BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Sastra adalah hasil karya
cipta manusia yang dituangkan melalui bahasa, baik sastra tulisan maupun sastra
lisan. Sastra lisan merupakan sastra yang terus berkembang dalam konteks
kehidupan masyarakat itu sendiri sebagai pengguna sastra lisan tersebut. Sejalan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin jauh pula tonggak
perjalanan sastra tersebut, bahkan tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan sastra
lisan Aceh seperti mengalami problematika tersendiri. Meskipun pada kenyataannya sejarah kesusastraan
di Aceh sudah lama ada dan mengakar dalam kehidupan masyarakat Aceh.
Salah satu sendi dari sastra lisan
Aceh adalah pantun atau pantôn dalam bahasa Aceh. Ketika berbicara tentang pantun, yang terlintas
dipikiran seseorang adalah bahwa pantun merupakan rentetan kata yang disusun
rapi oleh penyair yang memiliki maksud tertentu dan memiliki kesatuan makna
tersendiri serta bersajak akhir ab-ab. Tapi sayangnya dewasa ini, pantun sudah
jarang diminati oleh masyarakat.
Sebenarnya jika dilihat lebih
dalam, pantun tidak hanya sebuah karya sastra lisan Aceh yang untuk sebagian
daerah menganggapnya tabu tapi pada kenyataannya ada juga sebagian dari
masyarakat Aceh yang masih mengindahkan sebuah karya sastra yang berlebel
pantun. Pantun yang memiliki bentuk dan dengan isi yang berciri khas tersendiri
mampu membuatnya berbeda dari sastra-sastra lain pada umumnya. Pantun memiliki
banyak jenisnya, salah satunya ialah pantun yang digunakan pada acara pasta
perkawinan yang disebut dengan istilah meutaléh pantôn (dalam bahasa Aceh) yang
memiliki arti berbalas pantun (dalam bahasa Indonesia).
Meutaléh pantôn (berbalas
pantun) pada acara pesta perkawinan tidak hanya dipandang dari segi sastranya
melainkan juga didukung oleh adat dan budaya di suatu daerah yang tersebar di
Aceh. Dulu, adat meutaléh pantôn (berbalas pantun) sudah menjadi adat dan
tradisi masyarakat Aceh. Tapi, sayangnya dewasa ini adat yang dulu telah
mendarah daging sudah tidak lagi diindahkan oleh sebagian masyarakat Aceh. Hanya beberapa daerah di Aceh yang masih dijumpai
adat dan nilai budaya tinggi tentang kegiatan meutaléh pantôn pada acara pesta
perkawinan. Hal ini merupakan suatu tradisi yang harus selalu diindahkan dan
dilaksanakan demi mencapai kekhidmatan dalam acara pesta perkawinan. Jika ada
acara pesta perkawinan, maka daerah yang memiliki adat meutaléh pantôn akan
melaksanakan kegiatan berbalas pantun ketika mempelai laki-laki (lintô barô)
sampai di rumah mempelai wanita (dara barô). Pantun yang digunakan dalam
kegiatan meutaléh pantôn disebut dengan istilah pantôn seumapa.
Orang yang biasa melakukan
kegiatan meutaléh pantôn memang merupakan orang yang sudah mahir dalam hal ini.
Tapi, bukan berarti orang yang berbalas pantun tersebut pada saat kegiatan
meutaléh pantôn membawa teks pantun tersebut, keduanya
juga tidak saling sepakat tentang pantun yang akan diajukan dan yang akan
dibalas, bahkan mereka pun tidak saling mengenal. Sebaliknya, keduanya mampu
bekerja sama untuk menyukseskan kegiatan meutaléh pantôn
tersebut.
Pantôn seumapa merupakan
pantun yang disampaikan oleh pihak lintô barô dan pihak dara barô pada prosesi
perkawinan. Ketika rombongan mempelai lintô barô sampai di depan rumah mempelai
dara barô, pihak dari lintô barô menyapa pihak dara barô sebagai tuan rumah dengan
maksud menyatakan bahwa rombongan lintô barô sudah sampai. Lalu, dijawab oleh
pihak dara barô, tidak kalah dari pihak mempelai wanita, pihak mempelai laki-laki
pun membalas pantun yang diajukan, kegiatan ini terus berlangsung dengan begitu
seru dan penuh tantangan yang harus diselesaikan oleh pihak mempelai laki-laki.
Sebelum pihak mempelai laki-laki (lintô barô) dinyatakan ”menang” oleh pihak
mempelai wanita dalam hal berbalas pantun, mereka tidak dibenarkan masuk ke
wilayah rumah mempelai wanita (dara barô).
Pada masa tradisi ini masih
dijunjung tinggi, banyak pihak lintô barô yang kalah harus kembali ke kampung
halaman karena pernikahan dibatalkan. Namun, meskipun tradisi berbalas pantun
masih ada di daerah tertentu saat ini, hal tersebut hanya
dilakukan sebagai syarat adat saja. Pantôn seumapa yang dilontarkan oleh kedua
belah pihak mempelai dimodifikasi sesuai dengan konteks pesta perkawinan, hal
ini dilakukan agar terciptanya keselarasan antara tuan rumah dengan kondisi
saat berlangsungnya acara pesta tersebut.
Jika ditelusuri lebih jauh tentang isi yang terkandung
dalam pantun ketika kegiatan meutaléh pantôn ternyata sangatlah unik dan mengandung makna
yang mendalam dari setiap larik pantun tersebut. Mulai dari dua baris pertama
(sampiran) dan dua baris terakhir (isi) yang merupakan konsep terbentuknya
sebuah karya sastra lisan Aceh yaitu pantôn.
Dari uraian pada latar
belakang masalah yang telah penulis kemukakan di atas, maka penulis tertarik
untuk mengadakan penelitian. Adapun judul penelitian ini adalah ”Analisis Isi
Pantun dalam Kegiatan Meutaléh Pantôn pada Acara Pesta Perkawinan di Kota Lhokseumawe”.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di
atas, yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah isi pantun dalam meutaléh pantôn pada acara pesta perkawinan di
Kota
Lhokseumawe?
1.3
Tujuan
Penelitian
Sehubungan dengan rumusan
masalah di atas, yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan
mendeskripsikan data tentang isi pantun dalam meutaléh pantôn pada acara pesta perkawinan di
Kota
Lhokseumawe.
1.4
Manfaat
Penelitian
Berdasarkan uraian permasalahan dan tujuan penelitian yang telah dikemukakan
di atas, penelitian ini mempunyai dua manfaat yaitu secara teoretis dan
praktis.
Secara teoretis, hasil
penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran dan memberi
konstribusi menyeluruh sehingga dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan
tentang isi pantun dalam meutaléh pantôn pada acara pesta perkawinan di Kota Lhokseumawe.
Selanjutnya, secara praktis
hasil penelitian ini bermanfaat bagi peneliti untuk menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan tentang isi pantun dalam meutaléh pantôn pada acara pesta
perkawinan di Kota
Lhokseumawe dan untuk lebih
memotivasi potensi yang ada dalam diri peneliti.
Sedangkan, bagi mahasiswa lain dapat memberi informasi empiris dan
pendalaman ilmu serta pengetahuan mengenai bidang kesusastraan, sehingga akan
memotivasi untuk lebih mencintai karya sastra lisan berbentuk pantun.
1.5
Ruang
Lingkup Penelitian
Penelitian ini tentang isi
pantun dalam meutaléh pantôn pada acara pesta perkawinan di
Kota Lhokseumawe.
Mengingat cakupan lokasi penelitian terlalu luas, maka peneliti membatasi
masalah ini pada isi pantun dalam meutaléh pantôn pada acara pesta perkawinan di
Desa Batuphat Barat, Komplek PT Arun
Kecamatan Muara
Satu Kota
Lhokseumawe.
1.6
Definisi
Operasional
Untuk menyamakan pemahaman antara peneliti dengan pembaca, maka perlu
dijelaskan istilah-istilah sebagai berikut :
1)
Analisis
adalah proses penguraian/pembahasan
terhadap suatu permasalahan yaitu tentang isi pantun dalam meutaléh pantôn pada acara pesta perkawinan di
Kota
Lhokseumawe untuk diketahui dan ditemukan inti permasalahan lalu
disimpulkan.
2)
Isi pantun adalah sesuatu yang mengandung makna/maksud dari ucapan yang
bersajak yang terdiri atas empat baris satu larik.
3)
Meutaléh
pantôn adalah sebuah kegiatan yang diberi lebel oleh masyarakat Aceh yang memiliki arti berbalas
pantun.
4)
Acara pesta perkawinan adalah
sebuah ritual yang dilakukan oleh kedua belah pihak, baik pihak mempelai wanita
(dara barô)
maupun pihak
mempelai laki-laki (dara barô) berdasarkan kebudayaan di suatu
daerah yang bersangkutan.
BAB II
LANDASAN TEORETIS
2.1
Pengertian Pantun
Pantun adalah
puisi melayu asli yang sudah mengakar lama dalam budaya masyarakat. Pantun merupakan
salah satu jenis karya sastra lama. Lazimnya pantun hanya terdiri atas 4 larik
(baris) bersajak ab-ab dan aa-aa. Pada awal mulanya pantun merupakan sastra
lisan, tapi kini pantun juga ada dalam bentuk tulisan. Keseluruhan bentuk
pantun hanyalah berupa sampiran dan isi. Sampiran terletak pada baris pertama
dan kedua dan biasanya tidak berhubungan secara langsung dengan bagian kedua. Baris
ketiga dan keempat ialah bagian isi yang merupakan tujuan dari puisi tersebut.
Rizal
(2010 : 12), mengemukakan bahwa ”Pantun merupakan puisi asli anak Indonesia dan bangsa-bangsa
serumpun Melayu (Nusantara), milik budaya bangsa. Bersajak akhir dengan pola
ab-ab yang mana terdiri dari empat baris, dua baris pertama merupakan sampiran
atau bayangan dan dua baris terakhir sebagai isi pantun atau maksud. Sampiran
memiliki fungsi estetik untuk mengantarkan isi (makna/maksud)”. Maksud dari
pernyataan di atas menjelaskan bahwa pantun adalah sebuah puisi asli Indonesia yang bersajak akhir
ab-ab dan tersusun atas sampiran dan isi. Sampiran dari setiap larik pantun
berfungsi sebagai keindahan serta sebagai pembuka isi pantun.
Kosasih (2008 :
17), mengemukakan bahwa ”Pantun merupakan puisi lama yang terikat oleh berbagai
ketentuan, seperti banyaknya larik setiap bait, banyaknya suku kata dalam
setiap larik atau pola rimanya. Ketentuan-ketentuan tersebutlah yang membedakan
pantun dengan puisi lama lainnya”.
Maksud dari uraian di atas menjelaskan bahwa pantun
merupakan sebuah bentuk puisi lama yang tersusun berdasarkan kriteria tertentu,
misalnya larik setiap bait, suku kata yang digunakan dan pola rima atau sajak
akhirnya. Hal tersebutlah yang membedakan pantun dengan bentuk puisi lama lainnya.
Fang
(Harun, 2012 : 164), mengungkapkan bahwa ”Pantun
adalah senandung atau puisi rakyat yang dinyanyikan”. Maksud dari pernyataan Fang
di atas adalah pantun merupakan sebuah puisi rakyat yang dilantunkan atau
dinyanyikan.
Berdasarkan beberapa pendapat pakar di atas, yang
menjelaskan tentang pengertian pantun, maka dapat disimpulkan bahwa pantun merupakan sebuah karya sastra
lama yang berbentuk lisan dan dilantunkan yang terdiri atas empat larik, yaitu
atas delapan sampai dua belas suku kata dan bersajak akhir dengan pola aa-aa
dan ab-ab serta baris pertama dan kedua merupakan sampiran sedangkan baris
ketiga dan keempat ialah isi.
2.2
Ciri-ciri Pantun
Pantun yang merupakan sebuah karya
sastra lisan, memiliki ciri tersendiri yang mampu membedakannya dengan sastra
lisan lain. Ciri tersebut merupakan sesuatu yang harus ada dan membangun sebuah
sastra lisan yang berlebel pantun. Tanpa ciri-ciri atau kriteria-kriteria itu,
maka sastra lisan tersebut tidaklah dinamakan dengan pantun. Ciri utama dari
pantun adalah
bersajak akhir dengan ab-ab atau aa-aa dan dua baris pertama disebut sampiran
sedangkan dua baris terakhir merupakan isi.
Rizal (2010 : 14), mengemukakan bahwa ”Pantun adalah bentuk puisi yang
mempunyai ciri-ciri tersendiri,” yaitu sebagai berikut :
1)
Setiap baris terdiri dari 8-12 suku kata.
2)
Setiap bait terdiri dari 4 baris.
3)
Setiap bait paling banyak terdiri dari 4 kata.
4)
Baris pertama dan kedua dinamakan sampiran.
5)
Baris ketiga dan keempat dinamakan isi.
6)
Mementingkan rima akhir dan rumus rima itu ialah
ab-ab, maksudnya bunyi akhir baris pertama sama dengan bunyi akhir baris ketiga
dan baris kedua sama dengan baris keempat.
Kosasih (2008 : 18), mengemukakan bahwa ”Pantun merupakan puisi yang
memiliki ketentuan-ketentuan tersendiri,” yaitu sebagai berikut :
1)
Terdiri
atas empat baris.
2)
Setiap
baris terdiri atas 8 sampai 12 suku kata.
3)
Dua
baris pertama merupakan sampiran dan dua baris berikutnya merupakan isi pantun.
4)
Pantun
mementingkan rima akhir dengan pola a-b-a-b dan a-a-a-a. Bunyi
akhir baris pertama sama dengan bunyi akhir baris ketiga dan baris kedua sama
dengan bunyi akhir baris keempat.
Harun (2012 : 167), menyatakan
bahwa ”Ada hal-hal yang paling mendasar yang harus diperhatikan oleh para
penggubah pantun Aceh,” yaitu :
1)
Keharmonisan bunyi, yaitu buhu (ritma) dan pakhôk
(rima).
2)
Persajakan akhir yang padu (bersajak ab-ab).
3)
Dilengkapi dengan persajakan akhir-tengah (rima zig-zag).
Berdasarkan pendapat Rizal dan
Kosasih di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pantun memiliki ciri-ciri tersendiri yaitu terdiri atas empat larik
(empat baris bila dituliskan), setiap baris terdiri dari delapan sampai dua
belas suku kata, bersajak akhir dengan pola aa-aa dan ab-ab, terdiri atas sampiran
dan isi, yaitu baris pertama dan kedua merupakan sampiran dan baris ketiga dan
keempat merupakan isi, setiap
sampiran dan isi di baris pertama, kata pertama ditulis dengan huruf kapital dan di baris kedua, kata pertama ditulis dengan huruf kecil.
Berdasarkan pendapat Harun,
jelas bahwa pantun khususnya pantun Aceh memiliki ciri yang juga hampir sama
dengan pantun Melayu, hanya saja pantun Aceh lebih menekankan kepada
keharmonisan bunyi dan persajakannya.
2.3
Jenis-jenis Pantun
Pantun
yang merupakan sebuah karya sastra lisan juga memiliki jenis-jenis tersendiri.
Secara umum pantun tersebut terbagi berdasarkan bentuk dan isinya. Dari kedua
pembagian tersebut, pantun terbagi lagi ke dalam beberapa penggolongan yang
lebih khusus lagi.
Rizal (2010 : 16), mengemukakan bahwa ”Pantun
Melayu terbagi
berdasarkan bentuk
dan isinya”.
1)
Berdasarkan bentuknya, pantun Melayu terbagi
atas :
(1) Pantun
Biasa
Pantun
biasa adalah pantun yang bercirikan bersajak ab-ab, tiap bait empat baris yang
terdiri dari 8-12 suku kata, terbagi atas dua bagian yaitu dua baris pertama
disebut sampiran dan dua baris terakhir disebut isi, dan dapat selesai dalam
satu bait (Rizal, 2010 : 16).
Contoh :
Anak orang seberang Padang
sembahyang subuh tinggi hari
Kami ibarat kapal terbang
habis bensin jatuh ke bumi
(Rizal, 2010 : 17)
(2)
Pantun Seloka (Pantun Berkait)
Seloka
adalah pantun berkait yang tidak cukup terdiri dari satu bait saja, karena antara
bait yang satu dengan yang lainnya memiliki perkaitan yaitu baris kedua dan
keempat pada bait pertama dipakai kembali pada baris pertama dan ketiga di bait
kedua dan seterusnya (Rizal, 2010 : 19).
Contoh :
Bunga melur cempaka biru
bunga rampai di dalam puan
Tujuh malam semalam rindu
belum sampai padamu tuan
Bunga rampai di dalam puan
ruku-ruku di peringgi
Belum sampai padamu tuan
rindu saya bukan sedikit
(Rizal, 2010 : 19)
(3)
Talibun
Talibun
adalah pantun yang jumlah barisnya lebih dari 4 baris dan satu bait pantun
talibun jumlah barisnya selalu genap misalnya 6, 8, 10 dan seterusnya, terdiri
dari dua bagian yaitu sampiran dan isi, jika satu bait berisi 6 baris, maka 3
baris pertama ialah sampiran dan 3 baris sisanya ialah isi, sedangkan untuk
sajaknya menjadi a-b-c-a-b-c (Rizal, 2010 : 18).
Contoh pantun talibun 6 baris:
Kalau anak pergi ke lapau
hiyu beli belanak beli
ikan panjang beli dahulu
Kalau anak pergi merantau
ibu cari sanak pun cari
induk senang cari dahulu
(Harun, 2012 : 170)
(4)
Pantun Kilat (Karmina)
Karmina
adalah pantun yang terdiri atas dua baris, baris pertama merupakan sampiran dan
baris kedua merupakan isi (Kosasih, 2008 : 19).
Dalam
penulisannya terdapat dua pendapat dalam menulis pantun ini, ada yang menulis
dua baris dan ada pula yang menulisnya empat baris (Rizal, 2010 : 17).
Contoh:
Ada ubi ada talas
ada budi ada balas
Atau
Ada ubi
ada talas
Ada budi
ada balas
(Rizal, 2010 : 17)
Maka
dapat disimpulkan bahwa semua bentuk pantun terdiri atas dua bagian, yaitu sampiran dan isi. Sampiran adalah
dua baris pertama, kerap kali berkaitan dengan alam (mencirikan budaya agraris
masyarakat pendukungnya), dan biasanya tidak mempunyai hubungan dengan bagian kedua yang
menyampaikan maksud selain untuk mengantarkan rima/sajak. Dua baris terakhir merupakan isi yaitu tujuan pantun tersebut.
Karmina dan talibun
merupakan bentuk kembangan pantun, dalam artian memiliki bagian sampiran dan
isi. Karmina merupakan pantun ”versi pendek” sedangkan talibun adalah ”versi
panjang”.
2)
Berdasarkan
isinya, pantun Melayu terbagi atas :
(1) Pantun Anak-anak
Pantun
anak-anak adalah pantun yang digunakan dikalangan anak-anak.
Pantun
anak-anak terbagi dua, yaitu :
a)
Pantun Bersuka Cita
Contoh :
Elok rupanya si kumbang jati
dibawa itik pulang petang
Tidak terkata besar hati
melihat ibu sudah datang
(Rizal, 2010 :
24)
b)
Pantun Teka-teki
Contoh :
Berlayar biduk ke Malaka
menyebar jala di pagi hari
Wahai kawan cobalah terka
binatang apa tanduk di kaki
(Rizal, 2010 : 24)
c)
Pantun
Berduka Cita
Contoh :
Tanam bayam sambil duduk
tanam di dekat pinggir paya
Lihatlah ayam tak berinduk
begitu macam untung saya
(Rizal, 2010 : 26)
(2)
Pantun Muda (Remaja)
Pantun muda
(remaja) adalah pantun yang sering digunakan dalam kalangan remaja. Pantun ini
ada lima, yaitu :
a)
Pantun Dagang
Contoh :
Meninjau padilah masak
batang kapas bertimbal jalan
Hati risau dibawa gelak
bagai panas mengandung hujan
(Rizal, 2010 : 27)
b)
Pantun Perkenalan
Contoh :
Hilir raga mudik pun raga
singgah sebentar di kuala Jangkal
Abang muda adikpun muda
apa salahnya kita mengenal
(Rizal, 2010 : 29)
c)
Pantun Berkasih-kasihan
Contoh :
Kain batik bersegi lima
basah kuyup ditimpa embun
Kasih tuan kami terima
menjadi hutang beribu
tahun
(Rizal, 2010 : 31)
d)
Pantun Perceraian
Contoh :
Dua tiga kucing berlari
tidak serupa si kucing belang
Dua tiga dapat dicari
tidak serupa dengan yang hilang
(Rizal, 2010 : 32)
e)
Pantun Nasib
Contoh :
Manis tebunya orang Singgalang
dimasak orang di hari senja
Benang sehelai tidak menenggang
sedang diperlu putus pula
(Rizal, 2010 : 34)
(3) Pantun
Jenaka
Pantun jenaka merupakan pantun yang digunakan untuk
bersenda gurau, baik dikalangan anak-anak ataupun remaja.
Contoh :
Dua sejoli burung merpati
terbang sekawan melayang-layang
Orang hitam giginya putih
mulutnya bau gorengan pisang
(Rizal, 2010 : 35)
(4) Pantun Orang
Tua
Pantun orang
tua ialah pantun yang digunakan dikalangan orang tua.
Pantun
orang tua terbagi tiga, yaitu :
a)
Pantun Nasihat
Contoh
:
Hati-hati
menyeberang
jangan sampai titian patah
Hati-hati dirantau orang
jangan sampai berbuat salah
(Rizal, 2010 : 37)
b)
Pantun Adat
Contoh
:
Kayu hutan bukan
andalas
baik dibuat untuk lemari
Mau berhujan tahan panas
begitu orang cari rezeki
(Rizal, 2010 : 38)
c)
Pantun Agama
Contoh :
Kemumu di dalam semak
jatuh melayang selaranya
Meski ilmu setinggi tegak
tidak sembahyang apa gunanya
(Rizal, 2010 : 40)
Harun (2012 : 168), menyatakan bahwa ”Ditinjau dari karakteristiknya, pantun Aceh dapat
didekati dari dua sisi, yaitu sisi bentuk dan sisi isi atau makna yang
dikandungnya”. Kedua sisi tersebut adalah sebagai berikut :
1)
Pantun Aceh
Menurut Jumlah Barisnya
Dilihat dari jumlah baris sebait,
bentuk pantun dapat dikelompokkan ke dalam enam golongan, yaitu :
(1)
Pantun Dua
Belas Baris Sebait
Zainuddin (Harun, 2012 : 169),
menjelaskan bahwa ”Pantun dua belas baris sebait
disebut dengan haba mealeuet karena di dalamnya terdapat ibarat dan
falsafah untuk mengingatkan manusia”.
Contohnya :
Beurangkapeue buet han lé asé
Takeumawé putôh taloe
Tateumeutak patah parang
Tameulayang putôh taloe
Taceumeulho patah tungkat
Taseumurat kuweut jaroe
Tateumeucob patah jarôm
Tateumeu-‘ôm tutông asoe
Tajeumeurang tiréh jalô
Tageumarô luka asoe
Tameurusa beukah aréng
Tajeumaréng putôh kandoe
(Harun, 2012 : 169)
(2)
Pantun Delapan
Baris Sebait
Zainuddin (Harun, 2012 : 169),
menjelaskan bahwa ”Meskipun pantun delapan baris sebait tidak bersajak
akhir (pakhôk akhé) secara baik, pantun ini memiliki persajakan zig-zag
yang bagus”.
Contohnya :
Kamoe geumeuniet lantui
Watèe geungui saja meulia
Ngön lheueh geuplah kayèe
Dalam abèe geugeulawa
‘Oh geumublang sabé geu-urôh
Watèe keumeukoh kayèm geumaba
Ngön lheueh jiwoe padé lam krông
Tob keukubông boh-boh muka
(Harun, 2012 : 169)
(3)
Pantun Enam
Baris Sebait
Zainuddin (Harun, 2012 : 170),
menyatakan bahwa ”Pantun enam baris sebait banyak juga ditemukan dalam
kehidupan masyarakat Aceh. Pantun ini menggunakan persajakan ab-ab-ab”.
Contohnya :
Adie-adie di Peukan Pidie
Aneuk keudidi dicoh-coh boh nga
Ija di Aceh jarom di Pidie
Han ék lôn geunyie ija krông sutra
Ija peulangi binèh meugeunyie
Kasab meugeutie meujampu sutra
(Harun, 2012 : 170)
(4)
Pantun Empat
Baris Sebait
Harun (2012 : 170), menjelaskan
bahwa ”Pantun empat baris sebait memiliki pola yang sama dengan
pantun Melayu. Ciri utama dari pantun ini adalah pemakaian rima akhir ab-ab dan
memperhatikan persajakan zig-zag yaitu rima akhir-tengah-akhir-tengah yang
bersajak aa-aa, maksudnya terdapat persajakan akhir baris pertama dengan tengah
baris kedua; persajakan tengah baris kedua dengan akhir baris ketiga dan akhir
baris ketiga dengan pertengahan baris keempat”.
Contohnya :
Bak ie raya bèk tabôh ampéh
Bak ie tiréh bèk tatheun bubèe
Bèk tameurakan deungön sipaléh
Hareuta abéh geutanyoe malèe
(Harun, 2012 : 171)
(5)
Pantun Tiga
Baris Sebait
Harun (2012 : 171), menjelaskan
bahwa ”Dalam kesusasteraan Aceh terdapat pantun tiga baris
sebait. Dilihat dari karakteristik persajakannya, pantun tersebut dapat
digolongkan ke dalam bentuk pantun. Persajakan akhir pun beragam, ada yang
berpola a-b-a, a-a-a, a-a-b dan a-b-c. Meskipun terdapat keanekaragaman rima
tetapi jika dioralkan, pantun tersebut akan melahirkan bunyi ritmis yang padu,
disebabkan karena adanya bunyi vokal yang sama (repetisi) antara baris yang
satu dengan yang lainnya. Hal ini memang berbeda jauh dengan ciri pantun dalam
kesusasteraan Melayu yang tidak mengenal bentuk pantun yang jumlah barisnya
ganjil”.
Contohnya :
Tacok pineung ruek
Peuduek pineung teucang
Neubayeue utang malam ka jula
(Harun, 2012 : 172)
(6)
Pantun Dua
Baris Sebait
Harun (2012 : 172), menyatakan
bahwa ”Pantun dua baris sebait dalam sastra Aceh sangat banyak
jumlahnya. Sebagian diantaranya ada yang bersajak akhir a-a dan ada juga yang bersajak akhir a-b.
Dalam khasanah sastra Melayu, jika
sebuah pantun bersajak akhir a-a maka disebut pantun kilat. Namun, dalam
kesusasteraan Aceh meskipun bersajak akhir a-b pantun tersebut dapat
digolongkan ke dalam pantun kilat karena terdapat harmoni persajakan akhir-tengah
(internal)”.
Contohnya :
Peue guna tasibu bak kayèe maté
Peue guna tapiké kalheueh keureuja
(Harun, 2012 : 173)
2)
Pantun Aceh
Menurut Isinya
Berdasarkan isi yang
dikandungnya, pantun Aceh dapat dikelompokkan ke dalam sebelas jenis, yaitu
sebagai berikut :
(1) Pantun Agama
Harun (2012 : 174), menyatakan
bahwa ”Orang Aceh dikenal sebagai salah satu suku yang gemar
berpantun, salah satu bentuk pantun tersebut adalah pantun agama yang dikemas
menjadi ungkapan bijak. Pantun ini mengandung ajaran agama yang kebanyakan
isinya disampaikan secara tidak langsung atau tersirat”.
Contohnya :
Ayah ngön bunda
keulhèe ngön gurèe
Ureueng nyan
banlhèe tapumulia
Pat-pat na
salah meu’ah talakèe
Akhirat teuntèe
han keunöng bala
(Harun, 2012 : 174)
Pantun di atas melukiskan betapa
pentingnya peran ayah, ibu dan guru dalam kehidupan manusia. Mereka adalah tiga
serangkai yang harus dimuliakan dengan derajat yang sama, tidak boleh
dibeda-bedakan.
(2)
Pantun Nasihat
Harun (2012 : 175), menyatakan
bahwa ”Pantun nasihat kebanyakan diciptakan untuk memenuhi
fungsi edukasional yaitu memberikan pengajaran kepada generasi penerus atau
kepada siapa pun yang membutuhkannya”.
Contohnya :
Bungöng rôm bungöng rihan
Bungöng peukan
nyang mangat bèe
Tameukawén
nyang sipadan
Tameurakan
nyang tôb meunalèe
(Harun, 2012 : 175)
Pantun di atas menganjurkan agar
kita menikah dan berteman dengan orang yang cocok, seimbang dan saling
menolong”.
(3) Pantun Adat
Harun (2012 : 176), menyatakan
bahwa ”Pantun adat merupakan salah satu sarana yang ampuh untuk
menanamkan nilai-nilai adat, di mana adat itu sendiri merupakan sesuatu yang
sangat dijaga oleh komunitas tertentu dan karena itu perlu dipertahankan,
termasuk mengingatkannya melalui pantun”.
Contohnya :
Adat meukoh
reubông
Hukôm meukoh purieh
Adat jeuet
barangho takông
Hukôm han jeuet barangho takieh
(Harun, 2012 : 176)
Pantun di atas memberikan
peringatan kepada generasi penerus untuk tidak mempermainkan adat
dan menjaganya dengan baik agar tidak hilang dikikis peradaban lain yang belum tentu
lebih baik.
(4)
Pantun Nasib
Harun (2012 : 176), menyatakan
bahwa ”Pantun nasib merupakan pantun yang lahir dari orang yang
merantau, orang yang ditinggal perantau atau orang tertentu yang bermaksud
melukiskan kenyataan atau menghibur hati mereka. Sebab, orang-orang tersebut
merindukan kampung halaman atau orang yang ditinggalkannya. Sehingga mereka
meratapinya atau melampiaskan rasa rindunya dengan berpantun”.
Contohnya :
Pisang brat
pisang beurangan
Makanan tok-tok
beuragoe
Meunyo löt lôn nyang biek-biek nan
Le makanan lôn di nanggroe
(Harun, 2012 : 177)
Pantun di atas melukiskan rasa
jengkel perantau yang disuguhi makanan tidak layak yang dapat yang dapat
merepresentasikan dirinya sebagai tidak berharga.
(5)
Pantun Muda
Harun (2012 : 178), menyatakan
bahwa ”Pantun muda merupakan salah satu bentuk ungkapan yang
mengandung pengajaran moral bagi orang muda. Pantun ini berisi ejekan, saran,
nasihat, dan ungkapan hati para pemuda dan gadis yang sedang tumbuh menjadi
dewasa dengan segala realitasnya”.
Contohnya :
Taék u glé
takoh beureuhôi
Uram keu tôi
ujông keu bara
Singét keupiyah
tanda lôn meuhôi
Singét
seunanggôi tanda lôn maba
(Harun, 2012 : 179)
Pantun di atas menggambarkan seorang laki-laki yang
sedang dimabuk asmara dan sudah menjurus ke making love (hasrat
bercinta).
(6)
Pantun Jenaka
Harun (2012 : 183), menyatakan bahwa
”Pantun jenaka merupakan pantun yang diciptakan para tetua untuk
menggambarkan suasana tertentu dalam masyarakat”.
Contohnya :
Mumisè lôn sangka tupè
Meujanggôt lôn sangka
udeueng
Meuseureuban lôn sangka leubè
Hana lôn thèe pancuri ureueng
(Harun, 2012 : 184)
Pantun di atas mendeskripsikan
keceriaan orang yang menuturkannya dan menimbulkan rasa senang orang yang
mendengarnya.
(7)
Pantun
Teka-teki
Harun (2012 : 184), menyatakan
bahwa ”Pantun teka-teki
merupakan pantun yang dibungkus dengan sejumlah kata yang mengandung
simbol yang rumit dan bersajak. Pantun ini berisi hal-hal yang berkenaan dengan
alam maupun mengenai sifat atau tingkah laku manusia”.
Contohnya :
Na saboh siwah
jipo u laot
Jingieng u
likot aneukjih ka na
Jijak jiwoe
eumpeuen lam reugam
Soe trôh pham
cuba bôh makna
(Harun, 2012 : 185)
Pantun di atas mendeskripsikan
tentang orang menulis (ureueng teumuléh). Di mana bentuk tangan yang
tergenggam (reugam) dilukiskan sebagai seekor burung; makanan dalam
genggaman adalah pena; anak yang dimaksud di sini adalah tulisan. Sebab orang
yang menulis, tangannya yang menggenggam pena pasti maju-mundur dan
menghasilkan tulisan.
(8) Pantun Dukacita
Harun (2012 : 185), menyatakan
bahwa ”Pantun dukacita tidak banyak ditemukan, dikarenakan
realitas sosial masyarakat Aceh yang dilarang memanfaatkan suasana duka untuk
diratapi”.
Contohnya :
Rincông peudeueng pusaka ayah
Rudôh siwah kréh ho langkah ba
Nibak udép dalam susah
Bah manoe darah bak teungoh padang
(Harun, 2012 : 186)
Pantun di atas mewakili rasa duka
yang dialami seorang pemuda Aceh setelah ditinggal pergi ayahnya dalam
menegakkan kebenaran. Simbol senjata tajam berupa rincông, peudeueng, rudôh, siwah, kréh yang
ditinggalkan sang ayah melambangkan kedukaan. Karena itu, perjuangan harus
dilanjutkan dengan senjata tersebut. Di samping untuk menegakkan kebenaran,
perjuangan ini juga dilakukan untuk menuntut ’bela’ sang ayah.
(9)
Pantun Sukacita
Harun (2012 : 186), menyatakan
bahwa ”Pantun sukacita merupakan pantun yang berisi perasaan
senang yang dirasakan oleh pihak yang menuturkan dan yang menikmati tuturan
tersebut”.
Contohnya :
Ramphak langèt
meutabu bintang
Ramphak blang
ureueng seumula
Ramphak kayèe
karna le cabeueng
Ramphak ureueng
karna le syèdara
(Harun, 2012 : 187)
Pantun di atas merupakan pantun
yang lazim digunakan pada acara pesta pernikahan. Ditujukan kepada seluruh
masyarakat agar memperbanyak keluarga melalui tali pernikahan karena semakin
banyak anggota keluarga, semakin semarak pulalah kehidupan keluarga tersebut.
Seperti yang dilukiskan dalam pantun tersebut ’semarak orang karena banyak saudara’ semisal ’semarak
langit karena bertaburan bintang’.
(10) Pantun Anak-anak
Harun (2012 : 187), menyatakan
bahwa ”Pantun anak-anak (aneuk miet) adalah pantun yang
berkenaan dengan dunia anak-anak. Di dalamnya banyak terkandung nasihat dengan
menggunakan bahasa yang puitis, ritmis dan enak didengar”.
Contohnya :
Pok-pok yé
Jak u blang,
jak u glé
Pèt boh mè
saboh karang
Pèt boh ram
saboh tangké
Nyang putik
taprom di bak
Nyang masak
tapajôh lé
(Harun, 2012 : 188)
(11) Pantun Seumapa
Harun (2012 : 191), menyatakan
bahwa ”Pantun seumapa merupakan pantun yang isinya berhubungan
dengan masalah perkawinan, yaitu pantun yang disampaikan oleh pihak lintô
barô dan pihak dara barô pada prosesi perkawinan”.
Contohnya :
Pihak lintô barô,
Assalamualaikum
lôn mubri saleuem
Keu rakan
bandum syèdara lingka
Lôn lakèe meuah bak droeneuh bandum
Kadang leupah
kheun hana seungaja
Di Gampông Blang Oi kamoe beurangkat
Meunuju meuhat
keunoe meuteuka
Lagèe meukeusud
nyang ka tahajat
Tameujak sambat
taloe syèdara
Leubèh ngön
kureueng bèk neukheun sapeue
Cit ka
neutupeue uléh syèdara
Seubab kamoe
nyoe cit ureueng dusôn
Tinggai lam
gampông jeuôh ngôn kuta
Ngön jalô puntông peungayôh patah
lôn ilah-ilah keunoe lôn teuka
Peuturôt haté sabé lam gundah
Seubab that
susah judô lôn mita
.....
Pihak dara barô,
Alaikom salam
jamèe barô trôh
Neudông neupiyôh siat di lua
Neupiyôh siat dang-dang thô reuôh
Di gampông jeuôh ban neuteuka
Ranub kuneng ôn di gampông Lamrèh
Kareueng
meucungkeh pasi Krueng Raya
Padum tréb
lawét kamoe muprèh-prèh
Uroe nyoe jadèh
syèdara teuka
Taék u glé u
Padang Kawat
Ranub meulipat
lam ija bungkôh
Neudöng di lua
neupiyôh siat
Cit meunan adat
ureueng tuha bôh
.....
(Harun, 2012 : 195)
2.4 Pengertian
Meutaléh Pantôn
Meutaléh
pantôn merupakan kegiatan yang memiliki arti berbalas pantun dalam bahasa
Indonesia. Dengan kata lain, meutaléh pantôn ialah kegiatan berbalas pantun
pada acara pesta perkawinan yang dilakukan oleh dua orang, yaitu satu orang
dari pihak mempelai lintô barô dan satu orang dari pihak mempelai dara barô.
Harun (2012 :
191), menjelaskan bahwa ”Meutaléh pantôn adalah kegiatan berbalas pantun yang
dilakukan oleh pihak mempelai lintô barô dan pihak mempelai dara barô, dengan
menggunakan pantôn seumapa”. Sejalan dengan pendapat di atas jelas bahwa
meutaléh pantôn adalah kegiatan berbalas pantun yang dilakukan antara kedua
belah pihak mempelai pengantin atau pihak dara barô dan lintô barô.
2.5 Teknik
Meutaléh Pantôn
Teknik adalah cara atau prosedur yang digunakan dalam melalukan suatu
kegiatan. Dalam meutaléh
pantôn juga ada teknik tersendiri yang dapat dilakukan agar dapat mencapai
tujuan yang diharapkan. Sehingga, kegiatan meutaléh pantôn tersebut memiliki nilai
positifnya. Harun (2012 : 191), menjelaskan bahwa ”Teknik yang digunakan dalam
meutaléh pantôn
pada acara perkawinan adalah langsung dengan bertatap muka dan secara lisan
yang dilakukan antara kedua belah pihak mempelai pengantin”. Dengan
langkah-langkah sebagai berikut :
1)
Ketika mempelai pengantin laki-laki (lintô barô) sampai,
yang menjadi syeh di pihak lintô barô menyapa pihak dara barô sebagai tuan
rumah dengan pantôn seupama melalui meutaléh pantôn.
2)
Lalu, pihak mempelai dara barô membalas pantun yang
diajukan oleh pihak lintô barô, begitu seterusnya.
3)
Pantôn seumapa yang
diajukan oleh kedua belah pihak mempelai dimodifikasi sedemikian rupa sehingga
cocok dan sesuai dengan situasi dan kondisi saat itu.
4)
Ketika pihak lintô barô dinyatakan ”menang” atau berhasil
menjawab semua pertanyaan yang diajukan dalam pantôn seumapa melalui
meutaléh pantôn,
barulah pihak mempelai lintô barô diperbolehkan masuk ke dalam rumah pengantin
dara barô.
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa teknik yang digunakan dalam
meutaléh pantôn
adalah secara lisan dan langsung bertatap muka dengan kedua belah pihak
mempelai dan syeh yang menjadi pemantun dari pihak lintô barô mulai
mengawali kegiatan meutaléh
pantôn dengan menggunakan pantôn seumapa lalu dijawab oleh pihak dara
barô dan seterusnya.
2.6
Fungsi Meutaléh Pantôn
Meutaléh
pantôn memiliki fungsi tersendiri yang dapat membuat kegiatan ini masih
memiliki nilai budaya tinggi di suatu daerah di Aceh, di mana melalui kegiatan
meutaléh pantôn
kedua belah pihak mempelai, baik dari pihak dara barô maupun pihak lintô barô dapat
saling bertegur sapa sebelum masuk ke dalam rumah mempelai dara barô. Harun
(2012 : 2, 191), menjelaskan bahwa ”Meutaléh pantôn memiliki fungsi tersendiri
yaitu sebagai alat untuk menyapa pihak dara barô sebagai tuan rumah yang
diawali oleh pihak lintô barô ketika sampai di tempat dara barô, juga sebagai
adat dan tradisi dari suatu daerah tertentu”.
Sejalan dengan pendapat di atas jelas bahwa meutaléh pantôn memiliki fungsi sebagai media
untuk saling bertegur sapa atau seumapa antara kedua belah pihak
mempelai pengantin. Selain itu, seumapa yang dilakukan dalam kegiatan meutaléh pantôn juga merupakan suatu tradisi
atau budaya yang di suatu daerah masih dilaksanakan meskipun tidak dengan
aturan yang seketat dulu.
2.7 Daya
Sugesti Pantôn Aceh
Para
menyuguh pantun berusaha memberikan dan menciptakan kesan yang mendalam dengan
pantun yang akan diucapkan. Mereka memilih kata-kata yang tepat untuk memikat
hati dan menarik perhatian para pendengar atau pembaca. Di mana, pantun yang
diucapkan mampu memberikan kesan tersendiri dan makna yang mendalam kepada para
pendengar atau pembaca.
Harun
(2012 : 203), mengungkapkan bahwa ”Kata-kata yang digunakan dalam pantun
seakan-akan memancarkan daya magis tertentu sehingga mampu menyentuh dan
membangkitkan perasaan seorang manusia”, yaitu :
1)
Perasaan Marah
Contohnya :
Ie laôt meungayak-ayak
Ie lam suwak meubura-bura
Lôn kalon gata narit that cangklak
Peuleumah bijak bak kamoe tuha
(Harun, 2012 :
203)
Dari kutipan pantun di atas, kata-kata
yang digunakan mampu membangkitkan perasaan marah pendengarnya. Dua baris
pertama yang digunakan sebagai sampiran melukiskan perumpamaan bahwa gelombang
yang terdapat dalam air suwak lebih hebat dari pada gelombang air di lautan. Padahal, suwak atau
telaga dalam kenyataannya berair tenang meskipun ada riak-riak kecil jika angin
kencang bertiup. Dua baris selanjutnya merupakan isi yang mencerminkan sikap
marah pemakai pantun yang ditujukan kepada seseorang atau sekelompok orang yang
dinilainya lancang atau memperlihatkan keangkuhan dan kesombongan.
2)
Perasaan Sedih
Contohnya :
Nibak lôn kalon dumnoe pié
Bahkeuh reulé ho langkah ba
Hantom digob na digeutanyoe
Saboh nanggroe dua raja
(Harun, 2012 :
204)
Dari kutipan pantun di atas, melukiskan rasa sedih
seorang putra mahkota yang kekuasaannya dirampas oleh saudara kandungnya.
Selain itu, pantun ini dapat juga digunakan dalam berbagai kesempatan, misalnya
untuk menyatakan situasi yang tidak baik karena terjadi perebutan kekuasaan,
jabatan, harta benda dan kekasih. Bila dibayangkan bagaimana kesedihan
seseorang yang meratapi nasibnya dengan ungkapan ’Kalau demikian keadaannya
biarlah hancur langkah bawa’. Sebab, dari pada menanggung malu dengan
keadaan yang tidak lazim, lebih baik pergi menjauh ke negeri lain atau tidak
berada lagi pada tempat yang sama dengan orang yang tidak disenangi atau orang
yang telah menghancurkan kehidupannya.
3)
Perasaan Semangat/Berani
Contohnya :
Rincông peudeueng pusaka ayah
Rudôh siwah kréh peunulang
Nibak udép dalam susah
Bah manoe darah bak teungoh padang
(Harun, 2012 : 204)
Kutipan pantun di atas menggambarkan keadaan hidup
seorang pemuda atau gadis yang merana dalam negeri yang dilanda perang. Orang
tuanya telah meninggal dalam peperangan. Ia tidak lagi memiliki siapa-siapa dan
berada dalam kemiskinan. Karena itu, dengan tekad bulat ia maju ke medan perang
membela tanah airnya tanpa takut kehilangan nyawa.
4)
Perasaan Haru
Contohnya :
Tajak u pasi tatarék pukat
Ladôm bak lamat ladôm bak kaja
Putéh tuleueng lôn di dalam jirat
Mantong teuingat keu guna gata
(Harun, 2012 : 205)
Kutipan pantun di atas mendeskripsikan bahwa adanya
ingatan seseorang yang berusaha mengenang jasa seseorang dengan penuh perasaan.
Jasa tersebut tidak bisa dilupakan sampai kapan pun. Mungkin karena seseorang
telah memberikan pertolongan yang sangat berharga bagi dirinya, seumpama
melepaskannya dari kemiskinan, menggagalkan upaya pembunuhan dan membantu
mencarikan pekerjaan. Ungkapan ’putih tulangku, dalam kuburan dan
mengingat jasamu’ mewakili perasaan haru tersebut.
5)
Perasaan Kesal
Contohnya :
Mumisè lôn sangka tupè
Meujanggôt lôn sangka udeueng
Meuseureuban lôn sangka leubè
Hana lôn thèe pancuri ureueng
(Harun, 2012 : 205)
Dari penggalan pantun di atas menggambarkan kiasaan kepada seseorang yang
seakan-akan berlaku baik, padahal dia bertindak tidak sesuai dengan perilakunya itu. Pantun
ini ditujukan kepada seseorang yang munafik atau lain di mulut lain di hati.
Pemantun menyimpan kekesalan kepada seseorang karena orang tersebut selama ini
telah menipu, mengecoh atau memperdayanya dengan tindakan-tindakan yang seakan
baik dan benar. Ungkapan ’bersorban ku
sangka lebai dan tiada ku tahu pencuri
orang’ menunjukkan rasa kesal tersebut.
6)
Perasaan Susah dan Gundah
Contohnya :
Tajak u glé jikab lé rimueng
Tajak u krueng jikab lé buya
Tajak u laôt jikab lé paroe
Tawoe u nanggroe jipoh lé bangsa
(Harun, 2012 : 207)
Dari kutipan pantun di atas menggambarkan maksud si
pemantun yang menyampaikan kepada pendengarnya bahwa hidupnya ada dalam bahaya.
Ke mana pun dia pergi terasa tidak tenang dan aman; di gunung, di sungai, di
laut, di negeri sendiri, senantiasa diintai maut. Kata-kata ’dimangsai oleh’,
dan ’di bunuh’ melambangkan
ketakutan yang dapat menyugesti seseorang dengan rasa susah. Pantun di atas
pernah populer pada masa perang Aceh. Lazimnya pantun ini ditujukan kepada para
cuwak atau pengkhianat yang memihak kepada musuh. Cuwak ini
kemudian dianggap oleh rakyat sebagai musuh bersama, sehingga di mana pun dia
berada akan dicari dan dibasmi. Pantaslah orang seperti ini kemudian merasa
tidak aman dalam hidupnya lalu meninggalkan kampung halaman untuk menyelamatkan
diri dari intaian maut.
7)
Perasaan Kecewa
Contohnya :
Kayèe ramphak jroh ijô ôn
Meuhimpôn cicém sinaroe
Boh pih abéh ôn pih reugéh
Cicém paléh gadöh keudroe
(Harun, 2012 : 208)
Penggalan pantun di atas mencerminkan ungkapan rasa
kecewa seseorang kepada orang tertentu. Penyebabnya mungkin karena orang
tersebut telah ditolongnya, tetapi kemudian meninggalkannya tanpa ’pamit’.
Pantun ini dikiaskan kepada keberadaan orang kaya yang sering menolong orang
tetapi orang yang ditolongnya kemudian meninggalkan dirinya pada saat ia telah
jatuh miskin. Jika seseorang menyampaikan pantun ini berarti ia menunjukkan
kekecewaannya kepada orang yang tidak tahu berterima kasih.
8)
Perasaan Malu
Contohnya :
Nabsu lôn na han lôn jeuet lakèe
Teumakôt malèe tatulak haba
(Harun, 2012 : 208)
Kutipan pantun di atas menggambarkan ungkapan rasa
malu seseorang, yaitu rasa malu seorang orang tua yang bermaksud meminang
seorang gadis untuk anaknya, tetapi terpaksa diurungkan karena menyadari
dirinya sebagai orang miskin. Dalam kehidupan masyarakat Aceh, bila pantun ini
di dilontarkan kepada pendengar terutama orang tua akan tahu maksudnya.
Kata-kata yang dipakai dalam pantun ini mampu menyugesti pendengar mengenai
rasa malu sebuah keluarga.
9)
Perasaan Gembira
Contohnya :
Ramphak langèt meutabu bintang
Ramphak blang ureueng seumula
Ramphak kayèe karna le cabeueng
Ramphak ureueng karna le syèdara
(Harun, 2012 : 208)
Kutipan pantun di atas dibangun dengan kata-kata
yang memiliki kekuatan magis untuk menunjukkan perasaan gembira manusia. ’Bintang
yang bertaburan, sawah yang dipenuhi penanam padi dan kayu yang bercabang
banyak,’ merupakan ungkapan yang memanifestasikan rasa gembira.
Demikianlah, seseorang yang memiliki keluarga besar akan merasa gembira
mendengar pantun ini.
10)
Perasaan Takut
Contohnya :
Jipôt angèn blang reubah bak padé
Jipôt angèn glé reubah bak bungöng
Peunyakét lua mangat tapiké
Barah lam até nyang peuabéh nyawong
(Harun, 2012 : 209)
Penggalan pantun di atas mendeskripsikan perasaan
takut yang dialami seseorang manakala ia bermusuhan dengan seseorang yang
mengancam keselamatan dirinya. Musuh tersebut boleh jadi bersikap baik tetapi
suatu saat akan membunuh dirinya. Jika seseorang mendengarkan pantun tersebut,
terutama yang memiliki musuh mengalami rasa takut. Ia akan menimbang-nimbang,
hatinya was-was, apakah musuhnya akan membalas dendam atau tidak. Ungkapan ’tumor
dalam hati yang menghabiskan nyawa’ bermakna musuh dalam selimut sangatlah
berbahaya.
11)
Perasaan Benci
Contohnya :
Asèe peulasôn
Tabri bu pijuet
Tabri èk teumbôn
(Harun, 2012 : 209)
Kutipan pantun di atas mengambarkan perasaan benci
seseorang yang sangat dalam kepada seseorang. Hal ini ditunjukkan dengan
ungkapan ’anjing hiasan’ atau ’anjing yang tidak berbulu’ untuk
menunjukkan rasa bencinya kepada seseorang yang ditawarkan pekerjaan yang baik
tetapi ia malah memilih pekerjaan yang tidak baik.
12)
Perasaan Kurang Senang
Contohnya :
Dum manok tôh boh saboh
Jeueb lampoh soh meuseurapa
Di peunyie jitôh siribèe
Hana jithèe lé ureueng lingka
(Harun, 2012 : 210)
Pantun di atas melukiskan sifat sang penyu yang meski bertelur banyak,
tetapi tidak sombong. Sebaliknya, ayam yang hanya bertelur satu, malah ribut
seluruh kampung. Daya kata-kata dengan perumpamaan tersebut melahirkan rasa
kurang senang kepada orang sombong.
13)
Perasaan Ikhlas
Contohnya :
Bak rang patah bèk tapèh bintéh
Bak bubong tiréh bèk taleueng tika
Bak buet pakat até beukaléh
Bèk arang abéh beusoe han peuja
(Harun, 2012 : 211)
Pantun di atas mengandung kata-kata yang berdaya
sugesti untuk membangkitkan perasaan ikhlas manusia dalam pekerjaan sosial.
Tanpa keikhlasan tersebut, pekerjaan sosial sulit sekali dilaksanakan, sama
seperti ungkapan dalam baris terakhir ’jangan sampai arang habis, tetapi
besi tidak berpijar’. Jika dilantunkan dalam sebuah kegiatan amal,
seseorang diajak untuk berhati ikhlas menyumbangkan darma baktinya dalam
pekerjaan sosial tersebut.
14)
Perasaan Ragu-ragu
Contohnya :
Mangat-mangat gulè labu
Na sigeutu leupah sira
Mangat-mangat ureueng mumadu
Na sigeutu leupah haba
(Harun, 2012 : 211)
Pantun di atas melukiskan perasaan ragu yang
dimiliki oleh seorang madu (istri dengan istri). Jika pantun ini dilontarkan kepada orang yang bermadu, maka ia akan
menimbulkan rasa ragu kepada madunya. Kenyataan menunjukkan bahwa banyak madu
yang bermuka manis kepada madunya, tetapi tidak senang di hatinya.
15)
Perasaan Sayang
Contohnya :
Meunyö ma keu aneuk
Geus’euk-geus’euk geujak mita
Meunyö aneuk keu nang
Kulét pisang meuhareuga
(Harun, 2012 : 211)
Pantun di atas mampu menyugesti seorang anak yang
mendengarnya untuk mengingat jasa ibunya yang begitu tulus memeliharanya dengan
penuh kasih dan cinta. Anak tersebut akan menaruh perasaan sayang kepada
ibunya, sekaligus merasakan bahwa pengabdiannya kepada orang tua belum sebanding dengan yang ia terima. Ia
pun akan menaruh perasaan menyesal karena selama ini selalu menghitung apa yang
diberikan kepada orang tuanya.
2.8
Tradisi Meutaléh Pantôn dalam
Masyarakat Aceh
Dalam menyampaikan maksud tertentu, masyarakat Aceh sering menggunakan
pantun sebagai penyambung. Baik dalam hal mengajari anak-anak untuk selalu
ingat kepada sang pencipta atau untuk menghormati orang tua. Dalam kehidupan
masyarakat Aceh tidak asing terdengar lontaran tutur bersajak, baik seorang ibu yang meninabobokkan
anaknya, muda mudi yang sedang dilanda rindu dan sebagainya.
Salah satu tradisi dalam
beberapa daerah di Aceh ialah berbalas pantun (meutaléh pantôn) pada acara pesta perkawinan. Dengan tujuan untuk
mencerminkan adat dan budaya masyarakat sekitar dan sebagai simbol untuk
menyampaikan maksud kedatangan dari pihak mempelai lintô barô ke rumah mempelai
dara barô, yang tersirat melalui untaian kata-kata penuh makna yaitu pantun. Tradisi
ini masih diindahkan disebagian tempat di daerah Aceh, salah satunya di Kota
Lhokseumawe.
Pantun yang digunakan dalam
meutaléh pantôn pada acara pesta perkawinan disebut dengan istilah pantôn
seumapa. Harun (2012 : 191), menjelaskan bahwa ”Pantôn seupama
merupakan pantun yang isinya berhubungan dengan masalah perkawinan yang
disampaikan oleh pihak lintô barô dan pihak dara barô pada prosesi perkawinan”.
Maksud dari pernyataan di atas adalah pantôn seupama merupakan pantun
yang digunakan ketika kegiatan berbalas pantun pada acara pesta perkawinan dan
pantun tersebut berhubungan dengan masalah perkawinan.
Seumapa merupakan teguran atau
sapaan yang dapat diartikan sebagai pengenalan diri kepada orang yang dituju.
Dalam seumapa ini, disampaikan pesan secara tanya jawab melalui berpantun dan
dijawab pula dengan syair pantun. Seumapa yang diucapkan oleh dua orang syeh yang
telah dipersiapkan yang terdiri dari satu orang dipihak dara barô dan satu
orang dari pihak lintô barô. Seumapa dimulai oleh rombongan lintô karena
dianggap sebagai tamu dan wajib memperkenalkan diri. Dalam seumapa kedua syeh
saling membalas pantun dan juga saling memberikan pertanyaan yang dapat
menghibur bagi semua yang menyaksikan upacara tersebut.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan
dan Jenis Penelitian
Pendekatan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yang bersifat
deskriptif, karena data hasil penelitian berbentuk penjelasan atau
deskripsi data-data hasil penelitian secara aktual, artinya data yang akan
dianalisis merupakan hasil penelitian saat ini, bukan penelitian terdahulu atau
masa yang akan datang.
Hal
ini sejalan dengan pernyataan dari Kutha Ratna (2009 : 47), ia mengemukakan bahwa ”Pendekatan kualitatif memberikan perhatian
terhadap data alamiah yaitu data dalam hubungannya dengan konteks
keberadaannya. Objek penelitian bukan gejala sosial sebagai bentuk substantif
melainkan makna-makna yang terkandung dibalik tindakan yang justru mendorong
timbulnya gejala sosial tersebut. Dalam hubungan inilah pendekatan kualitatif
dianggap sama dengan pemahaman. Sesuai dengan namanya, pendekatan ini mempertahankan
nilai-nilai sehingga pendekatan ini dipertentangkan dengan pendekatan
kualitatif yang berarti bebas nilai”.
Jenis
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah hermeneutik. Penggunaan jenis ini
dianggap tepat karena peneliti mengungkapkan isi pantun yang terdapat dalam meutaléh
pantôn pada acara pesta perkawinan di Kota Lhokseumawe. Hal ini sesuai dengan pernyataan Endraswara (2003
: 157), ia mengemukakan bahwa ”Studi sastra mengenal hermeneutik sebagai tafsir
sastra yaitu langkah dalam memperoleh pesan dan makna. Penafsiran dalam sastra
lisan hendak mengikuti lapis-lapis karya sastra tersebut. Maksudnya, sastra lisan tersebut
adakalanya cocok untuk ditafsirkan dalam konteks apapun. Satu sastra lisan dapat ditafsirkan ke
dalam beberapa hal tergantung konteks yang dikehendaki karena itu karya sastra
lisan tergolong karya yang terbuka terhadap penafsiran. Tafsiran boleh bebas yang penting mampu
mengungkapkan apa yang ada di balik karya itu”.
3.2 Kehadiran
Peneliti
Sesuai dengan pendekatan dan jenis
penelitian yang dikemukakan sebelumnya, maka kehadiran peneliti di lokasi
penelitian sangat diperlukan, di mana peneliti bertindak sebagai instrumen dan
pengumpul data. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Moleong (2010 :
168), ia menyatakan bahwa ”Instrumen
penelitian dimaksudkan sebagai alat pengumpul data penelitian”. Pengumpulan
data oleh peneliti dilakukan dengan cara perekaman, yaitu merekan pantun dalam
meutaléh pantôn pada acara
pesta perkawinan. Lalu, rekaman tersebut diputar dan selanjutnya ditulis dalam
bentuk teks pantun, sehingga memudahkan peneliti dalam menganalisis data.
3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa
Batuphat Barat, Komplek
PT Arun Kecamatan Muara
Satu Kota Lhokseumawe, pada saat
berlangsungnya kegiatan meutaléh pantôn pada
acara pesta perkawinan yaitu pada tanggal 06 Maret 2013. Alasan peneliti
memilih lokasi ini karena letak Desa Batuphat Barat, Komplek PT Arun
Kecamatan Muara
Satu Kota Lhokseumawe, srategis dan mudah dijangkau
sehingga tidak membutuhkan waktu yang lama hingga peneliti sampai ke tempat
tersebut. Selain itu, letak rumah acara pesta perkawinan yang peneliti datangi
juga tidak langsung berhadapan dengan jalan raya, sehingga proses perekaman
yang dilakukan peneliti hasilnya maksimal dan tidak terganggu dengan kebisingan
jalan raya.
3.4 Data
dan Sumber Data
Data dalam penelitian ini
adalah rekaman pantun yang diucapkan pada saat kegiatan meutaléh pantôn pada
acara pesta perkawinan di Desa Batuphat Barat, Komplek PT Arun Kecamatan Muara Satu Kota Lhokseumawe,
yaitu pada tanggal 06 Maret 2013. Sedangkan sumber data penelitian adalah orang
yang mengajukan dan membalas pantun pada saat kegiatan meutaléh pantôn pada
acara pesta perkawinan di Desa Batuphat Barat, Komplek PT Arun Kecamatan Muara Satu Kota Lhokseumawe,
yaitu syeh dari pihak mempelai lintô barô yang bernama bapak Alam sedangkan
dari pihak mempelai dara barô yang bernama bapak Razali.
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini dilakukan dengan teknik perekaman. Endraswara (2003 : 152),
mengemukakan bahwa ”Pengumpulan
data sastra lisan dapat diawali dengan langkah perekaman. Perekaman sejauh
mungkin harus dilaksanakan dalam konteks sastra lisan asli. Maksudnya, sastra
lisan
tersebut sedang
dilantunkan, didongengkan atau dipertunjukkan, peneliti merekam secara
langsung”.
Langkah-langkah pengumpulan datanya, adalah sebagai berikut:
1)
Peneliti mencari di mana ada kegiatan meutaléh pantôn pada acara pesta perkawinan
dan pada tanggal 06 Maret 2013 peneliti menemukan tempat acara pesta perkawinan
yang melakukan kegiatan meutaléh pantôn yaitu di Desa Batuphat Barat, Komplek PT Arun
Kecamatan Muara Satu Kota Lhokseumawe.
2)
Peneliti
merekam pantun yang dipakai pada kegiatan meutaléh pantôn tersebut.
3)
Peneliti
mendengarkan rekaman tersebut, lalu menulisnya kembali agar
tersusun sebuah teks pantun yang dapat memudahkan penulis dalam mencari data-data, yaitu tentang
isi pantun tersebut.
4)
Peneliti menguraikan data-data tersebut, lalu
menganalisis isi pantun serta menyimpulkannya.
3.6 Teknik Analisis Data
Data
dalam penelitian ini diolah dengan menggunakan teknik analisis secara kualitatif
yaitu menganalisis isi pantun dalam meutaléh pantôn pada acara pesta perkawinan
di kota Lhokseumawe. Hal ini
sejalan dengan penjelasan Sugiono (2009 : 337), ia menyatakan bahwa analisis
data dalam penelitian kualitatif dilakukan pada saat pengumpulan data
berlangsung dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu.
Data
tersebut dianalisis dengan
menggunakan teori Miles dan Huberman. Miles dan Huberman (Sugiono 2009 : 337), mengemukakan bahwa
”Aktifitas dalam analisis kualitatif
dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus sampai tuntas
sehingga datanya sudah jenuh. Aktifitas dalam analisis data yaitu mereduksi
data, menyajikan data dan menyimpulkan data”.
Adapun langkah-langkah yang ditempuh
dalam pengolahan data adalah mengolah data menurut jenisnya, menganalisis isi pantun dan menyimpulkan.
1)
Mereduksi
data
Tahap mereduksi
data mulai dilakukan melalui proses penyeleksian, identifikasi dan
pengklasifikasian. Penyeleksian dan pengidentifikasian merupakan kegiatan untuk
menyeleksi dan mengidentifikasi data-data pada kategori isi pantun
yang dipakai pada kegiatan meutaléh pantôn
pada acara pesta perkawinan.
Tahap pengklasifikasian merupakan proses yang dilakukan untuk
mengklasifikasikan data, memilih data dan mengelompokkan data.
2)
Menyajikan
Data
Menyajikan Data merupakan kegiatan pengelompokkan
data melalui tahap reduksi data pada kategori isi pantun
yang dipakai pada kegiatan meutaléh pantôn
pada acara pesta perkawinan.
3)
Menarik
Simpulan
Menarik simpulan
dilakukan setelah mengikuti dua tahap. Simpulan ditarik setelah data disusun
dan diperiksa kembali. Selanjutnya, didiskusikan dengan pembimbing. Setelah proses
ini dilalui, hasil akhir penelitian analisis isi pantun dalam
meutaléh pantôn pada acara pesta
perkawinan di Kota Lhokseumawe, disajikan dalam bentuk laporan penelitian.
3.7 Pengecekan Keabsahan Data
Pemeriksaan terhadap keabsahan data
merupakan salah satu bagian yang penting di dalam penelitian kualitatif, yaitu
untuk mengetahui derajat kepercayaan dari hasil penelitian yang telah
dilakukan. Apabila peneliti melaksanakan pemeriksaan terhadap keabsahan data
secara cermat dan menggunakan teknik yang tepat, maka akan diperoleh hasil
penelitian yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan dari berbagai segi.
Keabsahan
data dalam penelitian ini diperiksa dengan teknik triangulasi dan uraian
rinci. Moleong (2010 : 330), menjelaskan bahwa ”Teknik triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data
yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan
atau sebagai pembanding terhadap data itu. Di mana dengan triangulasi
peneliti dapat me-recheck hasil temuannya dengan jalan membandingkannya
dengan berbagai sumber, metode atau teori”.
Sedangkan
”Teknik uraian rinci merupakan teknik yang menuntut peneliti untuk
menguraikan secara khusus sekali segala sesuatu yang dibutuhkan oleh pembaca
agar ia dapat memahami temuan-temuan yang diperoleh. Temuan itu tentunya
bukan bagian dari uraian rinci melainkan penafsiran yang dilakukan dalam bentuk
uraian rinci berdasarkan data yang diperoleh” (Moleong, 2010 : 337).
Maka,
jelas bahwa melalui triangulasi dan uraian rincilah keabsahan
data tentang isi pantun dalam meutaléh pantôn pada acara pesta perkawinan di Desa
Batuphat Barat, Komplek PT
Arun Kecamatan Muara Satu Kota Lhokseumawe dapat dibuktikan keabsahan datanya.
3.8 Tahap-tahap Penelitian
Adapun tahap-tahap yang
dilaksanakan dalam penelitian ini adalah :
1)
Tahap
Perencanaan
Dalam tahap
perencanaan penelitian ini, kegiatan yang dilakukan oleh peneliti adalah
mencari kegiatan meutaléh pantôn pada acara pesta perkawinan
lalu merekam pantun yang diucapkan dalam kegiatan tersebut.
2)
Tahap
Pelaksanaan
Dalam tahap
ini, peneliti
mengelompokkan data berdasarkan isi pantun yang terdapat dalam kegiatan meutaléh pantôn
pada acara pesta perkawinan.
3)
Tahap
Observasi
Observasi ini
dilakukan dengan tujuan agar memperoleh informasi yang lebih mendalam tentang
data berupa isi pantun yang terdapat dalam kegiatan meutaléh
pantôn
pada acara pesta perkawinan.
4)
Tahap
Refleksi
Dalam tahap refleksi, yang dilakukan peneliti adalah menganalisis data-data yang
diperoleh dari rekaman pantun pada kegiatan meutaléh pantôn yang telah menjadi teks pantun lalu menganalisis isi pantun
tersebut dan disimpulkan.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
Adapun hasil penelitian tentang
isi pantun yang terdapat dalam pantôn seumapa yang digunakan pada saat meutaléh pantôn pada acara pesta
perkawinan di Desa Batuphat Barat Komplek PT Arun Kecamatan Muara Satu Kota Lhokseumawe,
maka penulis menjabarkan isi/makna pantôn seumapa tersebut sebagai berikut :
1)
Menyatakan Berani
Data 1
Bit
han neupatéh haba ulôn tuwan
Jeut
tgk undang u bak musalla
Neu
mèe kitab-kitab meu lhèe boh eumpang
Neu
eu jeut dipham dengön jibôh makna
(lampiran,
halaman 5 bait ke 6)
Data 2
Sabab
meunyö ta piléh tika
Kheun
ureueng tuha teuntèe nyan meurie reubeueng
Meunyö
ta piléh ureueng teuntèe nyan taat agama
Meurie-rie
ija jeut tgk jak tiyeueng
Meurie-rie
ureueng jeut tgk jak kupra
Kön, kamoe paloh nyoe bèk tgk abéh teuh, aneuk miet teu giedham
(lampiran, halaman
6 bait ke 2)
Data 3
Gunông
glé rawa tgk seureuba buleuen
Makanan bayeuen boh kayèe rimba
Lôn ikat kaôi lôn paneuk si linteueng
Beu
ék lôn teumeueng sinoe di PT Arun nyoe ureueng seumapa
(lampiran, halaman
6 bait ke 3)
Data 4
Meutuwah
babah na ubèe lôn kheun
Meutuwah
buleuen han payah mita
Rimba
lôn arông gunông meulinteueng
Padum
trép jameun ka di lôn lawan ku mita
( lampiran, halaman 6
bait ke 4)
Data 5
Aneuk
manok göt tgk di nanggroe Bireuen
Manok
ka useueng meulöt lam kuta
Lôn
harap bak rombongan lintô neusaba siat walaupun seuuem
Bak
tanyoe peunyuem nyoe bit lawan sang teuga
Meunyoe gop nyan pök uroe nyoe teuntèe tanyoe theun
Leubèh ngön kureueng lôn harap eunteuek beu ék neusaba
(lampiran, halaman
6 bait ke 6)
Data 6
Bèk
neumeulét-lét uroe nyoe ngön aneuk Rimueng
Bèk
neumeuplueng-plueng ngön aneuk Kuda
Beurani neulét meunyoe kamoe plueng
Meuka meukaleueng kamoe pih panèe meusaba
(lampiran, halaman
7 bait ke 4)
Data 7
Ramphak-ramphak
hai tgk bak murong di leuen
Bak
ujông cabeueng eumpung cém pala
Beuthat
neupeugah droe neuh nyan murid Alm. nek Rasyid Bireuen
Gohlom
teuntèe ék neulinteueng meunyoe tingkat syeh Do Brama
Ilôn pih lôn jak seumapa bak binèh laôt sampoe trôk u
binèh papeuen
Gohlom meutumeung nyan sabèe pada
Nibak uroe nyoe sinoe di PT Arun nyoe
takalön so nyan leubeh useueng
Apa ngön kumun nak takalön uroe nyoe soe nyang juara
(lampiran, halaman
7 bait ke 6)
2)
Menyatakan Haru
Data 1
Jameun
na meugah hinoe di Lhokseumawe nek Rasyid Bireuen
Di
thèe
lé ureueng bak geuseumapa
Thôn
dua ribèe lhèe sayang gop nyan nyawöng tuhan tueng
Nek
Rasyid Bireuen geutinggai dônya
’Oh
watèe hana lèe nek Rasyid Bireuen
Nyan
keuh tinggai pak Alam keuureung seumapa
(lampiran, halaman
6 bait ke 5)
3)
Menyatakan Kesal
Data 1
Angén di laôt tgk jipôt meutaga
Dalam kuala bicah geulumbang
Bunoe neupeugah ka neuteurimöng pu nyan kamoe ba
Bah
pih sikilô saka saboh mu pisang
Nyoe
ka neupeugah lom keu asoe raga
Sang
malèe neu raya watèe neupandang
(lampiran, halaman
3 bait ke 5)
Data 2
Ka
neujak tanyöng trôh bak dô’a manoe
Neupikèe
aneuk kamoe nyoe bangai leumpah na
Abéh
dijak meununtôt baroe kön rata juet sagoe
Sampoe
’oh dudoe juet neu tanyoe bak droe jih éh hoe u Samadua
(lampiran,
halaman 4 bait ke 6)
Data 3
Lôn
jôk lom u pasantren u Arakundoe
’Oh
dudoe jiwoe barô u Samalanga
Bak
abu kuta krueng dijak meurunoe
Meu dô’a manoe aneuk kamoe ék mungkén teuk han juet
dibaca
Dudoe lôn peunikah awai lôn yu jak meureunoe
Sabab
meuphoem kamoe kawén nyoe kön but pura-pura
(lampiran, halaman
4 bait ke 7)
Data 4
Bunoe
neu tanyöng bak aneuk kamoe dô’a manoe pu kajeut dipham
Nyoe
katrôk bak dô’a buka idang beujeut dibaca
Meunyoe
meuphom tgk dô’a buka idang
Dalam
Al qur’an aneuk lôn tuan nyoe sabèe dibaca
(lampiran,
halaman 5 bait ke 3)
Data 5
Beuthat
tan malém neu eu lagèe nyoe, tapi jitém peutimang
Aneuk
lôn tuan tgk meuphom agama
Abéh
lôn puebloe tanöh-tanöh blang
’Èeleumèe tuhan lôn yu jak mita
Phôn
lôn yu jak beut, bak droe jih neu tanyong
Yéh
ho u Palestinadiwoe di sinan u Arabia
(lampiran, halaman
5 bait ke 4)
Data 6
Dijak
kuliah lom u nanggroe Jeureuman
Diwoe
di sinan barô nanggroe Kanada
Dijak
côk titél di nanggroe Jepang
Diwoe
di sinan baroe u Alu Kala
’Oh
trôk u Alu Kala barô geujôk jabatan
Luwa ngön dalam aneuk lôn tuan nyoe ’Èeleumèe kana
(lampiran, halaman
5 bait ke 5)
Data
7
Bak
meuraksa hai tgk di teungöh buleuen
Patah
saboh deung si layèe jeumpa
Sabab
meunyö hana meukrie nyan lintô nyan
Hana
jadèh lôn tueng, bah lé neuraheung sinan di luwa
Nyoe
han lôn bie gilhö meu aneuk rienyeun
Neu
döng lam seuuem sampoe ’oh poh sa
(lampiran,
halaman 6 bait ke
1)
Data 8
Tajak
u Cöt Go tgk beutrök u Piyeueng
Tajak
u Leupung röt jalan Lhoknga
Meuka
bicah phèt sakét lam tuleueng
Beurangsoe
ureueng sinoe jeut neutanyöng pasti han ék disaba
Padum krèk ija neupeugah sinoe nyang ka lôn diyeueng
Padum
droe ureueng saknyoe neukheun sinoe nyan ka lôn kupra
Nyoe lintô barô nyoe umpama ija palikat kamoe meuka
meujeut jak tiyeueng
Kön
ija meuteumeung lam guni monja
(lampiran,
halaman 6 bait ke 7)
Data 9
Tajak
u Gayo tgk tawoe röt Bireuen
Tajak
u Bayeun röt Sungo Raya
Meunyoe
até ka teupèh beurangsoe jeut neutanyöng han ék tapeutheun
Neutém
yu raheueng kamoe di luwa
Sampé
han neubie gilhö meu aneuk rienyeun
Pat
töh neuteumeung lagèe nyoe haba
(lampiran,
halaman 7 bait ke 1)
Data 10
Meunyö
lintô uroe nyoe katrok lôn puwoe bit-bit han neutueng
Nyan
ka neutaguen dari beuklam nyan keu soe neu neuk ba
Bah
sinan basi ju geurayueng
Lôn
lakèe ijin lintô jak ta peugisa
(lampiran,
halaman 7 bait ke 2)
4)
Menyatakan Susah-gundah
Data
1
Krue seumangat hai muda samlakoe
Pakön neuk jula that uroe keunoe
neuteuka
Pukeuh na halangan bunoe bak
tajak keunoe
Kamoe ka rangoe sinoe bak
meuprèh syedara
Ranub-ranub
ka layèe ka jietèt lé uroe
Kamoe ka rangoe bak meuprèh
aneuk da
(lampiran, halaman
2 bait ke 4)
5)
Menyatakan Kecewa
Data 1
Meuseu
adak na tabloe saboh Honda
Tiep
uroe masa ta ba bak jalan
Meuseu
bhan dalam hai tgk tabôh u luwa
Peukeuh na meurasa tgk meunyoe lagèe nyan
Bôh
kajeut cit neubôh di dalam raga
Kön neutôp meuselingka nak meudèh nyan ngön ija itam
Nyoe
malèe lôn that-that bak kaôm lingka
Sang
lagèe neukeunak ba keudèh nibak pameran
Kön
cit lôn protèh tgk nyan teuka
Adat
ngön budaya hai tgk bèk neupeumeunan-meunan
Pakön
tgk galak that keu budaya luwa
Budaya
droe teuh na pakön han neupeutimang
(lampiran,
halaman 3 bait ke 4)
Data 2
Aneuk
leuek putrue di công bak panjo
Teungöh cöt uroe lagèe nyoe jipö u luwa
Nyoe
ujông ka nuejungkat sang uram ka neugilhö
Laén
that bagoe ka cara seumapa
(lampiran,
halaman 4 bait ke 5)
Data 3
Reudôk
di Aceh tgk ujeuen di Padang
Bicah
geulumbang éh ho u pulô Jawa
Nyoe meujungkat ujông wap neugilhö uram
Nyoe
ka laén ragam lom cara seumapa
(lampiran,
halaman 5 bait ke 2)
Data 4
Reudôk
di glé ujeuen meugeudhum
Hanyöt dalam krung cabeueng geulima
Lôn jak seumapa phôn dari Banda Aceh sampoe trok é ho u
Alu Papeun
Gohlom
lôn teumeung lagèe nyoe haba
(lampiran,
halaman 7 bait ke 3)
Data 5
Watèe
ie surôt hai tgk jimudèp udeueng
Watèe
ie paseueng hai tgk jimudèp kadra
Meubaroe
siat di tgk lôn yu raheueng
Ka mirah ôn glunyueng ka seuuem ngön muka
(lampiran,
halaman 7 bait ke 7)
6)
Menyatakan Malu
Data 1
Meunyoe neujôk lapan uroe nyoe lôn
pulang teutap sikureueng
Talô han lôn tueng di lôn meunang
lôn mita
Bèk lam ’an talô kamoe uroe nyoe
seurie meuhan meutueng
Malèe meungön ureueng watèe
meugisa
(lampiran,
halaman 7 bait ke 5)
7)
Menyatakan Gembira
Data 1
Assalamualaikôm
tgk di sinoe
Saleuem
bak kamoe uroe nyoe deungön rombongan lôn sanjông sapa
Nibak
uroe nyoe geutanyoe sinoe
Bandum
ka meureumpök muka
Titah
sultan peusan bak kamoe
Ngön
lidah ulôn nyoe tgk geuyue sambông haba
(lampiran, halaman
1 bait ke 1)
Data 2
Ho
tuan biesan, Tgk H. Sofian neulangkah keunoe
Nyoepat
aneuk droeneuh uroe nyoe katrok kamoe ba
Neujak teurimöng nyoekeuh deungön dua jaroe
Nyoekeuh
judô cut putroe singöh keuasoe kamba
(lampiran, halaman
1 bait ke 2)
Data 3
Bismillahirrahmanirrahim
Alaikôm
salam hai tgk lôn sambôt saleuem
Seureuta lôn kheuen syarat mulia
Yôh masa nabi cit kaleuh geukheun-kheun soe nyan sambôt
saleuem
Sadum
ngön naleueng tuhan bie fala
(lampiran, halaman
2 bait ke 3)
Data 4
Kareuna
pukat ka meusawak jaréng
Kareuna putèng ka meusawak bara
Kareuna aneuk miet geutanyoe uroe nyoe dua ka tapeukawen
Geutanyoe nyan laén pu kön ka jeut keu syedara
Teuman
beu that pih nyan tgk ba saka sikilô
Teurasa
bak kamoe nyoe ka saboh raga
(lampiran, halaman
3 bait ke 2)
8)
Menyatakan Takut
Data 1
Beungèh
cina hai tgk seulampang lhèe dara
Beungèh
rakan kaôm nyan droe prèh
Sumpah kalowie janji ka leupah
Meunyoe neu ubah hai kamoe uroe nyoe barô takih
(lampiran, halaman
8 bait ke 1)
9)
Menyatakan Kurang Senang
Data 1
Meu
ie di laôt tgk hai meupuséng gisa
Dalam kuala bicah geulumbang
Ka lôn teurimöng pu nyan tgk ba
Ngön
jaroe dua dilôn ngön haté seunang
Teuman nyan leupah teukeujöt ’oh lôn kalön nyan asoe raga
Sang
bruek u muda keunoe leumah lôn pandang
Nyoe
ka meupue wareuna inan ka meudum ukuran
Allah
e tuhan nyoe biet sang hana lé kada
(lampiran, halaman
3 bait ke 3)
10)
Menyatakan Ikhlas
Data 1
Umpama
jagông goh punoh asoe
Adak
boh panjo tgk mantöng meusukra
Adat
istiadat aneuk lôn tuan nyoe mungkén gohlom göt meuhoe
Maklum
tgk droe aneuk lôn nyoe mantöng that
muda
Dak
beda adat uroe nyoe bèk that neupakoe
Nyan
peunténg geutanyoe tgk di sinoe taat agama
Kadang
na salah tingkah aneuk lôn tuan siegeutue sahoe
Harapan
kamoe bak tgk beuneutém bina
’Oh
jiwoe keudéh jeut pulang keu kamoe
’Oh
jiwoe keunoe mungkén tgk usaha
Rayeuek that laba nibak uroe nyoe
Meutamah
sidroe dalam gampông nyoe di dalam kaka
(lampiran, halaman
1 bait ke 3)
Data 2
Reudôk
meugantung tgk teungöh cöt uroe
Alamat
nanggroe tuhan bie bala
Haba
bacut lôn balék uroe nyoe titék meugantoe
Cit meunoe bagoe cara seumapa
Nyan bèk neuharap uroe nyoe bak kamoe tgk keu barang
peuneuwoe
Atau pih keu bungöng jaroe hana ngön kamoe bloe tgk hana
beulanja
(lampiran, halaman
1 bait ke 4)
Data 3
Mangat
bèk putôh na dua boh bungkôh kamoe bunoe na teuba keunoe
Meunyö
keu asoe tgk meu’ah meusapue hana
Mangat
bèk putôh na cit ulôn bôh saka sikiloe
Nyan
pih kön atra kamoe bloe tgk atra saudara ba-ba
(lampiran, halaman
1 bait ke 5)
Data 4
Krue
seumangat rahmat nibak po
Meumada
èh noe dilèe lôn peuphoen sapa
Pulang
keu tgk nyan po teumpat nyoe
Dua
blah jaroe kamoe ateueh jeumala
Akhirulkalam
haba ka sampoe
’Oh
noe seuleusoe dilèe lôn sapa
Teurimöng
geunaséh dari kamoe rombongan lintô barô
Pulang
keu gurèe nyan po teumpat
(lampiran,
halaman 2 bait ke 2)
Data 5
Mungkén
di Panton Labu adat bak tgk kön lagèe nyoe
Bôh
sigeutue sahoe nyoe kön hana that beda
Teuman
beunoe na tgk meuteuöh keu barang peuneuwoe
Tgk
na neubloe neupeugah sikilô saka
Hana
that meuharap dikamoe nyan hai tgk keu barang peuneuwoe
Nyan
peunténg geutanyoe uroe nyoe beujeut keu syedara
(lampiran,
halaman 3 bait ke 1)
Data 6
Lôn
lakèe meu’ah bak syeh do brama
Hana
seungaja dikamoe nyan salah bak pasang
Sabab nyan bôh peunuwoe lintô lôn kalön beuklam di dalam
raga
Buet ibuk PKK lôn kalön beuklam
’Oh leuh geupasoe tuwö bak geuparéksa
Memang
ureueng katuha mata kureueng trang
Mungkèn lôn lakèe meu’ah kali nyoe di kamoe ka rôh meubôh
lam raga
Nyan
akan teuka eunteuk kön jeut ta bôh lam eumpang
(lampiran,
halaman 4 bait ke 1)
Data 7
Sabab
adat Aceh nyoe bak kamoe pih kana
Tapi
beusama-sama tgk ta tém peutimang
Bèk
bak kamoe singöh neuyue tôp, nyan laen di buka
Nyan
kiamat dônya adat nyan hana berjalan
Cuma
kritik ngön saran syeh do brama
Lôn
peumulia uroe nyoe ngön dada lapang
(lampiran,
halaman 4 bait ke 2)
11)
Menyatakan Ragu-ragu
Data 1
Sulu-sulu bayu di
gunông
Kulét bèe bungöng
asoe bèe mala
Seugolom tgk lôn peuijin tamöng
Lôn neuk teumanyöng meudua krèk haba
(lampiran, halaman
4 bait ke 3)
Data 2
’Oh watèe beungöh
hai tgk keumang ôn jatoe
’Oh watèe cöt uroe
keumang ôn capa
Pakön teuman
meugrit that nyoe lintô neupuwoe
Meudô’a manoe tgk
pu kajeut dibaca?
Meunyö gohlom jeut
dibaca nyan dô’a manoe
Neuyue jak
meureunoe dilèe bak ulama
Nyoe dara barô lôn
hana payah lèe di jak meureunoe
Cit aneuk ureueng
meupoe cuco ulama
(lampiran, halaman
4 bait ke 4)
Data 3
Di công ibôh hai
tgk puyôh meu agam
Di công keutapang
aneuk leuek puwa
Nyoe dô’a manoe
neupeugah kabéh jeut dipham
Dô’a buka idang
pue kajeut dibaca?
Pintô lôn palang
Neudöng sinan di
luwa
(lampiran, halaman
5 bait ke 1)
12)
Menyatakan Sayang
Data 1
Aneuk
cém pala di công bak panjoe
Teungöh cöt uroe lagèe nyoe tgk diwoe lam rimba
Neupeuhah tgk jurông payông meugantoe
Bèk trép that kamoe deungön rombongan lagèe nyoe sinoe di
lua
Gampông
lôn jarak bak lôn jak keunoe
Neusayang
keu kamoe uroe nyoe tgk meusiblah mata
Bèk lé neubie döng lagèe nyoe kamoe lam uroe
Reuôh kajiepö bak aneuk kamoe neukalön ka basah muka
(lampiran,
halaman 2 bait ke 1)
Data 2
Alhamdulillah
hai aneuk katroek cit keunoe
Deungön
ijin po uroe nyoe katroek tateuka
Beuthat
beujiôh sidéh di Panton Labu bak tajak keunoe
Taprèh
hai aneuk droe sinan siat di luwa
Sabab
cit ka meunan adat hai aneuk meuhat bak tanyoe
Masa
saboh uroe di lèe kön kana
Nyoe
ta peutimang adat bèk sampèe tapubloe nanggroe
Bèk
sampèe lé tabloe budaya luwa
Bèk
lé gop peubangai nyoe bandum geutanyoe
Nyoe
budaya droe lagèe nyoe beu göt tajaga
Beujuet
ta pulang keu aneuk cucoe
Marwah
geutanyoe hai nyak bèk rôh gop hina
(lampiran,
halaman 2 bait ke 5)
Data 3
Meunyoe
tajak u Lhok Nibong hai tgk beutrôk u panté Bidari
Meukrie-krie
sinan di gampông ma
Bèk lèe hai tgk geutanyoe meudakwa-meudakwi
Sang
hana göt hi ’oh gop ngieng rupa
Pulom
aneuk miet nyoe uroe nyoe ka sah suami isteri
Ka
geumeukhanduri neukalon nyoe geupeugöt pesta
Dua
boh keluarga nyoe kajeut keu taloe wali
Meu
GAM ngön RI jinoe pih hana lèe dawa
(lampiran,
halaman 8 bait ke 2)
Data4
Aneuk
tulô hai tgk jipö ngön kawan
Aneuk rat nanggang teureubang dua
Pintô pih ka lôn buka hai tgk payông pih ka lôn keumang
Lôn peusilakan bandum syedara
Ho ka ma peudampéng côk ranup batèe neubôh lam puan
Neujak
tueng rombongan déh pat di luwa
(lampiran,
halaman 8 bait ke 3)
Data 5
Neuduek
neupiyôh hai tgk pat-pat nyan lapang
Deungön
makanan cit ka kamoe siap sedia
Neupeusingét cipé neupeubasah jaroe
Maklum tgk droe meubu ngön sira
Engkôt di laôt peuwèt-wèt iku
Tgk
pajôh bu kuah ie mata
Kuah
boh labu gulè bak pisang
Cit
meunan reusam kamoe di desa
(lampiran, halaman
8 bait ke 4)
4.2 Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian tentang isi
pantun yang terdapat dalam pantôn seumapa yang digunakan pada saat meutaléh
pantôn pada acara pesta perkawinan di Desa Batuphat Barat Komplek PT Arun Kecamatan
Muara Satu Kota Lhokseumawe, maka penulis menjelaskan pembahasan sebagai
berikut :
1)
Menyatakan Berani
Data 1
Bit
han neupatéh haba ulôn tuwan
Jeut
tgk undang u bak musalla
Neu
mèe kitab-kitab meu lhèe boh eumpang
Neu
eu jeut dipham dengön jibôh makna
(lampiran,
halaman 5 bait ke 6)
Pantôn
seumapa di atas mendeskripsikan tentang perasaan berani si pemantun dari pihak
mempelai lintô barô yang jelas terlihat disetiap baris bait pantun tersebut, di
mana pihak mempelai lintô barô menantang pihak mempelai dara barô untuk
membuktikan bahwa mempelai lintô barô tidak seperti yang mereka katakan. Bahkan
pihak mempelai lintô barô membela mempelai lintô barô dengan mengatakan bahwa
sebanyak apapun kitab yang dibawa, pasti mampu dipahami dan diberi makna
olehnya. Pemantun menjelaskan secara tidak langsung kepada pendengar bahwa dari
pihak mempelai lintô barô berani mengatakan bahwa mempelai lintô barô yang
mereka dampingi tidak seperti yang pihak mempelai dara barô ragukan.
Data 2
Sabab
meunyö ta piléh tika
Kheun
ureueng tuha teuntèe nyan meurie reubeueng
Meunyö
ta piléh ureueng teuntèe nyan taat agama
Meurie-rie
ija jeut tgk jak tiyeueng
Meurie-rie
ureueng jeut tgk jak kupra
Kön, kamoe paloh nyoe bèk tgk abéh teuh, aneuk miet teu
giedham
(lampiran, halaman
6 bait ke 2)
Pantôn seumapa di atas mendeskripsikan tentang perasaan berani pihak
mempelai dara barô yang mengatakan bahwa mereka tidak mau menerima sembarangan
orang yang akan diijadikan sebagai pendamping anak mereka. Hal ini tercermin
dari baris ketiga bait pantun tersebut yang menjelaskan bahwa jika kita memilih
orang untuk dijadikan pendamping hidup haruslah yang taat agama. Pemantun
menjelaskan secara tidak langsung kepada pendengar bahwa dari pihak mempelai
dara barô berani mengatakan bahwa mereka mencari orang yang akan dijadikan pendamping
hidup anak mereka yang taat agama karena mereka menganggap diri mereka lebih
pantas mendapatkan hal tersebut.
Data 3
Gunông
glé rawa tgk seureuba buleuen
Makanan bayeuen boh kayèe rimba
Lôn ikat kaôi lôn paneuk si linteueng
Beu
ék lôn teumeueng sinoe di PT Arun nyoe ureueng seumapa
(lampiran,
halaman 6 bait ke 3)
Pantôn seumapa di atas medeskripsikan tentang perasaan berani dari pihak
mempelai lintô barô yang terlihat dari dua baris terakhir bait pantun tersebut
yang melukiskan bahwa pihak mempelai lintô barô sampai berani bernazar jika
mendapatkan orang yang lebih pandai dalam seumapa di PT Arun dan akan lebih
belajar kepada orang tersebut. Pemantun
menjelaskan secara tidak langsung kepada pendengar bahwa pihak
mempelai lintô barô berani mencari tantangan, yaitu orang yang pandai dalam
seumapa.
Data 4
Meutuwah
babah na ubèe lôn kheun
Meutuwah
buleuen han payah mita
Rimba
lôn arông gunông meulinteueng
Padum
trép jameun ka di lôn lawan ku mita
(lampiran, halaman
6 bait ke 4)
Pantôn seumapa di atas mendeskripsikan tentang perasaan berani pihak
mempelai lintô barô dalam mencari lawan meutaleh pantôn sampai diumpamakan pada
baris ketiga yaitu hutan pun akan dilalui untuk mencari lawannya dalam meutaléh
pantôn. Pemantun menjelaskan secara langsung kepada pendengar bahwa pihak
mempelai lintô barô berani mencari tantangan, yaitu orang yang akan dijadikan
lawan dalam meutaléh pantôn.
Data 5
Aneuk
manok göt tgk di nanggroe Bireuen
Manok
ka useueng meulöt lam kuta
Lôn
harap bak rombongan lintô neusaba siat walaupun seuuem
Bak
tanyoe peunyuem nyoe bit lawan sang teuga
Meunyoe gop nyan pök uroe nyoe teuntèe tanyoe theun
Leubèh ngön kureueng lôn harap eunteuek beu ék neusaba
(lampiran, halaman
6 bait ke 6)
Pantôn seumapa di atas menggambarkan tentang perasaan berani dari pihak
mempelai lintô barô yang terlukis dalam baris kelima yaitu jika pihak mempelai
dara barô menantang maka pihak mempelai lintô barô akan siap dengan tantangan
tersebut dan meminta kepada keluarga mempelai lintô barô untuk bersabar
meskipun cuacanya panas. Pemantun menjelaskan secara langsung kepada pendengar
bahwa pihak mempelai lintô barô berani menerima tantangan apapun dari pihak
mempelai dara barô, meskipun cuacanya tidak mendukung diharapkan kepada pihak
mempelai lintô barô untuk bersabar.
Data 6
Bèk
neumeulét-lét uroe nyoe ngön aneuk Rimueng
Bèk
neumeuplueng-plueng ngön aneuk Kuda
Beurani neulét meunyoe kamoe plueng
Meuka meukaleueng kamoe pih panèe meusaba
(lampiran, halaman
7 bait ke 4)
Pantôn seumapa di atas melukiskan tentang perasaan berani dari pihak
mempelai lintô barô yang tidak mau mengalah atau bahkan tidak akan
terus-menerus bersabar dengan perlakuan dari pihak mempelai dara barô yang
semakin menjadi-jadi. Hal tersebut terlukis dalam dua baris terakhir bait
pantun tersebut yaitu jika mereka mengajar maka pihak lintô barô akan berlari
tapi jika sudah terjatuh maka pihak lintô barô pun tidak akan bersabar lagi. Pemantun
menjelaskan secara tidak langsung kepada pendengar bahwa pihak mempelai lintô
barô berani menerima tantangan apapun dari pihak mempelai dara barô, tetapi
jika sudah kelewatan pihak lintô barô pun tidak akan tinggal diam.
Data 7
Ramphak-ramphak
hai tgk bak murong di leuen
Bak
ujông cabeueng eumpung cém pala
Beuthat
neupeugah droe neuh nyan murid Alm. nek Rasyid Bireuen
Gohlom
teuntèe ék neulinteueng meunyoe tingkat syeh Do Brama
Ilôn pih lôn jak seumapa bak binèh laôt sampoe trôk u
binèh papeuen
Gohlom meutumeung nyan sabèe pada
Nibak uroe nyoe sinoe di PT Arun nyoe takalön
so nyan leubeh useueng
Apa ngön kumun nak takalön uroe nyoe soe nyang juara
(lampiran, halaman
7 bait ke 6)
Pantôn seumapa di atas mendeskripsikan tentang perasaan berani dari pihak
mempelai dara barô yang juga tidak mau kalah dengan pihak mempelai lintô barô
dalam hal seumapa. Bahkan pihak dara barô mengajak pihak lintô barô untuk
menentukan siapa yang lebih hebat atau pandai dalam hal seumapa. Pemantun
menjelaskan secara langsung kepada pendengar bahwa pihak mempelai dara barô
berani menantang pihak lintô barô dalam hal seumapa agar diketahui siapa yang
lebih pandai.
2)
Menyatakan Haru
Data 1
Jameun
na meugah hinoe di Lhokseumawe nek Rasyid Bireuen
Di
thèe
lé ureueng bak geuseumapa
Thôn
dua ribèe lhèe sayang gop nyan nyawöng tuhan tueng
Nek
Rasyid Bireuen geutinggai dônya
’Oh
watèe hana lèe nek Rasyid Bireuen
Nyan
keuh tinggai pak Alam keuureung seumapa
(lampiran, halaman
6 bait ke 5)
Pantôn seumapa di atas mendeskripsikan tentang perasaan haru dari pihak
mempelai lintô barô ketika mengenang seseorang yang sudah meninggal dan dulunya
orang tersebut merupakan orang yang pandai dalam seumapa. Tetapi pada baris
terakhir pantun tersebut, pemantun menjelaskan bahwa dialah penggantinya dalam
hal seumapa. Pemantun
menjelaskan secara langsung kepada pendengar bahwa ia
mengenang seseorang yang dulunya sebelum meninggal pandai dalam hal seumapa.
3)
Menyatakan Kesal
Data 1
Angén di laôt tgk jipôt meutaga
Dalam kuala bicah geulumbang
Bunoe neupeugah ka neuteurimöng pu nyan kamoe ba
Bah
pih sikilô saka saboh mu pisang
Nyoe
ka neupeugah lom keu asoe raga
Sang
malèe neu raya watèe neupandang
(lampiran, halaman
3 bait ke 5)
Pantôn seumapa di atas menggambarkan tentang perasaan kesal dari pihak
lintô barô yang jelas terlihat dari baris ketiga sampai baris terakhir, yang
mengungkapkan rasa kekesalan dari pihak lintô barô atas perlakuan pihak dara
barô yang tadinya mengatakan sudah menerima dengan ikhlas apa yang dibawa oleh
pihak mempelai lintô barô, setelah itu mereka berlaku sebaliknya setelah
melihat isi keranjang yang katanya terlihat jelas isinya jika dipandang dari
luar. Pemantun menjelaskan secara tidak langsung kepada pendengar bahwa pihak
mempelai lintô barô mengungkapkan rasa kekesalan mereka atas sikap dari pihak
dara barô yang tidak bersikap seperti yang pertama diucapkannya, tetapi
sebaliknya.
Data 2
Ka
neujak tanyöng trôh bak dô’a manoe
Neupikèe
aneuk kamoe nyoe bangai leumpah na
Abéh
dijak meununtôt baroe kön rata juet sagoe
Sampoe
’oh dudoe juet neu tanyoe bak droe jih éh hoe u Samadua
(lampiran,
halaman 4 bait ke 6)
Pantôn seumapa di atas mendeskripsikan tentang perasaan kesal dari pihak
mempelai lintô barô yang merasa kesal atas ketidakpercayaan dari pihak mempelai
dara barô terhadap mempelai lintô barô. Terlihat jelas dalam bait tersebut,
sampai pihak mempelai dara barô menanyakan kepada pihak mempelai lintô barô
tentang doa mandi. Tetapi, pihak mempelai lintô barô pun tidak tinggal diam dan
membela mempelai lintô barô dengan mengatakan bahwa anak mereka tidak bodoh
bahkan selalu menuntut ilmu kesemua tempat. Pemantun menjelaskan secara
langsung kepada pendengar bahwa pihak mempelai lintô barô kesal atas rasa ketidakpercayaan
dari pihak mempelai dara barô yang meragukan mempelai lintô barô.
Data 3
Lôn
jôk lom u pasantren u Arakundoe
’Oh
dudoe jiwoe barô u Samalanga
Bak
abu kuta krueng dijak meurunoe
Meu dô’a manoe aneuk kamoe ék mungkén teuk han juet
dibaca
Dudoe lôn peunikah awai lôn yu jak meureunoe
Sabab
meuphoem kamoe kawén nyoe kön but pura-pura
(lampiran, halaman
4 bait ke 7)
Pantôn seumapa di atas mendeskripsikan tentang perasaan kesal yang dialami
oleh pihak mempelai lintô barô atas perdebatan yang terjadi dengan pihak
mempelai dara barô. Hal tersebut terlukis dari tiga baris terakhir pantun
tersebut yaitu pernyataan dari pihak mempelai lintô barô, bahwa tidak mungkin
doa mandi saja anak kami tidak, sebab duluan dia belajar baru dinikahkan.
Kekesalan tersebut terlihat jelas pada pihak lintô barô karena pihak dara barô
menganggap remeh mempelai lintô barô. Pemantun menjelaskan secara langsung kepada pendengar
bahwa pihak mempelai lintô barô kesal atas aggapan dari pihak mempelai dara
barô yang menganggap remeh dan meragukan mempelai lintô barô.
Data 4
Bunoe
neu tanyöng bak aneuk kamoe dô’a manoe pu kajeut dipham
Nyoe
katrôk bak dô’a buka idang beujeut dibaca
Meunyoe
meuphom tgk dô’a buka idang
Dalam
Al qur’an aneuk lôn tuan nyoe sabèe dibaca
(lampiran,
halaman 5 bait ke 3)
Pantôn seumapa di atas menggambarkan tentang perasaan kesal dari pihak
lintô barô yang bertubi-tubi mendapat pertanyaan yang selalu meragukan akan
pemahaman dari mempelai lintô barô. Hal itu sudah jelas terlihat dalam bait
pantun tersebut, di mana pihak dara barô malah menanyakan tentang ”doa buka
idang/doa bersetubuh”. Tetapi pihak mempelai lintô barô tidak mau tinggal diam
dengan keraguan dari pihak dara barô. Pihak mempelai lintô barô kembali
mengatakan bahwa doa tersebut selalu dibaca oleh anak mereka dalam Al quran. Pemantun
menjelaskan secara tidak langsung kepada pendengar bahwa pihak mempelai lintô
barô kesal atas aggapan dari pihak mempelai dara barô yang meragukan mempelai
lintô barô.
Data 5
Beuthat
tan malém neu eu lagèe nyoe, tapi jitém peutimang
Aneuk
lôn tuan tgk meuphom agama
Abéh
lôn puebloe tanöh-tanöh blang
’Èeleumèe tuhan lôn yu jak mita
Phôn
lôn yu jak beut, bak droe jih neu tanyong
Yéh
ho u Palestinadiwoe di sinan u Arabia
(lampiran, halaman
5 bait ke 4)
Pantôn seumapa di atas mendeskripsikan tentang perasaan kesal yang dialami
oleh pihak mempelai lintô barô. Hal tersebut terjadi karena pihak mempelai dara
barô yang meragukan akan ilmu yang dimiliki oleh mempelai lintô barô. Tetapi,
pihak mempelai lintô barô menyatakan bahwa mempelai lintô barô mengerti tentang
agama, bahkan mereka sampai menjual tanah persawahannya demi anaknya menuntut
ilmu. Pemantun menjelaskan secara tidak langsung kepada pendengar bahwa pihak
mempelai lintô barô kesal atas aggapan dari pihak mempelai dara barô yang
menganggap mempelai lintô barô adalah orang yang tidak memahami tentang agama.
Data 6
Dijak
kuliah lom u nanggroe Jeureuman
Diwoe
di sinan barô nanggroe Kanada
Dijak
côk titél di nanggroe Jepang
Diwoe
di sinan baroe u Alu Kala
’Oh
trôk u Alu Kala barô geujôk jabatan
Luwa ngön dalam aneuk lôn tuan nyoe ’Èeleumèe kana
(lampiran, halaman
5 bait ke 5)
Pantôn seumapa di atas menggambarkan tentang perasaan kesal yang dialami
oleh pihak mempelai lintô barô. Hal tersebut terjadi karena pihak mempelai dara
barô yang masih meragukan ilmu yang dimiliki oleh mempelai lintô barô. Tetapi,
pihak mempelai lintô barô menyatakan bahwa mempelai lintô barô sudah menuntut
ilmu ke mana saja, jadi untuk ilmu umum dan agama yang dimiliki oleh mempelai
lintô barô sudah tidak harus diragukan lagi. Pemantun menjelaskan secara tidak langsung
kepada pendengar bahwa pihak mempelai lintô barô kesal atas aggapan dari pihak
mempelai dara barô yang menganggap mempelai lintô barô adalah orang yang tidak
memiliki ilmu atau tidak paham tentang ilmu, baik ilmu umum maupun agama.
Data
7
Bak
meuraksa hai tgk di teungöh buleuen
Patah
saboh deung si layèe jeumpa
Sabab
meunyö hana meukrie nyan lintô nyan
Hana
jadèh lôn tueng, bah lé neuraheung sinan di luwa
Nyoe
han lôn bie gilhö meu aneuk rienyeun
Neu
döng lam seuuem sampoe ’oh poh sa
(lampiran,
halaman 6 bait ke
1)
Pantôn
seumapa di atas menggambarkan tentang perasaan kesal si pemantun dari pihak mempelai dara barô yang
terlihat pada tiga baris terakhir yang melukiskan bahwa pihak mempelai dara
barô tidak berkenan kepada pihak mempelai lintô barô, sehingga pihak mempelai
lintô barô tidak diizinkan memasuki rumah mempelai dara barô bahkan pihak
mempelai lintô barô disuruh berdiri di luar rumah dan tidak diperkenankan untuk
menginjakkan kakinya di tangga rumah, selain itu mereka juga disuruh berdiri di
luar sampai jam 13.00. Pemantun menjelaskan secara tidak langsung kepada pendengar
bahwa dari pihak mempelai dara barô tidak berkenan dengan pihak mempelai lintô
barô dan tidak menunjukkan rasa keakraban atau persaudaraan kepada pihak
mempelai lintô barô yang sudah hadir di hadapan mereka.
Data 8
Tajak
u Cöt Go tgk beutrök u Piyeueng
Tajak
u Leupung röt jalan Lhoknga
Meuka
bicah phèt sakét lam tuleueng
Beurangsoe
ureueng sinoe jeut neutanyöng pasti han ék disaba
Padum krèk ija neupeugah sinoe nyang ka lôn diyeueng
Padum
droe ureueng saknyoe neukheun sinoe nyan ka lôn kupra
Nyoe lintô barô nyoe umpama ija palikat kamoe meuka
meujeut jak tiyeueng
Kön
ija meuteumeung lam guni monja
(lampiran,
halaman 6 bait ke 7)
Pantôn seumapa di atas menggambarkan
tentang perasaan kesal si pemantun dari pihak mempelai lintô
barô yang terlihat hampir disetiap baris bait tersebut. Rasa kesal tersebut muncul karena pihak mempelai
dara barô sudah mengeluarkan kata-kata yang tidak seharusnya diucapkan. Pihak
lintô barô tidak terima atas apa yang dilontarkan oleh pihak dara barô, yang
membuat rasa kesabaran mereka hilang dan kedatangan mereka seperti tidak
dihargai. Tetapi, pihak lintô barô tidak mau kalah dengan memberikan pembelaan
kepada lintô barô yang mereka dampingi tersebut seperti kain sarung yang bagus,
bukan kain murahan dijumpai disembarang tempat atau dalam goni. Pemantun
menjelaskan secara tidak langsung kepada pendengar bahwa dari pihak mempelai
lintô barô tidak berkenan dengan cara pihak mempelai dara barô menyambut
kedatangan pihak mempelai lintô barô. Bahkan pihak tuan rumah telah membuat
rasa sakit hati pihak mempelai lintô barô.
Data 9
Tajak
u Gayo tgk tawoe röt Bireuen
Tajak
u Bayeun röt Sungo Raya
Meunyoe
até ka teupèh beurangsoe jeut neutanyöng han ék tapeutheun
Neutém
yu raheueng kamoe di luwa
Sampé
han neubie gilhö meu aneuk rienyeun
Pat
töh neuteumeung lagèe nyoe haba
(lampiran,
halaman 7 bait ke 1)
Pantôn
seumapa di atas mendeskripsikan tentang perasaan kesal si pemantun dari pihak mempelai lintô barô yang
terlihat pada tiga baris terakhir yang melukiskan bahwa pihak mempelai lintô
barô merasakan rasa sakit hati yang mendalam karena pihak mempelai dara barô
telah menyuruh mereka hanya diam di luar dan tidak boleh menginjakkan kaki
mereka di tangga. Pemantun mengungkapkan secara tidak langsung kepada pendengar
bahwa pihak mempelai lintô barô tidak menerima perlakuan dari pihak mempelai
dara barô, bahkan rasa kesal
dan sakit hati mereka tidak terbendung lagi.
Data 10
Meunyö
lintô uroe nyoe katrok lôn puwoe bit-bit han neutueng
Nyan
ka neutaguen dari beuklam nyan keu soe neu neuk ba
Bah
sinan basi ju geurayueng
Lôn
lakèe ijin lintô jak ta peugisa
(lampiran,
halaman 7 bait ke 2)
Pantôn
seumapa di atas menggambarkan tentang perasaan kesal si pemantun dari pihak mempelai lintô barô yang
terlihat pada dua baris terakhir yang melukiskan bahwa pihak mempelai lintô
barô akan mengajak pulang mempelai lintô barô, dikarenakan mereka sudah tidak
sanggup lagi mendengar apa yang tidak lontarkan oleh pihak mempelai dara barô
yang selalu menyudutkan mempelai lintô barô. Bahkan mereka tidak mau menerima
kedatangan mempelai lintô barô. Pemantun menjelaskan secara tidak langsung
kepada pendengar bahwa pihak mempelai lintô barô tidak mau menerima perlakuan
dari pihak mempelai dara barô dan mereka akan mengajak mempelai lintô barô
untuk pulang.
4)
Menyatakan Susah-gundah
Data
1
Krue seumangat hai muda samlakoe
Pakön neuk jula that uroe keunoe
neuteuka
Pukeuh na halangan bunoe bak
tajak keunoe
Kamoe ka rangoe sinoe bak
meuprèh syedara
Ranub-ranub
ka layèe ka jietèt lé uroe
Kamoe ka rangoe bak meuprèh
aneuk da
(lampiran, halaman
2 bait ke 4)
Pantôn seumapa
di atas mendeskripsikan tentang perasaan susah dan gundah yang dialami oleh
pihak mempelai dara barô. Hal tersebut jelas terlihat dari bait pantun tersebut
yang menyatakan perasaan susah dan gundah ketika pihak dara barô menunggu
kedatangan pihak lintô barô yang tak kunjung sampai dan khawatir terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan dalam perjalanan, bahkan pada dua baris terakhir
pihak dara barô menyatakan bahwa daun sirih pun sudah layu karena terjemur
diterik matahari. Pemantun menjelaskan secara langsung kepada pendengar bahwa
pihak mempelai dara barô susah dan gundah menanti kedatangan pihak mempelai
lintô barô.
5)
Menyatakan Kecewa
Data 1
Meuseu
adak na tabloe saboh Honda
Tiep
uroe masa ta ba bak jalan
Meuseu
bhan dalam hai tgk tabôh u luwa
Peukeuh na meurasa tgk meunyoe lagèe nyan
Bôh
kajeut cit neubôh di dalam raga
Kön neutôp meuselingka nak meudèh nyan ngön ija itam
Nyoe
malèe lôn that-that bak kaôm lingka
Sang
lagèe neukeunak ba keudèh nibak pameran
Kön
cit lôn protèh tgk nyan teuka
Adat
ngön budaya hai tgk bèk neupeumeunan-meunan
Pakön
tgk galak that keu budaya luwa
Budaya
droe teuh na pakön han neupeutimang
(lampiran,
halaman 3 bait ke 4)
Pantôn seumapa di atas mendeskripasikan tentang perasaan kecewa yang
dirasakan oleh pihak mempelai dara barô atas bungkusan yang dibawa oleh pihak
mempelai lintô barô. Pihak mempelai dara barô merasa kecewa karena isi
bungkusan tersebut dapat dilihat dengan jelas dari luar, selayaknya bungkusan
tersebut dibungkus rapi dan tertutup. Pihak dara barô beranggapan bahwa dengan
begitu seakan-akan isi keranjang tersebut akan dibawa ke pasar. Rasa kekecewaan
tersebut juga jelas terlihat pada dua baris terakhir yang diumpamakan oleh
pihak mempelai dara barô dengan budaya yang tidak diindahkan. Pemantun
menjelaskan secara tidak langsung kepada pendengar bahwa pihak mempelai dara
barô kecewa atas apa yang dibawa oleh pihak mempelai lintô barô.
Data 2
Aneuk
leuek putrue di công bak panjo
Teungöh cöt uroe lagèe nyoe jipö u luwa
Nyoe
ujông ka nuejungkat sang uram ka neugilhö
Laén
that bagoe ka cara seumapa
(lampiran,
halaman 4 bait ke 5)
Pantôn
seumapa di atas menggambarkan tentang perasaan kecewa yang dirasakan oleh pihak
mempelai lintô barô, di mana cara seumapa pihak mempelai dara barô sudah
berbeda dan banyak yang memojokkan pihak mempelai lintô barô. Rasa kekecewaan
tersebut terlihat jelas dalam bait pantun tersebut. Pemantun menjelaskan secara
tidak langsung kepada pendengar bahwa pihak mempelai lintô barô kecewa dengan
cara seumapa pihak mempelai dara barô.
Data 3
Reudôk
di Aceh tgk ujeuen di Padang
Bicah
geulumbang éh ho u pulô Jawa
Nyoe meujungkat ujông wap neugilhö uram
Nyoe
ka laén ragam lom cara seumapa
(lampiran,
halaman 5 bait ke 2)
Pantôn
seumapa di atas mendeskripsikan tentang perasaan kecewa yang dirasakan oleh
pihak mempelai lintô barô, di mana cara seumapa pihak mempelai dara barô sudah
berbeda dan banyak yang memojokkan pihak mempelai lintô barô. Rasa kekecewaan
tersebut terlihat jelas dalam bait pantun tersebut. Pemantun menjelaskan secara
tidak langsung kepada pendengar bahwa pihak mempelai lintô barô kecewa dengan
cara seumapa pihak mempelai dara barô.
Data 4
Reudôk
di glé ujeuen meugeudhum
Hanyöt dalam krung cabeueng geulima
Lôn jak seumapa phôn dari Banda Aceh sampoe trok é ho u
Alu Papeun
Gohlom
lôn teumeung lagèe nyoe haba
(lampiran,
halaman 7 bait ke 3)
Pantôn seumapa di atas menggambarkan tentang perasaan kecewa yang dirasakan
oleh pihak mempelai lintô barô atas cara seumapa oleh pihak mempelai dara barô
yang sudah tidak menunjukkan keakraban tetapi sebaliknya, bahkan pihak lintô
barô menyatakan bahwa belum pernah mendengar perkataan yang seperti itu. Pemantun
menjelaskan secara tidak langsung kepada pendengar bahwa pihak mempelai lintô
barô kecewa dengan cara seumapa pihak mempelai dara barô.
Data 5
Watèe
ie surôt hai tgk jimudèp udeueng
Watèe
ie paseueng hai tgk jimudèp kadra
Meubaroe
siat di tgk lôn yu raheueng
Ka mirah ôn glunyueng ka seuuem ngön muka
(lampiran,
halaman 7 bait ke 7)
Pantôn seumapa di atas mendeskripsikan tentang perasaan kecewa yang
dirasakan oleh pihak mempelai dara barô, di mana mereka merasa kecewa kepada
pihak mempelai lintô barô yang terlihat jelas pada dua baris terakhir yaitu
kekecewaan pihak mempelai dara barô karena pihak mempelai lintô barô baru
sebentar disuruh tunggu di luar tetapi menjadi marah, yaitu tersirat dalam
baris terakhir ”Ka mirah ôn glunyueng ka seuuem ngön muka”. Pemantun
menjelaskan secara tidak langsung kepada pendengar bahwa pihak mempelai dara
barô kecewa dengan tanggapan yang diberikan oleh pihak mempelai lintô barô.
6)
Menyatakan Malu
Data 1
Meunyoe neujôk lapan uroe nyoe lôn
pulang teutap sikureueng
Talô han lôn tueng di lôn meunang
lôn mita
Bèk lam ’an talô kamoe uroe nyoe
seurie meuhan meutueng
Malèe meungön ureueng watèe
meugisa
(lampiran,
halaman 7 bait ke 5)
Pantôn seumapa di atas menggambarkan tentang perasaan
malu yang dialami oleh pihak mempelai lintô barô, hal tersebut terlihat jelas
pada dua baris terakhir, yaitu pihak mempelai lintô barô tidak mau menerima
kekalahan atas perdebatan yang terjadi antara pihak mempelai dara barô, karena
pihak lintô barô merasa malu dengan orang sekitar pada saat pulang. Pemantun
menjelaskan secara langsung kepada pendengar bahwa pihak mempelai lintô barô
malu terhadap orang sekitar, jika
seandainya tidak bisa melanjutkan kegiatan seumapa tersebut atau kalah.
7)
Menyatakan Gembira
Data 1
Assalamualaikôm
tgk di sinoe
Saleuem
bak kamoe uroe nyoe deungön rombongan lôn sanjông sapa
Nibak
uroe nyoe geutanyoe sinoe
Bandum
ka meureumpök muka
Titah
sultan peusan bak kamoe
Ngön
lidah ulôn nyoe tgk geuyue sambông haba
(lampiran, halaman
1 bait ke 1)
Pantôn seumapa di atas mendeskripsikan tentang perasaan gembira atau
bahagia yang dialami oleh pihak mempelai lintô barô, hal tersebut dikarenakan
mereka telah sampai di tempat pihak mempelai dara barô dan menyatakan bahwa
akan memulai pembicaraan dan bertegur sapa antara kedua belah pihak, baik pihak
mempelai dara barô maupun pihak mempelai lintô barô. Pemantun menjelaskan
secara langsung kepada pendengar bahwa pihak mempelai lintô barô merasa gembira
karena telah sampai di tempat yang dituju dengan selamat.
Data 2
Ho
tuan biesan, Tgk H. Sofian neulangkah keunoe
Nyoepat
aneuk droeneuh uroe nyoe katrok kamoe ba
Neujak teurimöng nyoekeuh deungön dua jaroe
Nyoekeuh
judô cut putroe singöh keuasoe kamba
(lampiran, halaman
1 bait ke 2)
Pantôn seumapa di atas menggambarkan tentang perasaan gembira yang
dirasakan oleh pihak mempelai lintô barô yang telah mengantarkan mempelai lintô
barô dan diserahkan kepada orang tua dari mempelai dara barô, dan meminta
kepada orang tua dari mempelai dara barô untuk menyambut kedatangan dan
menerimanya, yang merupakan jodoh dari anak mereka. Pemantun menjelaskan secara
langsung kepada pendengar bahwa pihak mempelai lintô barô merasa gembira karena
telah mengantarkan mempelai lintô barô ke rumah mempelai dara barô.
Data 3
Bismillahirrahmanirrahim
Alaikôm
salam hai tgk lôn sambôt saleuem
Seureuta lôn kheuen syarat mulia
Yôh masa nabi cit kaleuh geukheun-kheun soe nyan sambôt
saleuem
Sadum
ngön naleueng tuhan bie fala
(lampiran, halaman
2 bait ke 3)
Pantôn seumapa di atas mendeskripsikan tentang perasaan gembira dari pihak
mempelai dara barô ketika menjawab salam yang diucapkan dari pihak mempelai
lintô barô yang telah datang. Selain itu, menjwab salam merupakan sebuah
perbuatan yang akan mendapat pahala di sisi Allah swt. Pemantun menjelaskan secara
langsung kepada pendengar bahwa pihak mempelai dara barô merasa
gembira atas kedatangan pihak mempelai lintô barô.
Data 4
Kareuna
pukat ka meusawak jaréng
Kareuna putèng ka meusawak bara
Kareuna aneuk miet geutanyoe uroe nyoe dua ka tapeukawen
Geutanyoe nyan laén pu kön ka jeut keu syedara
Teuman
beu that pih nyan tgk ba saka sikilô
Teurasa
bak kamoe nyoe ka saboh raga
(lampiran, halaman
3 bait ke 2)
Pantôn seumapa di atas menggambarkan tentang perasaan gembira yang
dirasakan oleh pihak mempelai dara barô karena dengan adanya pernikahan
tersebut maka mereka akan menjadi saudara, dan perasaan gembira pun terhadap
terpancar dari raut wajah pihak mempelai dara barô ketika menerima apa yang
telah dibawa oleh pihak mempelai lintô barô. Hal tersebut terlihat jelas dari
mulai baris ketiga sampai terakhir. Pemantun menjelaskan secara langsung kepada pendengar
bahwa pihak mempelai dara barô merasa gembira atas pesta pernikahan tersebut
yang dapat mempererat persaudaraan di antara mereka serta menerima dengan
senang hati apa yang dibawa oleh pihak mempelai lintô barô.
8)
Menyatakan Takut
Data 1
Beungèh
cina hai tgk seulampang lhèe dara
Beungèh
rakan kaôm nyan droe prèh
Sumpah kalowie janji ka leupah
Meunyoe neu ubah hai kamoe uroe nyoe barô takih
(lampiran, halaman
8 bait ke 1)
Pantôn seumapa di atas menggambarkan tentang perasaan takut yang dialami
oleh pihak mempelai dara barô atas keputusan yang dibuat oleh pihak mempelai
lintô barô yang ingin kembali ke rumah mereka dan acara pesta pernikahannya
dibatalkan. Pemantun menjelaskan secara langsung kepada pendengar bahwa pihak
mempelai dara barô merasa takut atas keputusan dari pihak mempelai lintô barô
yang tidak ingin melanjutkan acara pesta pernikahan tersebut.
9)
Menyatakan Kurang Senang
Data 1
Meu
ie di laôt tgk hai meupuséng gisa
Dalam kuala bicah geulumbang
Ka lôn teurimöng pu nyan tgk ba
Ngön
jaroe dua dilôn ngön haté seunang
Teuman nyan leupah teukeujöt ’oh lôn kalön nyan asoe raga
Sang
bruek u muda keunoe leumah lôn pandang
Nyoe
ka meupue wareuna inan ka meudum ukuran
Allah
e tuhan nyoe biet sang hana lé kada
(lampiran, halaman
3 bait ke 3)
Pantôn seumapa di atas mendeskripsikan tentang perasaan kurang senang yang
dirasakan oleh pihak dara barô atas apa yang dibawaoleh pihak mempelai lintô
barô. Sebelumnya mereka telah menerima, hanya saja rasa kurang senang tersebut
muncul ketika pihak dara barô melihat isi keranjang yang terlihat dengan jelas
dari luar. Hal tersebut tersirat pada baris kelima dan keenam. Pemantun
menjelaskan secara langsung kepada pendengar bahwa pihak mempelai dara barô
merasa kurang senang terhadap bagaimana pihak mempelai lintô barô membungkus
barang bawaannya.
10)
Menyatakan Ikhlas
Data 1
Umpama
jagông goh punoh asoe
Adak
boh panjo tgk mantöng meusukra
Adat
istiadat aneuk lôn tuan nyoe mungkén gohlom göt meuhoe
Maklum
tgk droe aneuk lôn nyoe mantöng that
muda
Dak
beda adat uroe nyoe bèk that neupakoe
Nyan
peunténg geutanyoe tgk di sinoe taat agama
Kadang
na salah tingkah aneuk lôn tuan siegeutue sahoe
Harapan
kamoe bak tgk beuneutém bina
’Oh
jiwoe keudéh jeut pulang keu kamoe
’Oh
jiwoe keunoe mungkén tgk usaha
Rayeuek that laba nibak uroe nyoe
Meutamah
sidroe dalam gampông nyoe di dalam kaka
(lampiran, halaman
1 bait ke 3)
Pantôn seumapa di atas menggambarkan tentang rasa ikhlas yang diharapkan oleh pihak mempelai lintô barô
ketika memulai kegiatan seumapa dengan pihak mempelai dara barô. Rasa ikhlas
tersebut dilukiskan oleh pihak mempelai lintô barô dimulai pada baris ketiga
sampai baris terakhir, yaitu dengan menyatakan bahwa adat istiadat di sini
belum dipahami sepenuhnya oleh mempelai lintô barô, harapannya semoga dibina.
Begitu juga sebaliknya jika mempelai dara barô ke tempat mempelai lintô barô. Pemantun
menjelaskan secara tidak langsung kepada pendengar bahwa pihak mempelai lintô
barô mengharapkan rasa keikhlasan pada pihak mempelai dara barô agar mau
membina mempelai lintô barô, begitu juga sebaliknya.
Data 2
Reudôk
meugantung tgk teungöh cöt uroe
Alamat
nanggroe tuhan bie bala
Haba
bacut lôn balék uroe nyoe titék meugantoe
Cit meunoe bagoe cara seumapa
Nyan bèk neuharap uroe nyoe bak kamoe tgk keu barang peuneuwoe
Atau pih keu bungöng jaroe hana ngön kamoe bloe tgk hana
beulanja
(lampiran, halaman
1 bait ke 4)
Pantôn seumapa di atas mendeskripsikan tentang rasa ikhlas yang diharapkan
oleh pihak mempelai lintô barô dari pihak mempelai dara barô agar mau menerima
dengan ikhlas kedatangan mereka tanpa mengharapkan bingkisan, karena mereka
tidak memiliki uang untuk membelinya. Hal tersebut terlihat jelas pada baris
kelima dan keenam bait pantun tersebut. Pemantun menjelaskan secara langsung kepada pendengar bahwa
pihak mempelai lintô barô mengharapkan keikhlasan dari pihak mempelai dara barô
atas kedatangan mereka tanpa pamrih.
Data 3
Mangat
bèk putôh na dua boh bungkôh kamoe bunoe na teuba keunoe
Meunyö
keu asoe tgk meu’ah meusapue hana
Mangat
bèk putôh na cit ulôn bôh saka sikiloe
Nyan
pih kön atra kamoe bloe tgk atra saudara ba-ba
(lampiran, halaman
1 bait ke 5)
Pantôn seumapa di atas menggambarkan tentang rasa ikhlas yang ditunjukan
oleh pihak mempelai lintô barô kepada pihak mempelai dara barô. Hal tersebut
jalas terlihat dalam bait pantôn di atas, berupa bungkusan yang isinya gula
sekilo yang dibawa oleh pihak mempelai lintô barô untuk pihak mempelai dara
barô. Selain itu, rasa keikhlasan juga diharap dari pihak mmepelai dara barô
untuk menerima apa yang dibawa, meskipun hanya gula sekilo. Pemantun
menjelaskan secara tidak langsung kepada pendengar bahwa pihak mempelai lintô
barô memberi dengan keikhlasan dan mengharapkan keikhlasan dari pihak mempelai
dara barô atas barang yang dibawa.
Data 4
Krue
seumangat rahmat nibak po
Meumada
èh noe dilèe lôn peuphoen sapa
Pulang
keu tgk nyan po teumpat nyoe
Dua
blah jaroe kamoe ateueh jeumala
Akhirulkalam
haba ka sampoe
’Oh
noe seuleusoe dilèe lôn sapa
Teurimöng
geunaséh dari kamoe rombongan lintô barô
Pulang
keu gurèe nyan po teumpat
(lampiran,
halaman 2 bait ke 2)
Pantôn seumapa di atas menggambarkan tentang rasa ikhlas yang ditunjukkan
oleh pihak mempelai lintô barô ketika mengakhiri seumapanya dan memohon maaf
jika ada kesalahan serta mengucapkan terima kasih kepada pihak mempelai dara
barô yang telah menunggu kedatangan mereka serta memberikan kesempatan bicara
kepada pihak mempelai dara barô. Pemantun menjelaskan secara langsung kepada
pendengar bahwa pihak mempelai lintô barô mengungkapkan rasa keikhlasan yang
dalam atas penyambutan mereka.
Data 5
Mungkén
di Panton Labu adat bak tgk kön lagèe nyoe
Bôh
sigeutue sahoe nyoe kön hana that beda
Teuman
beunoe na tgk meuteuöh keu barang peuneuwoe
Tgk
na neubloe neupeugah sikilô saka
Hana
that meuharap dikamoe nyan hai tgk keu barang peuneuwoe
Nyan peunténg
geutanyoe uroe nyoe beujeut keu syedara
(lampiran, halaman
3 bait ke 1)
Pantôn seumapa di atas menggambarkan tentang rasa ikhlas yang ditunjukkakn
oleh pihak mempelai dara barô kepada pihak mempelai lintô barô, hal tersebut
jelas terlihat pada dua baris terakhir bait pantun tersebut yaitu pihak
mempelai dara barô dengan rasa ikhlasnya tidak mengharapkan bingkisan dari
pihak mempelai lintô barô, tetapi yang terpenting adalah mereka bisa menyambung
tali persaudaraan antara kedua belah pihak. Pemantun menjelaskan secara
langsung kepada pendengar bahwa pihak mempelai dara barô menunjukkan rasa
keikhlasannya dengan tidak mengharapkan sesuatu dari pihak mempelai lintô barô.
Data 6
Lôn lakèe meu’ah
bak syeh do brama
Hana seungaja
dikamoe nyan salah bak pasang
Sabab nyan bôh peunuwoe lintô lôn kalön beuklam di dalam raga
Buet ibuk PKK lôn kalön beuklam
’Oh leuh geupasoe tuwö bak geuparéksa
Memang ureueng
katuha mata kureueng trang
Mungkèn lôn lakèe meu’ah kali nyoe di kamoe ka rôh meubôh lam raga
Nyan akan teuka
eunteuk kön jeut ta bôh lam eumpang
(lampiran, halaman
4 bait ke 1)
Pantôn seumapa di atas menggambarkan tentang rasa ikhlas yang diungkapkan
oleh pihak mempelai lintô barô yang mengakui kekeliruan mereka pada saat
membungkus bingkisan yang dibawa untuk pihak mempelai dara barô serta meminta
maaf dan pada kesempatan yang akan datang mereka akan memperbaiki sesuatu yang
tidak berkenan pada hari tersebut menjadi lebih baik lagi. Rasa keikhlasan
seperti ini sungguh sangat jarang dijumpai, di mana seseorang mau mengakui
kesalahannya dan akan memperbaiki dikeesokan harinya. Pemantun menjelaskan
secara langsung kepada pendengar bahwa pihak mempelai lintô barô menunjukkan
rasa keikhlasan kepada pihak mempelai dara barô dengan berani mengakui
kekeliruan mereka.
Data 7
Sabab adat Aceh
nyoe bak kamoe pih kana
Tapi beusama-sama
tgk ta tém peutimang
Bèk bak kamoe
singöh neuyue tôp, nyan laen di buka
Nyan kiamat dônya
adat nyan hana berjalan
Cuma kritik ngön
saran syeh do brama
Lôn peumulia uroe
nyoe ngön dada lapang
(lampiran, halaman
4 bait ke 2)
Pantôn seumapa di atas menggambarkan tentang rasa ikhlas yang ditunjukkan
oleh pihak mempelai lintô barô kepada pihak mempelai dara barô. Hal tersebut
jelas terlihat padadua baris terakhir bait pantun tersebut yaitu dengan
ikhlasnya pihak mempelai lintô barô mau menerima kritikan dan masukan dari
pihak mempelai dara barô dengan dada lapang, tanpa saling menyalahkan. Pemantun
menjelaskan secara langsung kepada pendengar bahwa pihak mempelai lintô barô
menunjukkan rasa keikhlasan yang dalam dengan cara mau menerima kritikan dari
pihak mempelai dara barô.
11)
Menyatakan Ragu-ragu
Data 1
Sulu-sulu bayu di
gunông
Kulét bèe bungöng
asoe bèe mala
Seugolom tgk lôn peuijin tamöng
Lôn neuk teumanyöng meudua krèk haba
(lampiran, halaman
4 bait ke 3)
Pantôn
seumapa di atas menggambarkan tentang perasaan ragu-ragu yang ditunjukkan oleh
pihak mempelai dara barô terhadap mempelai lintô barô. Hal tersebut terlihat
pada dua baris terakhir bait pantôn tersebut yaitu pihak mempelai dara barô
tidak langsung mengizinkan pihak mempelai lintô barô memasuki rumah tetapi
mereka menanyakan terlebih dahulu beberapa pertanyaan. Pertanyaan yang diajukan
tersebutlah yang menyebabkan rasa keragu-raguan dari pihak mempelai dara barô. Pemantun
menjelaskan secara tidak langsung kepada pendengar bahwa pihak mempelai dara
barô memiliki rasa keragu-raguan terhadap mempelai lintô barô.
Data 2
’Oh watèe beungöh
hai tgk keumang ôn jatoe
’Oh watèe cöt uroe
keumang ôn capa
Pakön teuman
meugrit that nyoe lintô neupuwoe
Meudô’a manoe tgk
pu kajeut dibaca?
Meunyö gohlom jeut
dibaca nyan dô’a manoe
Neuyue jak
meureunoe dilèe bak ulama
Nyoe dara barô lôn
hana payah lèe di jak meureunoe
Cit aneuk ureueng
meupoe cuco ulama
(lampiran, halaman
4 bait ke 4)
Pantôn
seumapa di atas mendeskripsikan tentang perasaan ragu-ragu yang ditunjukkan
oleh pihak mempelai dara barô terhadap mempelai lintô barô. Hal tersebut jelas
terlihat pada baris keempat bait pantôn tersebut, di mana baris tersebut
mengandung pertanyaan yang masih meragukan bagi pihak mempelai dara barô, yaitu
apakah mempelai lintô barô sudah bisa membaca doa mandi. Bahkan pihak mempelai
dara barô menyatakan jika belum bisa hendaknya mempelai lintô barô belajar
terlebih dahulu. Pemantun menjelaskan secara langsung kepada pendengar bahwa
pihak mempelai dara barô menunjukkan rasa keraguan terhadap mempelai lintô barô
yang terungkap melalui pertanyaan yang diajukan oleh pihak mempelai dara barô
dalam bait pantun tersebut.
Data 3
Di công ibôh hai
tgk puyôh meu agam
Di công keutapang
aneuk leuek puwa
Nyoe dô’a manoe
neupeugah kabéh jeut dipham
Dô’a buka idang
pue kajeut dibaca?
Pintô lôn palang
Neudöng sinan di
luwa
(lampiran, halaman
5 bait ke 1)
Pantôn
seumapa di atas menggambarkan tentang perasaan ragu-ragu yang ditunjukkan oleh
pihak mempelai dara barô terhadap mempelai lintô barô. Hal tersebut juga
terlihat jelas dalam dua baris terakhir bait pantun tersebut, di mana pihak
mempelai dara barô mengajukan pertanyaan kepada mempelai lintô barô, yaitu
apakah ia sudah bisa membaca ”dô’a buka idang/doa bersetubuh”. Pemantun
menjelaskan secara langsung kepada pendengar bahwa pihak mempelai dara barô
menunjukkan rasa keraguan terhadap mempelai lintô barô yang terungkap melalui
pertanyaan yang diajukan oleh pihak mempelai dara barô dalam bait pantun
tersebut.
12)
Menyatakan Sayang
Data 1
Aneuk cém pala di
công bak panjoe
Teungöh cöt uroe lagèe nyoe tgk diwoe lam rimba
Neupeuhah tgk jurông payông meugantoe
Bèk trép that kamoe deungön rombongan lagèe nyoe sinoe di lua
Gampông lôn jarak
bak lôn jak keunoe
Neusayang keu
kamoe uroe nyoe tgk meusiblah mata
Bèk lé neubie döng lagèe nyoe kamoe lam uroe
Reuôh kajiepö bak aneuk kamoe neukalön ka basah muka
(lampiran, halaman
2 bait ke 1)
Pantôn
seumapa di atas mendeskripsikan tentang perasaan sayang yang diharapkan oleh
pihak mempelai lintô barô dari pihak mempelai dara barô, yang tersirat mulai
dari baris ketiga samapai baris terakhir bait pantôn tersebut, yaitu pihak
mempelai lintô barô mengharapkan rasa sayang dari pihak mempelai dara barô
sehingga mereka dipersilahkan masuk ke rumah dan tidak lagi berdiri di luar
rumah, di mana cuacanya pun sangat tidak mendukung sampaikeringat sudah
membasahi wajah mempelai lintô barô. Pemantun menjelaskan secara langsung
kepada pendengar bahwa pihak mempelai lintô barô mengharapkan rasa kasih sayang
dari pihak mempelai dara barô agar mereka diizinkan masuk ke rumah.
Data 2
Alhamdulillah hai
aneuk katroek cit keunoe
Deungön ijin po
uroe nyoe katroek tateuka
Beuthat beujiôh
sidéh di Panton Labu bak tajak keunoe
Taprèh hai aneuk
droe sinan siat di luwa
Sabab cit ka
meunan adat hai aneuk meuhat bak tanyoe
Masa saboh uroe di
lèe kön kana
Nyoe ta peutimang
adat bèk sampèe tapubloe nanggroe
Bèk sampèe lé
tabloe budaya luwa
Bèk lé gop
peubangai nyoe bandum geutanyoe
Nyoe budaya droe
lagèe nyoe beu göt tajaga
Beujuet ta pulang
keu aneuk cucoe
Marwah geutanyoe
hai nyak bèk rôh gop hina
(lampiran, halaman
2 bait ke 5)
Pantôn seumapa di atas menggambarkan tentang perasaan sayang yang
ditunjukkan oleh pihak mempelai dara barô terhadap pihak mempelai lintô barô
yang sudah menunggu kedatangan mereka. Meskipun demikian, bukan berarti pihak
mempelai dara barô mengizinkan pihak mempelai lintô barô untuk langsung masuk
ke rumah, mereka tetap diperkenankan menunggu di luar terlebih dahulu, semua
itu disebabkan oleh adat yang berlaku di tempat pihak mempelai dara barô.
Selain itu, pihak mempelai dara barô juga mengharapkan kepada pihak mempelai
lintô barô untuk menghargai adat istiadat tempat mereka dan terus
mengindahkannya. Pemantun menjelaskan secara tidak langsung kepada pendengar
bahwa pihak mempelai dara barô mengungkapkan rasa kasih sayang terhadap pihak
mempelai lintô barô, serta rasa sayang pihak mempelai dara barô terhadap adat
dan budaya mereka.
Data 3
Meunyoe tajak u
Lhok Nibong hai tgk beutrôk u panté Bidari
Meukrie-krie sinan
di gampông ma
Bèk lèe hai tgk geutanyoe meudakwa-meudakwi
Sang hana göt hi
’oh gop ngieng rupa
Pulom aneuk miet
nyoe uroe nyoe ka sah suami isteri
Ka geumeukhanduri
neukalon nyoe geupeugöt pesta
Dua boh keluarga
nyoe kajeut keu taloe wali
Meu GAM ngön RI
jinoe pih hana lèe dawa
(lampiran, halaman
8 bait ke 2)
Pantôn
seumapa di atas menggambarkan tentang perasaan sayang yang ditunjukkan oleh
pihak mempelai dara barô kepada pihak mempelai lintô barô, yaitu dengan meminta
kesediaan kepada pihak mempelai lintô barô untuk tidak lagi berselisih paham,
apalagi kedua anak mereka sudah menjadi suami-istri dan dua keluarga tersebut
telah menjadi saudara. Pemantun menjelaskan secara tidak langsung kepada
pendengar bahwa pihak mempelai dara barô mengungkapkan rasa kasih sayang mereka
kepada pihak mempelai lintô barô dengan tidak lagi berselisih paham.
Data 4
Aneuk tulô hai tgk
jipö ngön kawan
Aneuk rat nanggang teureubang dua
Pintô pih ka lôn buka hai tgk payông pih ka lôn keumang
Lôn peusilakan bandum syedara
Ho ka ma peudampéng côk ranup batèe neubôh lam puan
Neujak tueng
rombongan déh pat di luwa
(lampiran, halaman
8 bait ke 3)
Pantôn seumapa di atas menggambarkan tentang perasaan sayang yang
ditunjukkan oleh pihak mempelai dara barô kepada pihak mempelai lintô barô,
serta menunjukkan rasa keakraban antara kedua belah pihak dengan mempersilahkan
pihak mempelai lintô barô memasuki rumah pihak mempelai dara barô. Selain itu,
pihak mempelai dara barô juga menyuruh salah satu dari keluarga mempelai dara
barô untuk menjemput rombongan lintô barô. Pemantun menjelaskan secara langsung
kepada pendengar bahwa pihak mempelai dara barô menunjukkan rasa kasih sayang
terhadap pihak mempelai lintô barô dengan menjemput lintô barô beserta
rombongan masuk ke dalam rumah.
Data 5
Neuduek neupiyôh
hai tgk pat-pat nyan lapang
Deungön makanan
cit ka kamoe siap sedia
Neupeusingét cipé neupeubasah jaroe
Maklum tgk droe meubu ngön sira
Engkôt di laôt peuwèt-wèt iku
Tgk pajôh bu kuah
ie mata
Kuah boh labu gulè
bak pisang
Cit meunan reusam
kamoe di desa
(lampiran, halaman 8
bait ke 4)
Pantôn
seumapa di atas mendeskripsikan tentang perasaan sayang yang ditunjukkan oleh
pihak keluarga mempelai dara barô yang diwujudkan dengan cara mempersilahkan
rombongan lintô barô mengambil tempat dan menikmati makanan yang telah
disediakan oleh pihak dara barô. Pemantun menjelaskan secara langsung kepada
pendengar bahwa pihak mempelai dara barô mengungkapkan rasa sayang mereka
dengan menjamu rombongan lintô barô, meskipun hanya dengan makanan seadanya.
Sebenarnya
dalam sastra Aceh khususnya pantôn terdapat lima belas makna yang terkandung
dalam pantôn. Namun, dalam pantôn seumapa yang peneliti analisis hanya terdapat
dua
belas makna pantôn. Jadi, peneliti hanya mengkaji apa yang ada dalam teks
pantôn seumapa tersebut, yaitu menyatakan berani, menyatakan haru, menyatakan
kesal, menyatakan susah-gundah, menyatakan kecewa, menyatakan malu, menyatakan
gembira, menyatakan takut, menyatakan kurang senang, menyatakan ikhlas,
menyatakan ragu-ragu, dan menyatakan sayang.
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data tentang
isi pantun yang terdapat dalam pantôn seumapa yang digunakan pada saat meutaléh
pantôn pada acara pesta perkawinan di Desa Batuphat Barat Komplek PT Arun Kecamatan
Muara Satu Kota Lhokseumawe yang telah dipaparkan dalam bab IV, maka penulis
menyimpulkan bahwa :
1)
Isi/makna yang dikandung oleh pantôn seumapa mampu
memberikan dan menciptakan kesan yang mendalam kepada pendengar. Hal tersebut
disebabkan oleh pemilihan kata-kata yang tepat untuk memikat hati dan menarik
perhatian para pendengar.
2)
Berdasarkan hasil penelitian tentang isi pantun dalam pantôn seumapa yang
digunakan pada saat meutaléh pantôn pada acara pesta perkawinan di Desa Batuphat
Barat Komplek PT Arun Kecamatan Muara Satu Kota Lhokseumawe terdapat
dua
belas isi/makna pantun.
Adapun kedua belas isi/makna tersebut
adalah: (1) menyatakan berani, (2) menyatakan haru, (3) menyatakan kesal, (4) menyatakan susah-gundah, (5) menyatakan kecewa, (6) menyatakan malu, (7) menyatakan gembira, (8) menyatakan takut, (9) menyatakan kurang senang, (10)
menyatakan ikhlas,
(11) menyatakan
ragu-ragu, dan (12) menyatakan
sayang.
3)
Melalui
penelitian hermeneutik,
memudahkan peneliti dalam memahami dan menafsirkan isi/makna yang
terkandung dalam pantôn seumapa tersebut. Hermeneutik menyajikan konsep-konsep
yang dapat dipakai dalam proses analisis isi pantôn seumapa. Selain itu,
hermeneutik juga memberikan pandangan-pandangan kepada peneliti tentang
kiat-kiat menafsirkan sastra.
5.2 Saran
Berdasarkan simpulan di atas, maka
penulis menyarankan kepada berbagai pihak yaitu sebagai berikut :
1)
Kajian dalam penelitian pantôn seumapa ini hanya berhubungan dengan isi
pantunnya
saja. Namun, masih
banyak masalah lain yang belum disentuh oleh penelitian ilmiah, seperti bentuk
pantôn seumapa, nilai
budaya, dan yang lainnya, karena
itu perlu diteliti
pada kesempatan berikutnya.
2)
Melalui
penelitian ini diharapkan kepada mahasiswa khususnya mahasiswa prodi bahasa,
sastra Indonesia dan daerah agar lebih mendalami tentang kajian
sastra, khususnya tentang sastra lisan Aceh yang sudah jarang diminati dewasa
ini.
Sebenarnya, pengkajian tentang sastra
lisan Aceh sangatlah menarik untuk dibahas, di mana sastra lisan Aceh tersebut
merupakan suatu sastra daerah yang memiliki keunikan tersendiri.
3)
Melalui
penelitian ini, peneliti mengharapkan kepada prodi bahasa, sastra Indonesia dan
daerah agar memperhatikan lagi materi perkuliahan tentang sastra lisan Aceh melalui
berbagai cara, misalnya dengan menyajikan bahan bacaan yang bermutu dan tenaga
pendidik yang berkualitas.
DAFTAR PUSTAKA
Endraswara,
Suwardi. 2003. Metodologi
Penelitian Sastra. Yogyakarta :
Caps.
Harun,
Mohd. 2012. Pengantar Sastra Aceh. Banda Aceh : Cita Pustaka Media
Perintis.
Kosasih, Engkos. 2008. Cerdas Berbahasa Indonesia
untuk SMA/MA Kelas X. Jakarta:
Erlangga.
Kutha Ratna,
Nyoman. 2010. Teori,
Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Denpasar : Pustaka Pelajar.
Moleong, Laxy J. 2010. Metodologi Penelitian
Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Panitia Penyusun. 2013. Pedoman Penulisan Skripsi. Matangglumpangdua : FKIP Universitas Almuslim.
Pratama,
Bagus Aditya. 2008. Koleksi Pantun dan Puisi. Surabaya : Pustaka Media.
Redaksi, Tim.
2010. Kamus Dwibahasa Indonesia Aceh. Banda Aceh : Pena.
Rizal, Yose.
2010. Apresiasi Puisi dan Sastra Indonesia. Jakarta : As Agency.
Sugiono. 2010. Metode
Penelitian Pendidikan. Bandung : Alfabeta.
T. Wong Adi. Berbalas
Pantun Remaja. Jakarta : Bintang Indonesia.
Wildan. 2010. Kaidah
Bahasa Aceh. Banda Aceh : Geuci.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar