ANALISIS BAHASA FIGURATIF
DALAM SYAIR ACEH RANGKAIAN KISAH ANEUK
KUNCI SYURUGA
KARYA Z. A. MOHD. AMIN
1.
Latar Belakang Masalah
Bahasa adalah alat komunikasi yang paling utama bagi manusia. Melalui
bahasalah manusia dapat mengungkapkan pikiran, gagasan, ide dan perasaannya kepada seseorang. Bahkan, bahasa merupakan media
yang sangat berharga dalam kehidupan manusia, hampir tidak ada satu kegiatan
pun yang dilalui tanpa kehadiran bahasa. Baik melalui bahasa tulisan maupun
bahasa lisan. Bahasa lisan memiliki peran penting dalam sebuah komunikasi dan
juga memiliki bagian-bagian permasalahan yang sangat kompleks, yang semakin
hari sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta arus
globalisasi yang semakin pesat, maka semakin jauh pula tonggak perjalanan dan perkembangan
bahasa lisan tersebut.
Salah satu bagian dari bahasa lisan ialah bahasa yang
bernilai sastra, bahkan tidak
bisa dipungkiri kalau perkembangan sastra lisan Aceh seperti mengalami problematika tersendiri. Meskipun pada
kenyataannya sejarah kesusastraan di Aceh sudah lama ada dan mengakar dalam kehidupan masyarakat Aceh. Salah satu bagian dari sastra lisan Aceh adalah syair atau dalam bahasa Aceh sering disebut dengan
caé. Syair atau caé adalah pembagian dari ragam sastra Aceh yang berbentuk
puisi.
|
Kegiatan bersyair dalam masyarakat Aceh bukanlah sebuah kegiatan yang
dengan mudah dapat dilakukan oleh kebanyakan orang. Hal ini dikarenakan untaian
kalimat yang dibentuk dari gabungan kata-kata dalam syair bukanlah penggabungan
kosakata biasa, melainkan penggabungan kosakata yang bernilai sastra dan
berdaya sugesti tinggi yang mampu menyihir para pembaca dan pendengar syair atau caé tersebut jika dilantunkan.
Bahasa yang digunakan dalam caé adalah bahasa yang dimodifikasi
sedemikian rupa dan mampu mewakili apa yang ingin diutarakan oleh orang yang
meucaé atau bersyair. Selain itu, dalam ragam sastra Aceh berupa puisi banyak
menggunakan gaya bahasa atau sering disebut dengan bahasa figuratif. Hal ini
tidak terkecuali dengan syair atau caé. Gaya bahasa tersebut tidak hanya
mengandung fungsi estetis dari segi bentuk tetapi juga mampu merepresentasikan
dan mewakili fungsi estetis dari segi penyampaian maksud yang dikandungnya.
Terlepas dari semua itu, bahasa figuratif dalam syair atau caé juga mampu
membuat kegiatan berkomunikasi dalam masyarakat Aceh bejalan lancar dan
terkesan santun, hal ini dikarenakan masyarakat Aceh sering menggunakan syair
dalam berkomunikasi dengan sesamanya. Gaya bahasa atau bahasa figuratif dalam
caé memiliki keunikan tersendiri yang dapat membedakannya dengan jenis sastra lisan
Aceh lainnya, di mana bahasa figuratif tersebut terbagi atas beberapa pembagian
yang digunakan dalam caé sesuai dengan kebutuhan orang yang meucaé.
Dari uraian pada latar belakang masalah yang telah penulis kemukakan di
atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian. Adapun judul penelitian
ini adalah “Analisis Bahasa Figuratif dalam Syair
Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga karya Z. A. Mohd. Amin”.
2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi masalah
dalam penelitian ini adalah bagaimanakah bahasa figuratif yang terdapat dalam Syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci
Syuruga karya Z. A. Mohd. Amin?
3.
Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan rumusan masalah di atas, yang menjadi
tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan data tentang bahasa figuratif yang terdapat dalam Syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga karya Z. A. Mohd. Amin.
4.
Manfaat Penelitian
Berdasarkan uraian permasalahan dan tujuan penelitian yang telah
dikemukakan di atas, penelitian ini mempunyai dua manfaat yaitu secara teoretis
dan praktis.
Secara teoretis, hasil penelitian
ini diharapkan supaya dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan tentang bahasa
figuratif yang terdapat dalam
Syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci
Syuruga karya Z. A. Mohd. Amin.
Selanjutnya, secara praktis hasil
penelitian ini bermanfaat bagi peneliti untuk menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan tentang bahasa figuratif yang terdapat dalam Syair
Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga karya Z. A. Mohd. Amin dan untuk
lebih memotivasi potensi yang ada dalam diri peneliti. Sedangkan, bagi mahasiswa
lain dapat memberi informasi empiris dan pendalaman ilmu serta pengetahuan
mengenai bidang kesusastraan, sehingga akan memotivasi untuk lebih mencintai
karya sastra lisan Aceh yang berbentuk
puisi berupa syair atau caé.
5.
Ruang
Lingkup Penelitian
Penelitian
ini tentang bahasa figuratif
yang terdapat dalam Syair Aceh
Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga karya Z. A. Mohd. Amin.
Mengingat cakupan ruang penelitian terlalu luas, maka peneliti membatasi
masalah ini pada bahasa figuratif yang terdapat dalam Syair
Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga karya Z. A. Mohd. Amin yaitu pada judul Bahaya Siribee dan Wafeuet
Bungong Syuruga halaman 27 sampai 108.
6.
Definisi Operasional
Untuk menyamakan pemahaman antara peneliti dengan pembaca, maka perlu
dijelaskan istilah-istilah sebagai berikut :
1)
Analisis adalah proses
penguraian/pembahasan
terhadap suatu permasalahan untuk mengetahui dan menemukan inti permasalahan
lalu disimpulkan.
2)
Bahasa figuratif adalah
bentuk bahasa yang digunakan dalam karangan sastra, salah
satunya dalam puisi berbentuk syair yang dapat mewakili perasaan dan pikiran
dari pengarang.
3)
Syair adalah jenis puisi
yang berasal dari kesusastraan Arab.
4)
Syair Aceh adalah
puisi yang berasal dari kesusastraan Arab, tetapi telah dituliskan dalam bahasa
Aceh dan sering dilantunkan oleh masyarakat Aceh dalam kesehariannya.
7.
Landasan Teoretis
7.1
Pengertian Syair
Syair atau dalam bahasa Aceh disebut dengan
istilah caé
merupakan salah satu pembagian dari ragam sastra Aceh yaitu ragam puisi. Melalui
caé tersebutlah masyarakat
Aceh sering mengungkapkan maksud yang ingin disampaikannya kepada lawan
komunikasinya, hal ini dikarenakan masyarakat Aceh memiliki bakat tersendiri
dalam bersyair.
Menurut Harun (2012: 6), ia menyatakan bahwa
”Bagi orang Aceh, istilah caé
sering juga digunakan untuk maksud pantun atau jenis bahasa berirama lainnya,
terutama kalau ia disampaikan secara lisan”. Maksudnya, syair atau caé dalam keseharian masyarakat Aceh digunakan
juga dalam berpantun bahkan dalam berbagai bahasa berirama lainnya, apalagi
jika disampaikan secara lisan. Jadi, bagi masyarakat Aceh, caé membuka diri untuk digunakan dalam berbagai
jenis bahasa berirama.
Selanjutnya, Harun (2012: 212), menyatakan
bahwa ”Syair merupakan jenis puisi yang berasal dari kesusastraan Arab”. Maka
dapat diartikan bahwa syair atau caé pada dasarnya merupakan jens puisi yang berasal dari Arab, berarti syair
pada dasarnya ditulis dalam bahasa Arab. Hanya saja, sekarang syair telah
diubah dalam bahasa Aceh yang lebih dikenal dikalangan masyarakat Aceh dengan
istilah caé.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan
bahwa syair atau caé
dalam masyarakat Aceh merupakan bentuk bahasa berirama yang digunakan oleh
masyarakat Aceh dalam berkomunikasi agar terkesan lebih santun. Di mana, syair
tersebut merupakan terjemahan dari bahasa Arab.
7.2 Ciri-ciri Syair
Syair atau caé dalam masyarakat Aceh memiliki ciri-ciri tersendiri yang membedakannya
dengan bentuk sastra lainnya. Menurut Harun (2012: 212), ia menyatakan bahwa ”Syair
kebanyakan ditulis dalam bentuk sastra kitab dan romansa. Syair itu lazimnya
digubah dalam bentuk sambung-menyambung lebih dari satu bait dan satu bait
terdiri atas empat baris bersajak akhir aa-aa. Akan tetapi, yang terpenting adalah
bentuk syair tersebut ditemukan sebagai salah satu media ucap puisi lisan
Aceh”.
Sejalan dengan pernyataan Harun di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa syair atau dalam masyarakat Aceh yang lebih akrab disebut
dengan caé memiliki ciri-ciri yaitu
syair merupakan jenis puisi yang tidak dapat berdiri atas satu bait saja,
karena ia digubah dalam bentuk sambung-menyambung lebih dari satu bait. Pada
dasarnya ditulis dalam bentuk sastra kitab, terdiri atas empat baris satu bait
dan bersajak akhir aa-aa. Namun, karena caé juga sering digunakan dalam berpantun dan berbagai bahasa berirama
lainnya oleh masyarakat Aceh, maka tidak menutup kemungkinan ada yang bersajak
akhir ab-ab.
7.3 Jenis-jenis Syair
Berdasarkan isinya, syair terbagi atas lima
jenis, yaitu:
1)
Syair Panji
Syair Panji
menceritakan tentang keadaan yang terjadi dalam istana dan keadaan orang-orang
yang berasal dari istana.
2)
Syair Romantis
Syair
Romantis berisi tentang percintaan yang biasanya terdapat pada cerita pelipur
lara, hikayat, maupun cerita rakyat.
3)
Syair Kiasan
Syair Kiasan
berisi tentang percintaan ikan, burung, bunga atau buah-buahan. Percintaan
tersebut merupakan kiasan atau sindiran terhadap peristiwa tertentu.
4)
Syair Sejarah
Syair
Sejarah adalah syair yang berdasarkan peristiwa sejarah. Sebagian besar syair
sejarah berisi tentang peperangan.
5)
Syair Agama
Syair Agama
merupakan syair terpenting. Syair agama dibagi menjadi empat yaitu :
(1)
Syair sufi
(2)
Syair tentang ajaran Islam
(3)
Syair riwayat cerita nabi
(4)
Syair nasihat.
Berdasarkan bentuknya, syair terbagi atas:
1)
Syair terikat
Syair terikat diatur oleh banyaknya
baris dalam satu bait, banyaknya suku kata dalam tiap baris, dan bunyi vokal
untuk akhir baris.
2)
Syair bebas
Syair jenis ini tidak punya pedoman
dalam penyusunannya. Syair bergerak bebas bagaikan air mengalir.
7.4 Pengertian
Bahasa Figuratif/ Gaya Bahasa
Dalam sebuah karya
sastra, baik yang berbentuk ragam prosa fiksi, prosa liris ataupun ragam puisi,
penggunaan bahasa dalam tiap bentuk sastra tersebut memiliki daya estetis
tersendiri. Daya estetis tersebut terwujud dalam penyusunan tiap kosakata yang
diciptakan dengan begitu menggugah dan mengandung makna tersendiri. Makna bahasa
tersebut sering disebut dengan bahasa figuratif.
Menurut Harun
(2012: 300), ia menyatakan bahwa ”Puisi lisan Aceh sangat banyak menggunakan gaya
bahasa (bahasa figurative; stylistic).
Gaya bahasa tersebut di samping mengandung fungsi estetis dari segi bentuk,
juga dipersiapkan untuk merepresentasikan fungsi estetis dari segi penyampaian
maksud yang dikandungnya”. Maksud dari pernyatan Harun di atas adalah gaya
bahasa atau bahasa figuratif, pada hakikatnya adalah bentuk dari penyusunan kosakata
dalam puisi, yang memiliki keindahan baik dari segi bentuk maupun dari segi
makna bahasa yang dikandung kosakata yang dirangkai oleh si penyair dalam puisi
tersebut.
Sejalan dengan
penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bahasa figuratif merupakan
bentuk bahasa yang digunakan dalam sastra khususnya puisi lisan Aceh yaitu
syair yang disusun rapi dan memiliki kesan makna yang mendalam dari setiap
kosakata yang dibentuk oleh si penyair. Hal ini menimbulkan daya pikat
tersendiri bagi para penikmat sastra lisan Aceh yaitu syair. Bahkan, melalui
gaya bahasalah si penyair membungkus maksud yang ingin disampaikanya kepada
pembaca atau pendengar karya sastra yang diciptakannya.
7.5 Jenis-jenis
Bahasa Figuratif/ Gaya Bahasa
Bahasa figuratif dalam puisi
lisan Aceh memiliki beberapa jenis, setiap jenis tersebut memiliki beragam
bentuk makna. Dalam puisi lisan Aceh bahasa figuratif yang digunakan berbeda
dengan bahasa figuratif dalam puisi pada umumnya. Hal ini sejalan dengan yang
dikemukakan oleh Harun (2012: 300), ia menyatakan bahwa ”Gaya bahasa yang
dominan dalam puisi Aceh adalah 1) paralelisme, 2) simile, 3) metafora 4)
metonimia, 5) personifikasi, dan 6) hiperbola”.
1)
Paralelisme
Menurut Harun
(2012: 301), ia menyatakan bahwa ”Gaya bahasa paralelisme ditandai oleh adanya
kesejajaran kata, frasa atau baris yang berpola sama dan kadang-kadang antara
kata, frasa, dan baris tersebut memiliki arti yang sama pula”.
2)
Simile
Menurut Junus
(dalam Harun 2012: 302), ia menyatakan bahwa ”Gaya bahasa simile atau perbandingan/
persamaan oleh Junus (1989: 232) disebut juga semacam metaphor, tetapi
persamaan atau perbandingan kedua unsur dibandingkan oleh kata-kata ’sebagai’,
’seperti’, ’laksana’, dan kata lain yang dapat disamakan dengannya”.
3)
Metafora
Menurut Harun
(2012: 304), ia mengunkapkan bahwa ”Gaya bahasa metafora merupakan gaya bahasa yang
paling luas penggunaannya dalam komunikasi manusia, baik komunikasi lisan
maupun tulis. Akibat seringnya menggunakan metafora, maka kata-kata yang
mengandung metafora akhirnya banyak yang berubah menjadi kata-kata biasa atau
kata yang diacukan bermakna kamus”.
Menurut Wahab
(dalam Harun, 2012: 304), ia meyatakan bahwa ”Metafora adalah ungkapan
kebahasaan yang maknanya tidak dapat dijangkau secara langsung dari lambang,
karena makna yang dimaksud terdapat pada predikat ungkapan kebahasaan itu. Dengan
kata lain, metafora merupakan pemahaman dan pengalaman akan sejenis hal untuk
dimaksudkan untuk perihal yang lain”.
4)
Metonimia
Menurut Harun
(2012: 309), ia mengungkapkan bahwa ”Metonimia yang berarti ’perpindahan nama’
atau ’suatu kata mendapat arti yang berasal dari arti kata lain’ banyak ditemukan
dalam puisi Aceh.”
5)
Personifikasi
Menurut Harun
(2012: 311), ia menyatakan bahwa ”Personifikasi merupakan salah satu gaya
bahasa yang paling banyak digunakan dalam karya sastra, bahkan dalam kehidupan
sehari-hari. Gaya bahasa ini berusaha mengestetiskan komunikasi dengan cara
meng-’insan’-kan benda-benda atau memperlakukan benda sebagai manusia; berbuat
atau bekerja sebagaimana layaknya manusia.”
6)
Hiperbola
Menurut Harun
(2012: 313), ia menyatakan bahwa ”Gaya bahasa hiperbola adalah kiasan yang
berusaha membesar-besarkan sesuatu sehingga diperoleh efek tertentu yang diinginkan
oleh penyair. Gaya bahasa ini sering digunakan dalam puisi untuk melukiskan
suatu kemenangan, kekalahan, kesedihan,dan duka lara.”
8.
Metode Penelitian
8.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif
yang bersifat deskriptif, karena data hasil penelitian berbentuk penjelasan atau
deskripsi yaitu berupa data-data hasil penelitian secara aktual, artinya data
yang akan dianalisis merupakan hasil penelitian saat ini, bukan penelitian
terdahulu atau masa yang akan datang.
Menurut Kutha Ratna (2009: 47),
ia mengungkapkan bahwa ”Pendekatan
kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah yaitu data dalam
hubungannya dengan konteks keberadaannya. Objek penelitian bukan gejala sosial
sebagai bentuk substantif melainkan makna-makna yang terkandung dibalik
tindakan yang justru mendorong timbulnya gejala sosial tersebut. Dalam hubungan
inilah pendekatan kualitatif dianggap sama dengan pemahaman. Sesuai dengan
namanya, pendekatan ini mempertahankan nilai-nilai sehingga pendekatan ini
dipertentangkan dengan pendekatan kualitatif yang berarti bebas nilai”.
Jenis
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah hermeneutik. Penggunaan jenis ini
dianggap tepat karena peneliti mengungkapkan bahasa figuratif yang terdapat dalam Syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci
Syuruga karya Z. A. Mohd. Amin. Menurut Endraswara (2003: 42), ia menyatakan bahwa ”Studi sastra mengenal hermeneutik
sebagai tafsir sastra. Hermeneutik merupakan sebuah paradigma
yang berusaha menafsirkan teks atas dasar logika linguistik, yang akan dapat
membuat penjelasan teks sastra dan pemahaman makna dengan menggunakan makna
kata dan selanjutnya makna bahasa. Makna kata lebih berhubungan dengan konsep
semantik teks sastra dan makna bahasa lebih bersifat kultural. Makna kata akan
membantu pemahaman makna bahasa. Oleh karena itu, dari kata-kata akan tercermin
makna kultural teks sastra”.
8.2 Data dan Sumber Data
Data dalam penelitian ini
adalah berbagai bahasa figuratif yang terdapat dalam Buku Syair
Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga karya Z. A. Mohd. Amin. yaitu pada judul Bahaya Siribee dan Wafeuet
Bungong Syuruga halaman 27 sampai 108. Sedangkan sumber data penelitian adalah Buku Syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga karya Z. A. Mohd. Amin.
8.3 Teknik Pengumpulan Data
Langkah-langkah pengumpulan data dalam
penelitian hermeneutik ini adalah sebagai berikut :
1)
Peneliti membaca Syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci
Syuruga karya Z. A. Mohd. Amin. yaitu pada judul Bahaya Siribee dan Wafeuet Bungong Syuruga halaman 27 sampai 108.
2)
Peneliti mencari
data-data berupa bahasa figuratif yang terdapat dalam Syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci
Syuruga karya Z. A. Mohd. Amin. yaitu pada judul Bahaya Siribee dan Wafeuet Bungong Syuruga halaman 27 sampai 108.
3)
Peneliti mengelompokkan
data-data tersebut sesuai dengan jenis bahasa figuratifnya masing-masing.
4)
Peneliti menguraikan
data-data tersebut, memahaminya lalu menganalisis penggunaan bahasa figuratif
dalam syair tersebut serta menyimpulkannya.
8.4 Teknik Analisis Data
Data dalam penelitian ini diolah dengan menggunakan teknik analisis secara
kualitatif yaitu menganalisis bahasa figuratif dalam Syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci
Syuruga karya Z. A. Mohd. Amin. Menurut penjelasan
Sugiono (2009: 337), ia mengungkapkan bahwa ”Analisis data
dalam penelitian kualitatif dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung
dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu”.
Data tersebut dianalisis dengan menggunakan teori Miles dan
Huberman. Miles dan Huberman (Sugiono 2009: 337), mengemukakan bahwa ”Aktifitas dalam analisis kualitatif
dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus sampai tuntas
sehingga datanya sudah jenuh. Aktifitas dalam analisis data yaitu mereduksi
data, menyajikan data dan menyimpulkan data”.
Adapun langkah-langkah yang ditempuh
dalam pengolahan data adalah mengolah data menurut jenisnya, menganalisis penggunaan
bahasa figuratif dan menyimpulkannya.
1)
Mereduksi
data
Tahap
mereduksi data mulai dilakukan melalui proses penyeleksian, identifikasi dan
pengklasifikasian. Penyeleksian dan pengidentifikasian merupakan kegiatan untuk
menyeleksi dan mengidentifikasi data-data pada kategori jenis bahasa figuratif
yang terdapat dalam
Syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci
Syuruga karya Z. A. Mohd. Amin. yaitu pada judul Bahaya Siribee dan Wafeuet Bungong Syuruga halaman 27 sampai 108. Tahap pengklasifikasian
merupakan proses yang dilakukan untuk mengklasifikasikan data, memilih data dan
mengelompokkan data.
2)
Menyajikan
Data
Menyajikan
Data merupakan
kegiatan pengelompokkan data melalui tahap reduksi data pada kategori jenis
bahasa figuratif yang terdapat
dalam Syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk
Kunci Syuruga karya Z. A.
Mohd. Amin. yaitu pada
judul Bahaya Siribee dan Wafeuet Bungong Syuruga halaman 27
sampai 108.
3)
Menarik
Simpulan
Menarik
simpulan dilakukan setelah mengikuti dua tahap. Simpulan ditarik setelah data
disusun dan diperiksa kembali. Selanjutnya, didiskusikan dengan pembimbing.
Setelah proses ini dilalui, hasil akhir penelitian analisis bahasa figuratif dalam
Syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga karya Z. A. Mohd. Amin. lalu disajikan dalam bentuk laporan penelitian.
8.5
Pengecekan Keabsahan Data
Pemeriksaan terhadap keabsahan data
merupakan salah satu bagian yang penting di dalam penelitian kualitatif, yaitu
untuk mengetahui derajat kepercayaan dari hasil penelitian yang telah
dilakukan. Apabila peneliti melaksanakan pemeriksaan terhadap keabsahan data
secara cermat dan menggunakan teknik yang tepat, maka akan diperoleh hasil
penelitian yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan dari berbagai segi.
Keabsahan data dalam penelitian ini diperiksa dengan teknik triangulasi
dan uraian rinci. Moleong (2010: 330), menjelaskan bahwa ”Teknik triangulasi adalah teknik
pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu
untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Di mana
dengan triangulasi peneliti dapat me-recheck hasil temuannya
dengan jalan membandingkannya dengan berbagai sumber, metode atau teori”.
Sedangkan ”Teknik uraian rinci merupakan teknik yang menuntut
peneliti untuk menguraikan secara khusus sekali segala sesuatu yang dibutuhkan
oleh pembaca agar ia dapat memahami temuan-temuan yang diperoleh. Temuan
itu tentunya bukan bagian dari uraian rinci melainkan penafsiran yang dilakukan
dalam bentuk uraian rinci berdasarkan data yang diperoleh” (Moleong, 2010: 337).
Maka, jelas bahwa melalui triangulasi dan uraian rincilah
keabsahan data tentang bahasa figuratif yang terdapat dalam Syair
Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga karya Z. A. Mohd. Amin. dapat
dibuktikan keabsahan datanya.
8.6
Tahap-tahap Penelitian
Adapun tahap-tahap yang dilaksanakan
dalam jenis penelitian hermeneutik ini adalah:
1)
Tahap Persiapan
Dalam
tahap persiapan penelitian ini, kegiatan yang dilakukan oleh peneliti adalah
membaca buku Syair Aceh Rangkaian Kisah
Aneuk Kunci Syuruga karya Z. A. Mohd.
Amin. yaitu pada judul Bahaya
Siribee dan Wafeuet Bungong Syuruga halaman
27 sampai 108.
2)
Tahap
Pelaksanaan
Dalam
tahap ini,
peneliti mengelompokkan data berdasarkan jenis bahasa figuratif yang terdapat
dalam Syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk
Kunci Syuruga karya Z. A. Mohd. Amin.
yaitu pada judul Bahaya Siribee
dan Wafeuet Bungong Syuruga halaman
27 sampai 108.
3)
Tahap
Observasi
Observasi
ini dilakukan dengan tujuan agar memperoleh informasi yang lebih mendalam
tentang data berupa jenis bahasa figuratif yang terdapat dalam Syair Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci
Syuruga karya Z. A. Mohd. Amin. yaitu
pada judul Bahaya Siribee dan Wafeuet Bungong Syuruga halaman 27
sampai 108.
4)
Tahap
Refleksi
Dalam tahap refleksi, yang dilakukan peneliti adalah menganalisis data-data yang
diperoleh dalam Buku Syair
Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga karya Z. A. Mohd. Amin.
lalu menganalisis jenis bahasa figuratif dan disimpulkan.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Z. A. Mohd. 1986. Syair
Aceh Rangkaian Kisah Aneuk Kunci Syuruga. Geudong Bireuen: TB Gali.
Annisatul khoeriyah. http://rumoehcae.wordpress.com/karya-sastra-aceh/.
Diakses pada tanggal 27 Agustus 2013.
Endraswara,
Suwardi. 2003. Metodologi
Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Caps.
Harun, Mohd. 2012. Pengantar
Sastra Aceh. Banda Aceh: Cita Pustaka Media Perintis.
Kutha Ratna,
Nyoman. 2010. Teori,
Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Denpasar: Pustaka Pelajar.
Moleong, Laxy J. 2010. Metodologi Penelitian
Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Panitia Penyusun. 2013. Pedoman Penulisan Skripsi. Matangglumpangdua: FKIP Universitas Almuslim.
Redaksi, Tim.
2010. Kamus Dwibahasa Indonesia Aceh. Banda Aceh: Pena.
Sugiono. 2010. Metode
Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Wildan. 2010. Kaidah
Bahasa Aceh. Banda Aceh: Geuci.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar