, peristiwa tutur dikatakan sebagai proses
terjadinya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang
melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan,
di dalam waktu, tempat dan situasi tertentu.
Chaer (2010: 27), ia menyatakan bahwa
”Tindak tutur adalah tuturan dari seseorang yang bersifat psikologis dan yang
dilihat dari makna tindakan dalam tuturannya itu”. Maksudnya, tindak tutur
merupakan ujaran yang berupa pikiran atau gagasan dari seseorang yang dapat
dilihat dari makna tindakan atas tuturannya tersebut.
Selanjutnya, Yule (1996: 82), ia
menyatakan bahwa ”Tindak tutur merupakan tindakan-tindakan yang ditampilkan
lewat tuturan, misalnya usaha seseorang dalam mengungkapkan diri mereka. Mereka
tidak hanya menghasilkan tuturan yang mengandung kata-kata saja, tetapi mereka memperlihatkan
tindakan-tindakan melalui tuturan itu”. Maksudnya sudah jelas bahwa jika
seseorang ingin mengungkapkan sesuatu maka ia akan menunjukkannya melalui tindakan
yang disampaikan dengan ujaran.
Berdasarkan pendapat di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa tindak tutur merupakan suatu cara yang menegaskan bahwa
suatu bahasa dapat dipahami dengan baik jika diungkapkan sejalan dengan situasi
dan konteks terjadinya bahasa tersebut, baik berupa psikologis maupun sosial. Selain itu, tindak tutur merupakan suatu aspek yang membentuk peristiwa tutur pada
proses komunikasi.
2.3 Jenis-jenis
Tindak Tutur
Sebagai makhluk pemakai bahasa
dalam berkomunikasi dengan sesamanya, maka manusia tidak terlepas dari ranah pertuturan. Pertuturan akan berlangsung
dengan baik, apabila penutur dan lawan tutur itu menaati aturan-aturan dalam
bertutur.
Austin (dalam Chaer, 2010: 26-29), ia menyatakan bahwa ”Teori tindak
tutur dapat dirumuskan menjadi tiga bentuk tindakan yang berbeda, yaitu:
1)
Tindak tutur lokusi adalah tindak tutur untuk
menyatakan sesuatu sebagaimana adanya atau
The Act of Saying Something tindakan untuk mengatakan sesuatu.
2)
Tindak tutur ilokusi selain menyatakan sesuatu juga
menyatakan melakukan sesuatu atau The Act of Doing Something.
3)
Tindak tutur perlokusi adalah tindak tutur yang
mempunyai pengaruh atau efek terhadap lawan tutur atau The Act of Affective Someone.
Atas dasar pandangan Austin di atas, dapat dirumuskan bahwa tindak tutur
lokusi adalah suatu tindak tutur yang menyatakan sesuatu kepada pendengar tanpa
maksud untuk melakukan sesuatu.
Misalnya pada
tuturan ”Badan saya lelah sekali”.
Penutur tuturan di atas tidak bermaksud tertentu kepada mitra tutur. Tuturan ini
bermakna bahwa si penutur sedang dalam keadaan lelah, tanpa bermaksud meminta
untuk diperhatikan dengan cara dipijat oleh si mitra tutur. Penutur hanya mengungkapkan keadaan yang sedang dialaminya saat itu, ia hanya menginformasikan sesuatu tanpa cenderung untuk melakukan sesuatu apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya.
Tindak tutur ilokusi adalah suatu tindak tutur yang menyatakan tindakan
melakukan sesuatu, selain memberi informasi juga berisi tindakan.
Misalnya pada
tuturan ”Andi sedang sakit”.
Jika kalimat di atas dituturkan kepada mitra tutur yang sedang
menyalakan televisi dengan volume yang sangat tinggi, berarti tuturan ini tidak
hanya dimaksudkan untuk memberikan informasi, tetapi juga menyuruh agar
mengecilkan volume atau bahkan mematikan televisi.
Sedangkan tindak perlokusi adalah suatu tindak tutur yang memberi
pengaruh/efek kepada orang lain.
Misalnya pada
tuturan ”Minggu lalu saya ada keperluan keluarga yang tidak dapat ditinggalkan”.
Tuturan di atas, selain memberi
informasi bahwa si penutur pada minggu lalu ada kegiatan di keluarga, juga bila
dituturkan pada lawan tutur yang pada minggu lalu mengundang untuk hadir pada
resepsi pernikahan, bermaksud juga meminta maaf. Lalu, efek yang diharapkan adalah
agar si lawan tutur memberi maaf kepada si penutur.
Sedangkan menurut Nababan (1987: 4),
ia mengemukakan tiga konsep tindak tutur, yaitu sebagai berikut:
1)
Konsep lokusi (locution)
yang memandang suatu kalimat/ujaran sebagai suatu ”proposisi” yang terdiri
dari subjek/topik dan predikat/komentar.
2)
Konsep ilokusi (illocution)
yang memandang suatu kalimat/ujaran sebagai tindakan bahasa.
3)
Konsep perlokusi (perlocution)
yaitu efek atau apa yang dihasilkan kalimat/ujaran pada pendengaran atau
penerimaan pendengar atas ujaran itu.
Maksud dari pernyatan Nababan di atas yaitu, konsep lokusi merupakan
suatu konsep tindak tutur yang terdiri dari suatu permasalahan dan adanya
komentar dari pihak lawan tutur. Lalu, konsep ilokusi merupakan suatu konsep
tindak tutur yang berpangkal pada ujaran sebagai tindakan bahasa seperti,
menyuruh, memanggil, menyampaikan, menyatakan setuju, menyampaikan keberatan,
dan sebagainya. Sedangkan, konsep perlokusi adalah suatu konsep tindak tutur
yang memberikan efek kepada ujaran penutur terhadap lawan tuturnya.
Berdasarkan kedua pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa teori
atau konsep tindak tutur dapat dirumuskan ke dalam tiga bentuk tindakan yang
berbeda, yaitu 1) tindak lokusi, 2) tindak ilokusi, dan 3) tindak perlokusi.
Ketiga tindak tutur tersebut saling berhubungan dan berkesinambungan karena
dalam bertutur harus memahami konsep-konsep tindak tutur agar proses komunikasi
berjalan sesuai dengan yang diharapkan oleh penutur dan lawan tutur.
2.4 Pengertian Kesantunan Berbahasa
Ketika
berkomunikasi dengan mitra tutur, penutur harus menjalin interaksi yang baik
melalui berbagai macam tuturan. Agar penutur dapat memahami berbagai macam
tuturan, maka ia harus menguasai berbagai seluk-beluk komunikasi yang baik.
Salah satunya adalah dengan mengunakan bahasa yang santun.
Ukuran kesantunan berbahasa ditentukan
oleh faktor-faktor lain seperti ketepatan dan kejelasan tuturan, saling
mematuhi dan saling menghargai pihak lain, berusaha menyelamatkan muka dan
perlu adanya kerja sama yang baik pula. Kesantunan berbahasa dapat dilakukan
karena adanya dorongan oleh sikap menghargai dan sikap hormat terhadap pihak
lain sehingga dengan adanya sikap saling menghargai dan saling menghormati
pihak lain dalam situasi pertuturan akan menghasilkan komunikasi yang efektif
sesuai dengan yang dikehendaki.
Brown dan Levinson (dalam Chaer, 2010: 11), ia menyatakan bahwa ”Teori
tentang kesantunan berbahasa itu berkisar atas nosi muka atau wajah yaitu ’citra diri’ yang bersifat umum
dan selalu ingin dimiliki oleh setiap anggota masyarakat. Selain itu,
kesantunan ini dapat ditafsirkan sebagai upaya untuk menghindari konflik antara
penutur dan lawan tuturnya di dalam proses berkomunikasi”. Maksudnya, kesantunan
berbahasa merupakan salah satu aspek kebahasaan yang dapat meningkatkan
kecerdasan emosional penuturnya, karena dalam komunikasi penutur dan lawan
tutur tidak hanya dituntut untuk menyampaikan kebenaran tetapi harus tetap
berkomitmen untuk menjaga keharmonisan hubungan, hal ini terjalin apabila
setiap peserta tutur dapat saling menghargai. Dengan kata lain, baik penutur
maupun mitra tutur memiliki kewajiban yang sama untuk menjaga muka. Kesantunan
berbahasa erat kaitannya dengan etika berbahasa, hal ini dikarenakan etika
berbahasa juga mengatur tentang tata cara menggunakan bahasa dalam
berkomunikasi.
Sejalan dengan hal tersebut, Chaer dan Agustina
(2004: 172), menyatakan bahwa ”Etika berbahasa erat berkaitan dengan pemilihan
kode bahasa, norma sosial, dan sistem budaya yang berlaku dalam satu
masyarakat. Etika berbahasa ini akan mengatur 1) apa yang harus kita katakan
pada waktu dan keadaan tertentu kepada seorang partisipan tertentu berkenaan
dengan status sosial dan budaya dalam masyarakat itu, 2) ragam bahasa apa yang
paling wajar kita gunakan dalam situasi sosioliguistik tertentu, 3) kapan dan
bagaimana kita menggunakan giliran berbicara kita dan menyela pembicaraan orang
lain, 4) kapan kita harus diam, dan 5) bagaimana kualitas suara dan sikap fisik
kita dalam berbicara”.
Berdasarkan penjelasan di atas, jelas bahwa kesantunan berbahasa
merupakan etika dalam berkomunikasi dengan menggunakan bahasa sebagai media tuturan.
Etika tersebutlah yang mengatur tata cara berbahasa secara santun dalam
berkomunikasi dengan mitra tutur.
2.5 Fungsi Kesantunan Berbahasa
Searle (dalam Chaer, 2010: 29), ia menyatakan bahwa ”Tindak tutur terbagi
menjadi lima kategori yang menjadi fungsi kesantunan dalam berbahasa atas dasar
maksud penutur ketika berbicara, yaitu:
1)
Representatif,
yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada kebenaran atas apa yang
dikatakannya. Misalnya mengatakan, melaporkan, dan menyebutkan.
2)
Direktif,
yaitu tindak tutur yang dilakukan penuturnya dengan maksud agar lawan tutur
melakukan tindakan yang disebutkan dalam tuturan itu. Misalnya menyuruh,
memohon, menuntut, menyarankan dan menantang.
3)
Ekspresif,
yaitu tindak tutur yang dilakukan dengan maksud agar tuturannya diartikan
sebagai evaluasi mengenai hal yang disebutkan di dalam tuturan itu. Misalnya
memuji, mengucapkan terima kasih dan mengkritik.
4)
Komisif,
yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang
disebutkan di dalam tuturannya. Misalnya berjanji, bersumpah dan mengancam.
5)
Deklarasi,
yaitu tindak tutur yang dilakukan si penutur dengan maksud untuk menciptakan
hal (status dan keadaan) yang baru. Misalnya memutuskan, membatalkan, melarang,
mengizinkan, dan memberi maaf.
Berdasarkan
pendapat Searle di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi tindak tutur dalam
berbahasa dengan santun dibagi atas lima golongan, yaitu 1) representatif, 2) direktif, 3)
ekspresif, 4) komisif, dan 5) deklarasi. Kelima pembagian ini merupakan tindak
tutur yang mengatur terjalinnya komunikasi yang baik antara penutur dan mitra
tutur.
Leech
(1993: 162), ia menyatakan bahwa ”Derajat kesantunan yang dinyatakan oleh
seorang penutur akan sangat ditentukan oleh situasi saat berlangsungnya
pertuturan. Oleh karena itu, Leech membagi fungsi ilokusi sebuah pertuturan
menjadi empat jenis, yaitu:
1)
Kompetitif (competitive):
tujuan ilokusi bersaing dengan tujuan sosial.
2)
Menyenangkan (convivial):
tujuan ilokusi sejalan dengan tujuan sosial.
3)
Bekerja sama (collaborative):
tujuan ilokusi tidak menghiraukan tujuan sosial.
4)
Bertentangan (conflictive):
tujuan ilokusi bertentangan dengan tujuan sosial.
Pertama, kompetitif (competitive),
yang pada kenyataanya sasaran ilokusi pertuturan tak sejalan dengan tuntutan
sosial, seperti dalam bentuk memerintah, bertanya, menuntut, meminta dan
mengemis. Kedua, menyenangkan (convivial), yang hakikatnya memang berisi
ungkapan santun, sehingga dengan kata lain sasaran ilokusi pertuturan sejalan
dengan tuntutan sosial. Ini terwujud dalam realisasi pertuturan seperti
menyapa, mengundang, menawarkan barang/jasa, memberikan ucapan selamat, dan
yang sejenisnya.
Ketiga, bekerja sama (collaborative), yang derajat kesantunannya
tidak terlalu bermasalah, mengingat sasaran ilokusi pertuturan dari jenis ini
memang berbeda dengan tuntutan sosial. Hal ini terlihat dalam realisasi
pertuturan seperti menyampaikan pengumuman, membuat pernyataan, dan mengajarkan.
Keempat, bertentangan (conflictive), yang sasaran ilokusi pertuturannya
memang berbenturan dengan harapan anggota masyarakat sosial. Dalam hal ini,
kesantunan berbahasa tidak menjadi perhatian penutur, karena hakikat pertuturan
jenis ini adalah memang bertentangan, misalnya, untuk menyinggung. Hal ini
terlihat dalam realisasi pertuturan ketika marah, mengancam, dan sebagainya.
2.6 Bentuk-bentuk Kesantunan Berbahasa
Brown dan Levinson (dalam Chaer,
2010: 11), menyatakan bahwa ”Bentuk kesantunan berbahasa terbagi atas dua muka
atau wajah (face), yaitu:
1)
Muka negatif, yaitu mengacu pada citra diri setiap
orang yang berkeinginan agar ia dihargai dengan jalan membiarkannya bebas
melakukan tindakannya atau membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan
sesuatu.
2)
Muka positif, yaitu mengacu pada citra diri setiap
orang yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya diakui orang lain sebagai suatu
hal yang baik, yang menyenangkan dan patut dihargai.
Atas dasar pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk kesantunan
berbahasa terbagi menjadi dua, yaitu kesantunan negatif yang berfungsi untuk
menjaga muka negatif dan kesantunan positif yang berfungsi menjaga muka
positif. Hal ini dikarenakan kesantunan negatif menciptakan jarak sosial dan
kesantunan positif meminimalkan jarak sosial.
2.7 Prinsip-prinsip Kesantunan Berbahasa
Dalam berbahasa tentunya ada
rambu-rambu yang harus ditaati, salah satunya adalah tentang kesantunan
berbahasa, yang memiliki batasan tersendiri. Leech (dalam Rahardi, 2005:
59-66), ia menyatakan bahwa ”Seseorang dapat dikatakan sudah memiliki kesantunan
berbahasa jika sudah dapat memenuhi prinsip-prinsip kesantunan yang dijabarkan
menjadi maksim (ketentuan/ajaran), yaitu:
1)
Maksim
Kebijaksanaan (Tact Maxim), yaitu maksim
yang menggariskan bahwa setiap para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada
prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan
keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Jika dalam bertutur, seseorang
berpegang pada maksim kebijaksanaan, ia dapat menghindarkan sikap dengki, iri
hati, dan sikap yang kurang santun terhadap mitra tutur.
Misalnya
:
Tuan rumah : ”Silakan
makan saja dulu, nak! Kami semua sudah mendahului”.
Tamu : ”Wah,
saya jadi tidak enak, Bu”.
Di dalam tuturan di atas tampak jelas
bahwa apa yang dituturkan tuan rumah sangat memaksimalkan keuntungan bagi tamu.
Bahkan, sering kali ditemukan minuman dan makanan yang disajikan kepada tamu
diupayakan agar layak diterima dan dinikmati oleh tamu tersebut.
2)
Maksim
Kedermawanan (Generosity Maxim),
yaitu maksim kemurahan hati, yang mengharuskan peserta tutur untuk menghormati
rang lain. Penghormatan tersebut terjadi jika peserta tutur dapat meminimalkan
keuntungan bagi dirinya dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain.
Misalnya:
Anak kos A : ”Mari, saya cucikan baju kotormu! Pakaianku
tidak banyak kok yang kotor”.
Anak
kos B : ”Tidak
usah, Mbak. Nanti siang saya akan mencuci juga kok”
Di dalam tuturan di atas, dapat
dilihat dengan jelas bahwa si A berusaha memaksimalkan keuntungan pihak lain
dengan cara menawarkan bantuan untuk mencucikan pakaian kotor si B. Hal
tersebut merupakan realisasi maksim kedermawanan atau kemurahan hati dalam
bermasyarakat.
3)
Maksim
Penghargaan (Approbation Maxim),
yaitu maksim yang membuat orang akan dapat dianggap santun apabila dalam
bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain. Sehingga,
para peserta tutur tidak saling mengejek atau merendahkan pihak lain.
Misalnya:
Dosen A : ”Pak, tadi saya sudah memulai kuliah perdana
dengan materi puisi”.
Dosen B : ”Oya,
tadi saya mendengar pembacaan puisinya jelas sekali”.
Dalam pertuturan di
atas, pemberitahuan yang disampaikan dosen A terhadap rekannya dosen B
ditanggapi dengan sangat baik, bahkan disertai pujian atau penghargaan oleh
dosen B. Maka, dalam pertuturan itu dosen B berperilaku santun terhadap dosen
A.
4)
Maksim
Kesederhanaan (Modesty Maxim) atau
maksim kerendahan hati, yaitu maksim yang mengharapkan peserta tutur dapat
bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri.
Misalnya:
Ibu
A : ”Nanti
Ibu yang memberi sambutan ya, dalam rapat PPK”.
Ibu B : ”Waduh…
nanti grogi saya”.
Pernyataan di atas, merupakan
tuturan antara Ibu PPK ketika akan mengadakan rapat. Ibu A menunjukkan
kerendahan hati kepada Ibu B, dengan memintanya menjadi orang yang memberikan
sambutan dalam rapat dan bukan dirinya, karena orang akan dikatakan sombong apabila
di dalam kegiatan bertutur selalu mengunggulkan dirinya sendiri.
5)
Maksim
Permufakatan (Agreement Maxim) atau
maksim kecocokan, yaitu maksim yang mengharuskan para peserta tutur dapat
saling membina kococokan di dalam kegiatan bertutur. Jika terdapat kecocokan
antara keduanya, maka mereka dapat dikatakan bersikap santun.
Misalnya:
Guru
A : ”Ruangannya
gelap ya, Bu!”
Guru B : ”He…eh!
Saklarnya mana ya?”
Pernyataan di atas, merupakan
tuturan seorang guru kepada rekannya pada saat mereka berada di ruang guru. Ketika
guru A menyatakan ruangannya gelap, respon guru B dengan menanyakan mana
saklarnya menunjukkan bahwa guru A dan guru B memiliki kecocokan.
6)
Maksim
Kesimpatisan (Sympath Maxim), yaitu maksim
yang mengharapkan peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak
yang satu dengan pihak yang lain.
Misalnya:
Ani : ”Tut,
nenekku meninggal.”
Tuti : ”Innalillahiwainnailaihi
rajiun. Aku ikut berduka cita.”
Pernyataan di
atas merupakan tuturan seorang karyawan kepada rekannya yang memiliki hubungan
erat saat mereka berada di ruang kerja. Pernyataan Ani yang memberitahukan
kalau neneknya meninggal mendapat simpati dari Tuti rekan kerjanya dengan ikut
berduka cita atas meninggalnya nenek Ani.
Berdasarkan perdapat
Leech di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat enam maksim yang menjadi
prinsip kesantunan berbahasa, yaitu 1) maksim kebijaksanaan, 2) maksim
kedermawanan, 3) maksim penghargaan, 4) maksim kesederhanaan, 5) maksim
permufakatan, 6) maksim kesimpatisan. Keenam maksim tersebut merupakan aturan
yang mengatur peserta tutur dalam berinteraksi dengan lawan tutur.
Sedangkan Gries dalam Chaer (2010: 34-36), ia
menyatakan ”Prinsip atau maksim kerja sama dapat digolongkan ke dalam
beberapa kelompok yaitu:
1)
Maksim kuantitas, yaitu
maksim yang menghendaki setiap peserta tutur hanya memberikan kontribusi yang
secukupnya saja atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawannya.
Misalnya: (1) Ayam
saya sudah bertelur.
(2) Ayam saya yang betina sudah bertelur.
Dalam tuturan (1) sudah memenuhi maksim
kuantitas karena informasi yang diberikan hanya secukupnya saja, tidak
berlebihan. Sedangkan, dalam tuturan (2) dikatakan tidak memenuhi maksim
kuantitas, karena adanya kata yang betina
yang tidak perlu. Hal ini dikarenakan semua ayam yang bertelur sudah tentu
ayam betina. Jadi, kata yang betina pada tuturan tersebut
memberi informasi yang tidak perlu.
2)
Maksim kualitas, yaitu
maksim yang menghendaki agar peserta pertuturan itu mengatakan hal yang
sebenarnya, hal yang sesuai dengan data dan fakta. Kecuali barangkali kalau
memang tidak tahu.
Misalnya: (1) Guru : Coba
kamu Sri, Kutablang ada di kabupaten apa?
Siswa : Kabupaten Bireuen, Bu.
(2) Guru : Andi, siapa presiden pertama Republik
Indonesia?
Siswa : Jendral Suharto, Bu!
Guru : Bagus, kalau
begitu Bung Karno adalah presiden kedua, ya.
Dalam pertuturan (1) sudah menaati maksim kualitas
karena Kutablang memang berada di Kabupaten Bireuen. Namun, pada pertuturan (2)
guru memberikan konstribusi yang melanggar maksim kualitas dengan mengatakan
Bung Karno adalah presiden kedua Republik Indonesia. Konstribusi guru, yang
melanggar maksim kualitas ini diberikan sebagai reaksi terhadap jawaban siswa
yang salah. Dengan konstribusi yang salah ini, maka siswa kemudian secara cepat
akan mencari jawaban mengapa guru membuat pernyataan yang salah tersebut. Kata bagus yang diucapkan dengan nada
mengejek menyadarkan siswa terhadap kesalahannya.
3)
Maksim relevansi,
mengharuskan setiap peserta pertuturan memberikan kontribusi yang relevan
dengan masalah atau tajuk pertuturan.
Misalnya:
(1) Anak
:
Bu, ada telepon untuk Ibu!
Ibu : Ibu
sedang di kamar mandi, Nak.
(2) A : Pak, tadi ada tabrakan motor dan mobil di
jalan.
B :
Mana yang menang?
Dalam pertuturan (1),
jika dilihat sepintas jawaban Ibu tidak berhubungan. Namun, bila disimak
baik-baik hubungan itu ada. Jawaban Ibu mengimplikasikan bahwa saat itu Ibu
tidak dapat menerima telepon secara langsung karena sedang berada di kamar
mandi. Maka, secara tidak langsung Ibu meminta agar si anak menerima telepon
tersebut. Sebaliknya, dalam tuturan (2), komentar B terhadap pernyataan A tidak
ada relevansinya, sebab dalam peristiwa tabrakan tidak ada yang menang dan
tidak ada yang kalah. Kedua belah pihak sama-sama mengalami kerugian. Selain
dari maksud untuk melucu jawaban B pada pertuturan di atas sukar dicari
implikasionalnya.
4)
Maksim cara, maksim
ini mengharuskan penutur dan lawan tutur berbicara secara langsung, tidak
kabur, tidak ambigu, tidak berlebih-lebihan dan runtut.
Misalnya:
(1) A :
Kamu datang ke sini untuk apa?
B :
Mengambil hak saya.
(2) A : Nak, suara tangisan siapa itu?
B :
Anak tetangga, Bu!
(3) A :
Barusan kamu dari mana?
B :
Dari belakang, habis b-e-r-a-k.
(4) Mulai dari birokrat paling bawah di tingkat
kelurahan ditingkat kelurahan sampai pada birokrat tertinggi di tingkat
kementerian melakukan korupsi. Tiap tahun triliun uang negara raib mereka
korup. Perbuatan korupsi telah menggurita dikalangan birokrat di negeri kita.
Ironisnya, meskipun KPK telah bekerja keras menangkap dan memeriksa pejabat
terangka korup tetapi tiba di pengadilan hampir semuanya divonis bebas. Bukan
hanya pejabat eksklusif tetapi juga pejabat legislatif dan pejabat yudikatif.
(5) Perbuatan korupsi telah menggurita dikalangan
birokrat di negeri kita. Mulai dari birokrat paling bawah di tingkat kelurahan
ditingkat kelurahan sampai pada birokrat tertinggi di tingkat kementerian.
Bukan hanya pejabat dikalangan eksklusif tetapi juga pejabat legislatif dan
pejabat yudikatif. Tiap tahun triliunan uang negara raib mereka korup.
Ironisnya, meskipun KPK telah bekerja keras menangkap dan memeriksa pejabat
terangka korup tetapi tiba di pengadilan hampir semuanya divonis bebas.
Dalam pertuturan
(1) tidak menaati maksim cara karena bersifat ambigu. Kata hak saya bisa mengacu pada hak sepatu, bisa juga pada sesuatu yang
menjadi miliknya. Dalam pertuturan (2) termasuk tuturan yang menaati maksim
cara karena jawaban yang diberikan oleh si B jelas dan tidak ambigu serta tidak
berlebih-lebihan atau sesuai dengan apa yang dipertanyakan oleh si A. Begitu
juga dalam tuturan (3) termasuk contoh tuturan pelaksanaan maksim cara yaitu
dengan mengeja huruf demi huruf kata berak.
Hal ini dilakukan untuk menghindari pengucapan kata tabu dan menjaga kesopanan.
Selanjutnya dalam tuturan (4) melanggar maksim cara karena tidak terdapat keruntutan
dan penataan kalimatnya tidak teratur sehingga makna pertuturanya tidak dapat
dipahami. Sedangkan dalam pertuturan (5) telah mengikuti maksim cara karena pertuturan
tersebut lebih runtut dalam penyusunan kalimatnya sehingga mudah dipahami
maksud dari tuturan tersebut.
Berdasarkan
pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa maksim kuantitas maksudnya
adalah setiap peserta tutur diharapkan hanya memberikan informasi secukupnya
saja, sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan oleh pihak lawan bicara. Dalam
maksim kualitas mengharapkan pengguna bahasa mengatakan suatu informasi yang
sebenarnya sesuai dengan data-data yang ada, kecuali pihak penutur tidak mengetahui
informasi tersebut. Lalu, maksim relevansi merupakan maksim yang menghendaki
setiap penutur memberikan masukan yang bersangkutan dan sesuai dengan masalah
yang ada. Sedangkan maksim cara adalah suatu aturan yang mengharuskan penutur
dan lawan tutur berbicara secara langsung dan tidak menimbulkan makna ganda.
Maka dapat
disimpulkan bahwa prinsip kerjasama Grice meliputi 1) maksim kuantitas, 2) maksim kualitas, 3) maksim relevansi/hubungan, dan 4) maksim
pelaksanaan/cara. Dalam prinsip kerja sama ini, penutur dan lawan tutur yang
terlibat dalam percakapan harus saling bekerjasa sama dan berusaha untuk tidak
membingungkan, mempermainkan atau menyembunyikan suatu informasi yang ada. Dengan demikian, proses komunikasi akan
berjalan dengan lancar.
2.8 Pengertian Customer
Service
Wawoluntu dalam bukunya Dasar-dasar Keterampilan Melayani
Nasabah Bank (1997: 1), dalam blog Agussalim menyatakan bahwa ”Istilah customer service yang diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia yang artinya melayani nasabah, dalam bidang bisnis
secara umum diartikan sebagai pelayanan pelanggan. Kata customer service berasal dari dua kata yaitu “Customer” yang berarti pelanggan, dan ‘Service” yang berarti pelayanan.”
Selanjutnya, Kasmir dalam bukunya Etika Customer Service (2004: 201), dalam blog Agussalim menyatakan bahwa
”Pengertian customer service secara umum adalah setiap
kegiatan yang diperuntukkan atau ditujukan untuk memberikan kepuasan nasabah,
melalui pelayanan dapat memenuhi keinginan dan kebutuhan nasabah.
Berdasarkan kedua pendapat di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa Customer Service adalah sebuah
unit kerja yang bertugas untuk melayani nasabah atau calon nasabah. Pelayanan
yang diberikan adalah pelayanan berdasarkan informasi dan pelayanan jasa yang
tujuannya untuk memberikan kepuasan nasabah serta dapat memenuhi keinginan dan
kebutuhan nasabah.
2.9 Fungsi Customer Service
Setiap customer
service tentu telah diterapkan fungsi yang harus diembannya. Fungsi yang
harus dilaksanakan dalam arti dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan
bertanggung jawab dari awal sampai selesainya suatu pelayanan nasabah, yaitu fungsi
yang harus benar-benar dipahami sehingga seorang customer service dapat menjalankan tugasnya secara prima.
Kasmir dalam bukunya Pemasaran Bank (2004: 203) dalam blog
Agussalim, menyatakan bahwa ”Fungsi customer
service adalah sebagai berikut:
1)
Sebagai Receptionis,
maksudnya customer service
memiliki peran sebagai penerima tamu/nasabah yang datang ke bank dengan ramah
tamah, tenang simpatik, menarik dan menyenangkan. Dalam hal ini customer service harus bersikap memberi perhatian, berbicara dengan suara
yang lembut dan jelas dengan bahasa yang mudah dimengerti.
2)
Sebagai Deksman, maksudnya customer service adalah orang
yang melayani berbagai macam aplikasi yang diajukan nasabah atau calon nasabah.
Untuk memberikan informasi mengenai prodak-prodak bank, menjelaskan manfaat dan
ciri-ciri bank. Kemudian menjawab pertanyaan nasabah mengenai produk bank serta
membantu nasabah untuk mengisi formulir aplikasi.
3)
Sebagai Selesman, maksudnya customer service adalah orang
yang menjual produk perbankan sekaligus dan mengadakan pendekatan/mencari
nasabah baru serta mempertahankan nasabah lama, juga mengatasi setiap
permasalahan yang dihadapi nasabah termasuk keberatan/keluhan nasabah.
4)
Sebagai Customer service relation officer, maksudnya customer service adalah orang yang dapat membina hubungan baik
dengan seluruh nasabah.
5)
Sebagai Comunikator, maksudnya customer service adalah orang yang menghubungi nasabah dan memberikan
informasi tentang segala sesuatu yang ada hubungannya antara bank dengan
nasabah.
2.10 Tugas-tugas Customer Service
Kasmir dalam bukunya Pemasaran Bank (2004: 204) dalam blog
Agussalim, menyatakan bahwa ”Customer
service mempunyai tanggung jawab
dalam menjalankan tugasnya, yaitu sebagai berikut:
1)
Bertanggung jawab kepada pemimpin.
2)
Secara efektif
memberikan perbaikan kualitas operasi dan layanan bank yang telah ada dan yang
akan diterapkan.
3)
Melakukan koordinasi
dan bekerja sama dengan bagian lainnya dalam memproses dan meningkatkan kualitas
layanan bank.
4)
Sebagai penghubung
antara nasabah dengan bagian-bagian yang terkait dan batasan di atas
wewenangnya.
5)
Menjamin tetap
terjadinya hubungan yang baik dan memuaskan bagi para nasabah, yaitu dalam
menghimpun para nasabah.
6)
Memberikan
informasi mengenai semua jenis produk dan jasa bank termasuk manfaat dan
keuntungannya bagi nasabah.
2.11 Pengertian Nasabah
Makna nasabah pada lembaga perbankan sangat penting. Nasabah
itu ibarat nafas yang sangat berpengaruh terhadap kelanjutan suatu bank. Oleh
karena itu bank harus dapat menarik nasabah sebanyak-banyaknya agar dana yang
terkumpul dari nasabah tersebut dapat diputar oleh bank yang nantinya
disalurkan kembali kepada masyarakat yang membutuhkan bantuan bank.
Menurut Saladin dalam bukunya Dasar-Dasar Manajemen Pemasaran
Bank (1994: 22), yang dikutip dari Kamus Perbankan dalam blog Mira, menyatakan
bahwa ”Nasabah adalah orang atau badan yang mempunyai rekening simpanan atau
pinjaman pada bank˝.
Komaruddin dalam Kamus Perbankan (1994: 55) dalam blog Mira, menyatakan
bahwa ”Nasabah adalah seseorang atau suatu perusahaan yang mempunyai rekening
koran, deposito atau tabungan serupa lainnya pada sebuah bank”.
Dari kedua penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ”Nasabah
adalah seseorang ataupun badan usaha yang mempunyai rekening simpanan dan
pinjaman dan melakukan transaksi simpanan dan pinjaman tersebut pada sebuah
bank”.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan
dan Jenis Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan kualitatif bersifat
deskriptif. Data-data hasil penelitian ini berbentuk penjelasan
atau deskripsi
data-data hasil penelitian secara aktual tanpa menggunakan teknik statistik
atau angka-angka, selanjutnya dianalisis dengan teknik kualitatif. Metode deskriptif
tersebut digunakan
mengingat tujuan penelitian ini ingin menjelaskan tentang kesantunan berbahasa customer service pada bank di Kota
Bireuen dalam berinteraksi dengan nasabah.
Hal ini sejalan dengan pendapat
Moleong (2007: 6) yang menjelaskan bahwa ”Penelitian kualitatif adalah
penelitian yang digunakan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh
subjek penelitian secara holistik dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa
pada suatu konteks, khususnya yang alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode
alamiah”.
Adapun jenis penelitian ini
adalah penelitian pragmatik. Pragmatik adalah suatu tindakan yang dikaitkan dengan konteks situasi tutur yang
melatarbelakanginya. Penelitian pragmatik imperatif yaitu penelitian yang mempelajari modus-modus yang ditempuh
penutur dalam mengkomunikasikan maksud pertuturannya. Penelitian pragmatik imperatif juga merupakan
kajian dari hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan yang
merujuk kepada fakta bahwa untuk mengerti suatu ungkapan bahasa diperlukan
pengetahuan dan tata bahasanya yaitu hubungan dengan konteks pemakainya.
Pada dasarnya, penelitian
pragmatik imperatif merupakan telaah umum mengenai bagaimana caranya konteks
mempengaruhi peserta tutur dalam menafsirkan/menelaah makna dalam kaitan dengan
situasi ujaran. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Rahardi (2005: 4)
bahwa ”Makna pragmatik imperatif sebuah tuturan tidak selalu sejalan dengan
wujud konstruksinya melainkan ditentukan oleh konteks situasi tutur yang
menyertai, melingkupi dan melatarbelakanginya”. Peneliti memilih jenis
penelitian ini karena menelaah bahasa lisan tentang kesantunan berbahasa customer service pada bank di Kota
Bireuen dalam berinteraksi dengan nasabah.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bank
yang terdapat di Kota Bireuen yaitu pada Bank Mandiri Syariah, Bank Mega
Syariah dan Bank BPD Syariah, serta pada jam kerja. Alasan peneliti memilih
lokasi ini karena letak Bank Mandiri Syariah, Bank Mega Syariah dan Bank BPD
Syariah, srategis dan mudah
dijangkau sehingga tidak membutuhkan waktu yang lama hingga peneliti sampai ke
tempat tersebut.
3.3 Data dan Sumber Data
Data
dalam penelitian ini adalah rekaman percakapan customer
service pada bank di Kota Bireuen yaitu Bank Mandiri Syariah, Bank Mega
Syariah dan Bank BPD Syariah ketika berinteraksi dengan nasabah.
Sedangkan sumber data penelitian adalah orang yang menjadi customer service dan nasabah pada bank di Kota Bireuen yaitu Bank
Mandiri Syariah, Bank Mega Syariah dan Bank BPD Syariah ketika peneliti
mengumpulkan data.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini dilakukan dengan teknik perekaman, yaitu suatu proses
menyalin ulang suatu objek, berupa suara dalam percakapan customer service pada bank di Kota Bireuen yaitu Bank Mandiri
Syariah, Bank Mega Syariah dan Bank BPD Syariah ketika berinteraksi dengan
nasabah.
Langkah-langkah pengumpulan datanya adalah sebagai berikut:
1)
Peneliti mendatangi
bank di Kota Bireuen yaitu Bank Mandiri Syariah, Bank Mega Syariah dan Bank BPD
Syariah.
2)
Peneliti
merekam percakapan
customer service ketika berinteraksi
dengan nasabah dengan alat rekaman media komunikasi berupa Hp Blackberry Gemini
Curve 8520.
3)
Peneliti
memutar dan mendengarkan rekaman tersebut.
4)
Peneliti
mentranskrip
ulang percakapan customer service
ketika berinteraksi dengan nasabah ke dalam bentuk dialog percakapan.
5)
Peneliti mengelompokkan data-data tersebut berdasarkan prinsip-prinsip
kesantunan berbahasa dalam percakapan customer
service ketika berinteraksi dengan nasabah, lalu
menganalisis dan
menyimpulkannya.
3.5 Teknik Analisis Data
Data dalam penelitian ini diolah dengan menggunakan teknik analisis secara
kualitatif yaitu menganalisis kesantunan berbahasa customer service pada
bank di Kota Bireuen dalam berinteraksi dengan nasabah. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Sugiono (2009: 337), ia menyatakan bahwa
”Analisis data dalam penelitian
kualitatif dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung dan setelah selesai
pengumpulan data dalam periode tertentu”.
Data
tersebut dianalisis dengan
menggunakan teori Miles dan Huberman. Miles dan Huberman (Sugiono 2009: 337), mengemukakan bahwa
”Aktifitas dalam analisis kualitatif
dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus sampai tuntas
sehingga datanya sudah jenuh. Aktifitas dalam analisis data yaitu mereduksi
data, menyajikan data dan menyimpulkan data”.
Adapun langkah-langkah yang ditempuh
dalam pengolahan data adalah mengolah data menurut prinsip-prinsip kesantunan
berbahasa dalam percakapan customer
service ketika berinteraksi dengan nasabah, menganalisis dan menyimpulkannya.
1)
Mereduksi
data
Tahap mereduksi
data mulai dilakukan melalui proses penyeleksian, identifikasi dan
pengklasifikasian. Penyeleksian dan pengidentifikasian merupakan kegiatan untuk
menyeleksi dan mengidentifikasi data-data pada kategori prinsip-prinsip
kesantunan berbahasa dalam percakapan customer
service ketika berinteraksi dengan nasabah. Tahap pengklasifikasian
merupakan proses yang dilakukan untuk mengklasifikasikan data, memilih data dan
mengelompokkan data.
2)
Menyajikan
Data
Menyajikan Data merupakan kegiatan pengelompokkan
data melalui tahap reduksi data pada kategori prinsip-prinsip kesantunan
berbahasa dalam percakapan customer
service ketika berinteraksi dengan nasabah.
3)
Menarik
Simpulan
Simpulan ditarik
setelah data disusun dan diperiksa kembali. Selanjutnya, didiskusikan dengan
pembimbing. Setelah proses ini dilalui, hasil akhir penelitian analisis kesantunan
berbahasa customer service pada bank
di Kota Bireuen dalam berinteraksi dengan nasabah disajikan dalam bentuk
laporan penelitian.
3.6 Pengecekan
Keabsahan Data
Pemeriksaan
terhadap keabsahan data merupakan salah satu bagian yang penting dalam penelitian kualitatif, yaitu untuk
mengetahui derajat kepercayaan dari hasil penelitian yang dilakukan. Apabila
peneliti melaksanakan periksaan keabsahan data secara cermat dan menggunakan
teknik-teknik yang tepat, maka akan diperoleh hasil penelitian yang benar-benar
dapat dipertanggungjawabkan dari berbagai segi.
Pemeriksaan
keabsahan data dilakukan mengikuti teknik yang dikemukakan Moleong (2010: 329-333), yaitu:
1)
Ketekunan
pengamatan, dilakukan dengan cara mengamati secara teliti, rinci, dan terus menerus selama kegiatan
analisis terhadap kesantunan berbahasa customer
service pada bank di Kota Bireuen dalam berinteraksi dengan nasabah, sehingga
didapatkan hasil penelitian yang tepat dan sesuai.
2)
Triangulasi, yaitu teknik
pemeriksaan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan/pembanding
terhadap data tersebut dan cara terbaik untuk menghilangkan
perbedaan-perbedaan konstruksi kenyataan yang ada dalam konteks tertentu saat mengumpulkan
data tentang berbagai pendangan dan melalui triangulasi peneliti membandingkan temuannya dengan berbagai sumber,
metode dan teori.
3)
Pemeriksaan
sejawat, yaitu mendeskripsikan proses dan hasil penelitian dengan pembimbing,
teman sejawat, dan dosen yang memiliki pengetahuan mengenai judul peneliti.
Maka,
jelas bahwa melalui teknik ketekunan pengamatan, triangulasi dan
pemeriksaan sejawatlah keabsahan
data tentang kesantunan berbahasa customer
service pada bank di Kota Bireuen
dalam berinteraksi dengan nasabah dapat dibuktikan keabsahan datanya.
3.7 Tahap-tahap Penelitian
Adapun
tahap-tahap yang digunakan dalam jenis penelitian pragmatik imperatif ini
sesuai dengan pendapat Kridalaksana (2007: 28-29 ) yaitu:
1)
Tahap Persiapan
Dalam tahap persiapan
penelitian ini, kegiatan yang dilakukan peneliti adalah merekam lalu mencatat percakapan
atau dialog customer service pada bank di Kota Bireuen dalam
berinteraksi dengan nasabah.
2)
Tahap Pelaksanaan
Dalam tahap pelaksanaan,
peneliti mengelompokkan data berdasarkan prinsip-prinsip kesantunan berbahasa customer service pada bank di Kota Bireuen dalam berinteraksi dengan nasabah.
3)
Tahap Analisis
Dalam tahap ini, yang dilakukan
peneliti adalah menganalisis data-data yang diperoleh dari rekaman percakapan
antara customer service dengan nasabah pada bank di Kota Bireuen yang telah menjadi
teks percakapan lalu menganalisis prinsip-prinsip kesantunan berbahasa dan
disimpulkan.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. Agustina, Leonie. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal.
Jakarta: Rineka Cipta.
http://mirave21.wordpress.com/tag/pengertian-nasabah/diakses
tanggal 01 September 2013.
http://solomoncell.wordpress.com/2012/05/03/kesantunan-berbahasa/diakses
tanggal 20 Agustus 2013.
http://tugas2kuliah.wordpress.com/2011/12/14/skripsi-perbankan-perbandingan-tingkat-kepuasan-nasabah-terhadap-pelayanan-customer-service-antara-bri-dan-bank-sulsel/diakses
tanggal 01 September 2013.
Kridalaksana, Harimurti. 2007. Pengantar
(Metode) Penelitian Bahasa. Yogyakarta: Carasvatibooks.
Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik (terjemahan M. D. D. Oka). Jakarta: UI Press.
Moleong, Laxy J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nababan, P. W. J. 1987. Ilmu Pragmatik (Teori dan Penerapannya). Malang: IKIP Malang.
Panitia Penyusun. 2008. Pedoman Penulisan Skripsi.
Matangglumpangdua: FKIP Universitas
Almuslim.
Rahardi, Kunjana. 2005. Pragmatik (Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia). Yogyakarta:
Erlangga.
Sadikin, Muhammad. 2011. Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan. Jakarta: Laskar Aksara.
Sugiono. 2010. Metode Penelitian
Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Yule, George. 2006. Pragmatik
(terjemahan Indah Fajar Wahyuni). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar