BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Permasalahan yang sering muncul
dalam dunia pendidikan pada era globalisasi di Indonesia adalah tentang
bagaimana meningkatkan mutu pendidikan sehingga proses pembelajaran yang
berlangsung dapat memberikan output yang mampu bertahan dalam menghadapi
persaingan global. Hal ini dikarenakan, pendidikan merupakan usaha sadar yang
menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan
untuk menciptakan peserta didik yang mampu berperan dan bersaing di masa yang
akan datang.
Selain itu, pendidikan juga
bertujuan untuk memuat gambaran tentang nilai-nilai yang baik, luhur, pantas
dan indah dalam kehidupan peserta didik. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa
atas dasar tersebut timbul berbagai macam permasalahan, diantaranya adalah
perubahan kurikulum yang dilakukan pemerintah guna untuk memperbaiki sistem
pendidikan. Meskipun pada dasarnya setiap kurikulum pastinya memiliki
kekurangan yang perlu dievaluasi serta diperbaiki agar tujuan pendidikan
tercapai dengan baik.
1
|
Pembelajaran Bahasa Indonesia
diorientasikan untuk mengembangkan empat macam keterampilan berbahasa, yaitu 1)
keterampilan menyimak, 2) keterampilan berbicara, 3) keterampilan membaca dan
4) keterampilan menulis. Keterampilan menyimak dan membaca memiliki sifat
reseptif, sedangkan keterampilan berbicara dan menulis memiliki sifat
produktif. Keempat aspek yang dilatih pada siswa tersebut, menulis merupakan
keterampilan yang harus mendapatkan perhatian secara cermat, teliti dan
sungguh-sungguh. Jika dilihat dari penggunaan kurikulum 2013, banyak ditemukan
materi-materi baru yang lebih menekankan siswa untuk menggunakan keterampilan
berbahasa. Adapun diantara beberapa materi yang terdapat dalam kurikulum 2013
di SMA kelas X adalah materi pembelajaran tentang mengkonversi atau mengubah
teks anekdot menjadi naskah drama yang memerlukan aspek membaca dan menulis.
Materi pembelajaran tentang
mengkonversi teks anekdot menjadi naskah drama menggerakkan siswa untuk lebih
aktif dan teliti dalam membaca sebuah teks cerita lalu menulis menjadi naskah
drama. Namun, masalah yang muncul dalam proses pembelajaran adalah masih
lemahnya kemampuan siswa dan daya tarik belajar siswa dalam materi mengkonversi
teks anekdot menjadi naskah drama. Pada umumnya siswa hanya membaca sekilas
teks anekdot dan memahami isi dari bacaan, tetapi ketika teks tersebut dikonversikan
ke dalam naskah drama, terlihat bahwa siswa masih belum mampu dengan baik
mengikuti pembelajaran. Maka, guru memiliki andil dan berperan penting dalam
mengembangkan keaktifan dan kreatifitas siswa, misalnya dengan menggunakan
sarana model pembelajaran yang dapat menimbulkan daya tarik siswa.
Penerapan model pembelajaran
sangat bermanfaat dalam proses pembelajaran karena seluruh rangkaian penyajian
materi ajar yang meliputi segala aspek sebelum dan sesudah pembelajaran
berlangsung. Namun, sering kali ditemukan pendidik masih menggunakan model
pembelajaran konvensional sehingga membuat siswa jenuh dan pada akhirnya siswa
tidak mampu memahami materi. Penerapan model pembelajaran modeling the way merupakan salah satu solusi yang dapat digunakan
untuk meningkatkan kemampuan mengkonversi teks anekdot menjadi naskah drama.
Menurut
Istarani (2011:213), menyatakan bahwa “Model pembelajaran modeling the way adalah model pembelajaran yang
memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mempraktikkan keterampilan
spesifik yang dipelajari di kelas untuk demonstrasi, sehingga peserta didik
dapat menjadi student center bagi
siswa yang lain”. Dapat dipahami bahwa dengan menerapkan model pembelajaran modeling the way, siswa memiliki
kesempatan untuk mempresentasikan hasil belajar yang telah dipelajarinya di
kelas.
Berdasarkan
uraian di atas, maka yang menjadi pemasalahan dalam penelitian ini adalah
apakah penerapan model pembelajaran modeling the way efektif diterapkan seta dapat meningkatkan hasil belajar
siswa pada materi mengkonversi teks anekdot menjadi naskah drama. Berhubungan
dengan pernyataan tersebut, maka untuk mengetahui jawaban masalah ini penulis
tertarik untuk melakukan penelitian. Adapun judul penelitian ini adalah
”Penerapan Model Pembelajaran Modelling the Way Terhadap Materi
Mengkonversi Teks Anekdot menjadi Naskah Drama pada Siswa Kelas X SMAN 1 Jangka Kabupaten Bireuen”.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang
masalah di atas, yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah penerapan model
pembelajaran modelling the way terhadap materi mengkonversi teks anekdot menjadi
naskah drama pada siswa kelas X SMAN 1 Jangka
Kabupaten Bireuen?
1.3
Tujuan
Penelitian
Sehubungan dengan adanya
rumusan masalah di
atas, maka yang
menjadi tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan data tentang penerapan
model pembelajaran modelling the way terhadap materi
mengkonversi teks anekdot menjadi naskah drama pada siswa kelas X SMAN 1 Jangka Kabupaten Bireuen.
1.4
Manfaat
Penelitian
Berdasarkan
uraian permasalahan dan tujuan penelitian yang telah dikemukakan tersebut, maka
penelitian ini mempunyai dua manfaat yaitu secara teoretis dan praktis.
Secara
teoretis, hasil penelitian ini diharapkan agar dapat bermanfaat sebagai pengembangan ilmu pengetahuan sehingga
banyak pengalaman yang diperoleh dan dapat menambah wawasan agar kualitas dalam
dunia pendidikan semakin meningkat. Selain itu, penelitian ini juga memberikan
dampak terhadap mutu pendidikan khususnya dalam proses belajar mengajar agar
tujuan yang hendak dicapai sesuai dengan yang diharapkan.
Selanjutnya,
secara praktis hasil penelitian ini bermanfaat bagi:
1)
bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat
menambah wawasan dan ilmu pengetahuan tentang bagaimana penerapan model
pembelajaran modelling the way terhadap materi mengkonversi teks anekdot menjadi
naskah drama, selain itu hasil
penelitian ini dapat membantu memperbaiki pembelajaran, membantu peneliti untuk
berkembang secara profesional, meningkatkan rasa percaya diri serta secara
aktif dapat mengembangkan pengetahuan yang dimiliki.
2)
bagi siswa, hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberikan pengetahuan baru tentang materi mengkonversi teks anekdot menjadi naskah
drama dengan menerapkan model pembelajaran modelling the way, sehingga siswa dapat mengungkapkan
pendapatnya dan memperoleh hasil belajar yang lebih baik dan efektif.
3)
bagi guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Jangka Kabupaten Bireuen,
hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi model pembelajaran terutama dalam penerapan
model pembelajaran modelling the way, sehingga guru lebih mudah dalam melaksanakan
proses belajar mengajar dikarenakan guru hanya sebagai fasilitator sedangkan
siswa dtuntut untuk lebih aktif dan kratif supaya dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
4)
bagi sekolah, hasil penelitian ini diharapkan
dapat tercipta kondisi belajar yang kondusif, efektif,
menyenangkan dan dengan meningkatnya hasil belajar siswa pada materi mengkonversi teks anekdot menjadi naskah drama melalui penerapan model
pembelajaran modelling the way, maka akan dapat mendukung peningkatan mutu dan kualitas pembelajaran para siswa di SMAN 1 Jangka
Kabupaten Bireuen.
1.5
Anggapan Dasar dan Hipotesis
Penelitian
1.5.1
Anggapan Dasar Penelitian
Anggapan
dasar yang terdapat dalam
penelitian ini memiliki manfaat untuk
memperoleh gagasan tentang letak persoalan atau masalahnya dalam hubungan yang
lebih luas. Sehingga, dalam
hal ini peneliti harus dapat memberikan sederetan asumsi yang kuat tentang
kedudukan permasalahannya, yang nantinya
akan menjadi tumpuan peneliti dalam melaksanakan penelitian tersebut dengan baik.
Menurut
Arikunto (2006:65), menyatakan bahwa ”Anggapan dasar ini merupakan landasan teori yang akan dijadikan
pedoman dalam pelaporan hasil penelitian nanti”. Maka, yang menjadi anggapan
dasar dalam penelitian ini adalah:
1)
mengkonversi teks
anekdot menjadi naskah drama merupakan salah satu materi yang terdapat dalam
kurikulum pembelajaran 2013 dan
diajarkan kepada siswa kelas X SMAN 1 Jangka
Kabupaten Bireuen.
2)
melalui materi mengkonversi teks anekdot
menjadi naskah drama, dapat menambah kemampuan siswa dalam menulis dan
membaca, khususnya ketika mengubah sebuah teks cerita menjadi naskah drama.
3)
adanya perubahan yang berarti dalam pembelajaran
bagi peserta didik dengan penerapan model pembelajaran modelling the way pada
materi mengkonversi teks anekdot menjadi naskah drama.
1.5.2 Hipotesis
Penelitian
Hipotesis merupakan jawaban sementara yang masih dibutuhkan adanya pembuktian atau penjelasan-penjelasan tertentu mengenai suatu hal atau masalah. Hal
ini sesuai dengan yang diungkapkan
oleh Arikunto (2006:71), bahwa ”Hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat
sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang
terkumpul”. Adapun yang
menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah hasil
belajar yang diajarkan dengan model
pembelajaran modelling the way lebih baik dari pada
model pembelajaran konvensional pada materi mengkonversi teks anekdot menjadi
naskah drama.
1.6
Definisi
Operasional
Untuk menghindari kesalahan penafsiran terhadap istilah-istilah yang
digunakan dalam penelitian ini, maka penulis menguraikan beberapa definisi
operasional sebagai berikut:
1)
penerapan
adalah salah satu cara menerapkan sesuatu hal
atau keadaan dengan tujuan agar apa yang disampaikan dapat bermanfaat dan
dipahami dengan baik, yaitu dengan menggunakan model pembelajaran modelling the way
pada materi mengkonversi teks anekdot menjadi naskah drama.
2)
model
pembelajaran adalah seluruh rangkaian penyajian materi ajar yang meliputi
segala aspek sebelum, sedang dan sesudah pembelajaran berlangsung yang
dilaksanakan oleh pendidik.
3)
model
pembelajaran modelling the way adalah salah satu model pembelajaran bermain peran dengan mempraktikkan atau
mendemonstrasikan tentang materi mengkonversi teks
anekdot menjadi naskah drama di depan kelas.
4)
mengkonversi
adalah mengubah atau menukar suatu hal menjadi
hal yang baru, yaitu mengubah teks anekdot menjadi naskah drama.
5)
teks
anekdot adalah cerita singkat yang menarik
karena lucu dan mengesankan, biasanya berisi tentang orang penting atau
terkenal berdasarkan kejadian yang sebenarnya.
6)
naskah
drama adalah bentuk
tertulis dari sebuah cerita drama yang
berisi teks percakapan antartokoh.
BAB II
KAJIAN
PUSTAKA
2.1 Pengertian
Model Pembelajaran
Model pembelajaran merupakan landasan praktik pembelajaran hasil
penurunan teori psikologi pendidikan dan teori belajar yang dirancang
berdasarkan analisis terhadap implementasi kurikulum dan implikasinya pada
tingkat operasional di kelas. Model pembelajaran dapat diartikan pula sebagai
pola yang digunakan untuk penyusunan kurikulum, mengatur materi dan memberi
petunjuk kepada guru kelas. Belajar melalui model bertujuan untuk membantu
siswa menemukan makna diri (jati diri) di dalam lingkungan sosial dan
memecahkan dilemma atau persoalan yang muncul dalam pembelajaran dengan bantuan
kelompok. Sehingga, dengan adanya pembelajaran melalui model siswa akan
mengetahui perjalanan hidup serta aktivitas kerja keras seseorang dalam
mencapai kesuksesan.
Menurut Istarani (2011:1), menyatakan bahwa ”Model pembelajaran adalah
seluruh rangkaian penyajian materi ajar meliputi segala aspek sebelum, sedang
dan sesudah pembelajaran yang dilakukan guru serta segala fasilitas yang
terkait dan digunakan secara langsung atau tidak langsung dalam proses belajar
mengajar”. Dapat dipahami bahwa model pembelajaran merupakan seluruh kegiatan
atau bentuk penyampaian materi ajar yang berlangsung dalam proses belajar
mengajar, baik sebelum, sedang atau sesudah proses belajar mengajar yang
diterapkan oleh guru pengasuh mata pelajaran tersebut.
9
|
Berdasarkan kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa model
pembelajaran adalah suatu rangkaian atau kerangka yang disajikan dan dirancang
oleh seorang pendidik untuk mencapai tujuan pembelajaran. Model pembelajaran
yang dirancang juga haruslah bersifat aktif, kreatif, inovatif dan
menyenangkan. Sehingga peserta didik mampu menerima apa yang disampaikan oleh
pendidik dan mampu meningkatkan minat belajar mereka.
2.2 Pengertian
Model Pembelajaran Modelling the Way
Model pembelajaran modelling the
way merupakan salah satu model pembelajaran yang memberikan kesempatan
kepada peseta didik untuk dapat mamaparkan apa yang telah diketahuinya di depan
kelas secara langdung kepada siswa lain. Model pembelajaran ini sangat
memberikan pengaruh yang berarti bagi peserta didik sehingga mereka berani
mengemukakan pendapat dan ilmu yang dimiliki dalam forum yang lebih luas.
Menurut Istarani (2011:213),
menyatakan bahwa ”Model Pembelajaran modelling
the way adalah model pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada peserta
didik untuk mempraktikan keterampilan spesifik yang dipelajari di kelas untuk
demonstrasi”. Dapat dipahami bahwa model pembelajaran modelling the way merupakan salah satu model pembelajaran yang
membimbing siswa untuk mampu memaparkan apa yang telah dipelajarinya di kelas
dalam bentuk demonstrasi atau praktik langsung di depan siswa lainnya. Selain
itu, di dalam pembelajaran peserta didik diberi waktu untuk menciptakan
skenario sendiri, membaca dan menentukan bagaimana mereka mengilustrasikan
keterampilan dan teknik yang baru saja dijelaskan. Model ini sangat baik jika
digunakan untuk mengajarkan pelajaran yang menutut keterampilan tertentu.
Sedangkan menurut Hisyam (2008:76),
menyatakan bahwa ”Model pembelajaran modeling the way merupakan
model pembelajaran yang memberi kesempatan kepada siswa untuk mempraktikkan
keterampilan spesifik yang dipelajari di kelas melalui demonstrasi. Siswa
diberi waktu untuk menciptakan skenario sendiri dan menentukan bagaimana mereka
mengilustrasikan keterampilan dan teknik yang baru saja dijelaskan. Model
pembelajaran ini akan sangat baik jika digunakan untuk mengajarkan pelajaran
yang menuntut keterampilan tertentu”. Dapat dipahami bahwa model pembelajaran modeling
the way merupakan model
pembelajaran yang menuntut siswa untuk dapat mempraktikkan apa yang telah
dipelajarinya di depan kelas. Siswa memiliki kesempatan untuk menyusun sendiri
dan dalam bentuk apa yang ingin disampaikannya.
Berdasarkan pendapat pakar di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa model
pembelajaran modeling the way adalah model pembelajaran yang
diterapkan oleh guru dalam proses pembelajaran yaitu dengan mengasah
keterampilan membaca dan kemampuan
berperan para siswa beradasarkan sesuatu skenario di depan kelas. Model
pembelajaran ini menuntut siswa untuk mampu menyampaikan apa yang telah
diperolehnya dalam pembelajaran untuk didemonstrasikan sesuai dengan apa yang
telah dipelajarinya di depan kelas.
2.3 Langkah-langkah Model Pembelajaran Modelling the Way
Suatu model pembelajaran yang
diterapkan dalam proses pembelajaran tentunya memiliki langkah-langkah
tersendiri. Hal ini sama juga dengan proses pembelajaran yang menggunakan model
pembelajaran modelling the way juga memiliki
beberapa tahap tersendiri. Menurut Istarani (2011:2013), menyatakan bahwa
”Langkah-langkah model pembelajaran modelling
the way adalah sebagai berikut:
1)
menjelaskan
materi yang diajarkan kepada siswa,
2)
mempraktikkan
atau mendemonstrasikan materi ajar di depan kelas,
3)
setelah
pelajaran satu topik tertentu, lalu carilah topik-topik yang menuntut siswa
untuk mencoba dan mempraktikkan langsung yang
baru diterangkan,
4)
bagilah
kelompok siswa ke dalam beberapa kelompok kecil sesuai jumlah mereka, kelompok
ini yang akan mendemonstrasikan suatu keterampilan tertentu sesuai dengan
skenario yang dibuat,
5)
berikan
kepada siswa waktu 10-15 menit untuk menciptakan skenario kerja,
6)
berilah
waktu 5-7 menit bagi siswa untuk berlatih,
7)
secara
bergiliran tiap kelompok diminta mendemonstrasikan hasil kerja masing-masing,
setelah selesai berilah kesempatan kepada kelompok yang lain untuk memberikan
masukan pada setiap demonstrasi yang dilakukan,
8)
guru
memberikan penjelasan secukupnya untuk mengklarifikasi,
9)
pengambilan
keputusan.
Sedangkan menurut Suprijono
(2010:115), ”Langkah-langkah model pembelajaran modelling the way adalah:
1)
setelah
pembelajaran suatu topik tertentu, carilah topik-topik yang menuntut siswa untuk mencoba atau mempraktikkan
keterampilan yang diterangkan,
2)
bagilah
siswa ke dalam kelompok kecil sesuai dengan jumlah mereka. Kelompok-kelompok
ini akan mendemonstrasikan suatu keterampilan tertentu sesuai dengan skenario
yang dibuat,
3)
berikan
kepada siswa waktu 10-15 menit untuk menciptakan skenario kerja,
4)
berilah
waktu 5-7 menit untuk berlatih,
5)
secara
bergiliran tiap kelompok diminta mendemonstrasikan kerja masing-masing, setelah
selesai berilah kesempatan kepada kelompok lain memberikan masukan pada setiap
demonstrasi,
6)
guru
memberikan penjelasan secukupnya untuk mengklasifikasi.
Berdasarkan kedua penjelasan di
atas, dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah model pembelajaran modelling the way yaitu : 1) guru
menjelaskan materi yang akan diajarkan kepada para siswa, 2) guru mempraktikkan
materi ajar tersebut di depan kelas, 3) guru memberikan topik lain sehingga
siswa dapat mencoba mempraktikkan langsung sesuai dengan topik yang diberikan
guru, 4) guru membagi siswa ke dalam beberapa kelompok kecil dan kelompok
tersebutlah yang akan mempraktikkan apa skenario yang dibuat sesuai dengan
topik yang telah ditentukan guru, 5) guru memberikan kesempatan kepada setiap
kelompok untuk membuat skenario sesuai dengan topik yang telah ditentukan, 6)
guru juga memberikan waktu kepada siswa untuk berlatih, 7) guru meminta setiap
kelompok secara bergiliran untuk memaparkan hasil kerja setiap kelompok di
depan kelas, lalu kelompok yang lain diberikan kesempatan untuk memberikan
masukan atas paparan yang disampaikan kelompok lainnya, 8) guru memberikan
penjelasan atas setiap demonstrasi yang dilakukan oleh masing-masing kelompok,
dan 9) guru bersama siswa mengambil kesimpulan atas materi pembelajaran dan
hasil demonstrasi yang berlangsung tersebut.
2.4 Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran
Modelling the Way
2.4.1
Kelebihan Model Pembelajaran Modelling the
Way
Setiap
model pembelajaran yang digunakan dalam proses pembelajaran tentunya memiliki
kelebihan tersendiri, yang membedakannya dengan model pembelajaran lainnya.
Kelebihan inilah yang menjadikan model pembelajaran tersebut layak diterapkan
dalam prose pembelajaran, sehingga materi yang disampaikan dan tujuan
pembelajaran bisa tercapai. Sama halnya dengan model pembelajaran modelling the way yang juga mempunyai
kelebihan tersendiri. Menurut Istarani (2011-213), menyatakan bahwa ”Kelebihan
dari model pembelajaran modelling the way
adalah sebagai berikut :
1)
mendidik siswa untuk mampu menyelesaikan sendiri
problema sosial yang ia jumpai,
2)
memperkaya pengetahuan dan pengalaman siswa,
3)
mendidik siswa berbahasa yang baik dan dapat
menyalurkan pikiran serta perasaannya dengan jelas dan tepat,
4)
mau menerima dan menghargai pendapat orang lain,
5)
memupuk perkembangan kreativitas anak.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kelebihan
model pembelajaran modelling the way
antara lain adalah : 1) menuntut siswa untuk dapat menyelesaikan setiap
persoalan sosial yang muncul secara pribadi, 2) menambah pengetahuan dan
pengalaman para siswa, 3) menuntut siswa untuk dapat berbahasa yang baik ketika
menyampaikan gagasan yang dimilikinya, 4) menuntut siswa untuk mampu menerima
dan menghargai pendapat orang lain, dan 5) mampu mengembangkan kreatifitas
siswa.
2.4.2
Kekurangan Model Pembelajaran Modelling the Way
Selain memiliki kelebihan
tersendiri dalam setiap model pembelajaran yang diterapkan dalam proses
pembelajaran, tentunya model pembelajaran tersebut juga memiliki kekurangan
tersendiri. Sehingga, bisa menjadi acuan dalam penerapan model pembelajaran
tersebut sehingga menjadi lebih baik. Begitu juga dengan model
pembelajaran modelling the way, yang
tentunya mempunyai kekurangan tersendiri. Menurut Istarani (2011-214),
menyatakan bahwa ”Kekurangan dari model pembelajaran modelling the way adalah sebagai berikut :
1)
pemecahan problem yang disampaikan oleh siswa
belum tentu cocok dengan keadaan yang ada di masyarakat,
2)
karena waktu yang terbatas, maka kesempatan
berperan secara wajar kurang terpenuhi,
3)
rasa malu dan takut akan mengakibatkan
ketidakwajaran dalam memainkan peran, sehingga hasilnya pun kurang memenuhi
harapan,
4)
adakala
media yang di praktikkan atau didemonstrasikan kurang tersedia dengan baik,
5)
imajinasi
siswa kurang terlatih dalam mempraktikkan materi yang diajarkan karena jarang
sekali guru melakukan hal ini.
Berdasarkan penjelasan di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa kekurangan model pembelajaran modelling the way antara lain adalah :
1) sering kali pemecahan masalah yang diutarakan oleh siswa belum sesuai dengan
keadaan sebenarnya di masyarakat, 2) kesempatan yang dimiliki siswa sangat
terbatas untuk mendemonstrasikan materi yang telah diajarkan, 3) masih adanya
rasa malu dan takut sehingga ketika siswa mendemonstrasikan hasilnya tidak
sesuai harapan, 4) kurang tersedianya media untuk mendemonstrasikan materi, dan
5) kurang terlatihnya imajinasi siswa krtika mempraktikkan materi yang
diajarkan.
2.5 Pengertian Drama
Banyak orang berasumsi
bahwa drama itu hanyalah sekedar tontonan. Hal ini dikarenakan hampir semua jenis
drama dipentaskan memang untuk ditonton. Pengajaran sastra di sekolah hanya
menekankan pengetahuan sastra. Dalam pembelajaran sastra guru menekankan
kemampuan siswa untuk dapat mengubah teks anekdot menjadi teks drama.
Menurut Soemanto (2001:3),
menyatakan bahwa ”Drama adalah gerak, sehingga tidak dapat dipungkiri setiap
drama akan mengandalkan gerak sebagai ciri utamanya. Kata kunci inilah yang
membedakan dengan puisi dan prosa fiksi. Dalam bahasa prancis drama disebut
drame yang berarti lakon serius. Lakon serius bukan berarti drama melarang
adanya humor atau cerita lucu namun serius yang dimaksud merujuk pada aspek
penggarapan. Drama adalah seni cerita dalam percakapan dan akting tokoh.
Dikatakan serius artinya drama butuh penggarapan tokoh yang mendalam dan penuh
pertimbangan sehingga yang digarap dapat memukau penonton”. Dapat dipahami
bahwa hakikatnya drama merupakan gerak tokoh dalam cerita yang dipentaskan.
Tokoh dalam drama menjalankan tugasnya untuk berakting sesuai dengan naskah
dialog yang telah disusun oleh penulis naskah drama.
Sedangkan menurut
Endraswara (2011:13), menyatakan bahwa ”Drama merupakan karya yang memiliki
daya rangsang cipta, rasa dan karsa yang amat tinggi”. Dapat dipahami bahwa
drama merupakan karya yang memiliki unsur ketertarikan tersendiri, yang
membedakannya dengan karya sastra lainnya. Salah satunya, drama mampu
merangsang daya imajinasi penontonnya dan mampu membangkitkan ketertarikan
penonton untuk berbuat seperti apa yang dilakonkan oleh tokoh dalam drama.
Sesungguhnya, dalam drama
juga terkandung aspek negatif, diantaranya drama yang memuat kekerasan dan
adegan seksual, kadang memicu penonton untuk meniru. Drama yang menawarkan
erotika tersembunyi pun sering mempengaruhi romantika hidup berkeluarga. Bahkan
romantika dalam drama seringkali juga memperdaya antarpelaku untuk saling berkasih-kasihan
di luar panggung. Begitu juga dengan drama sedih, sering mempengaruhi penonton
harus menjiwai kesedihan”.
Menurut Endraswara
(2011:13), menyatakan bahwa “Drama tidak hanya memiliki aspek negatif tetapi
juga memiliki aspek positif, yaitu sebagai berikut:
1)
drama merupakan sarana yang paling efektif untuk
melukiskan dan menggarap konflik-konflik sosial, dilema moral dan prolematika personal
tanpa menanggung konsekuensi khusus dari aksi kita,
2)
aktor-aktor
dalam drama memaksa kita untuk memusatklan perhatian kita pada protagonis
lakon, yaitu untuk merasakan emosinya dan menghayati konflik-konfliknya, bahkan
untuk ikut sama-sama merasakan penderitaan dan ketidakadilan yang dialami
pelaku atau tokoh drama,
3)
melalui
tragedi, misalnya dengan sedikit terluka dihati, mengajarkan tentang bagaimana hidup dengan penuh derita dan
memberikan wawasan mengenai suatu ketabahan dan kemuliaan yang tidak
tertandingi,
4)
melalui
komedi, kita dapat menikmati peluapan gelak tawa sebagai suatu pembukaan tabir
rahasia mengenai untuk apa manusia mempertahanankan atau membela sesuatu,
5)
melodrama
yang ditulis dengan baik, fantasi dapat mengusir keengganan (skepticism),
memperluas imajinasi kita dan untuk sebentar membawa diri keluar dari diri kita
sendiri,
6)
para
psikiatris telah menggunakan psikodrama sebagai suatu sarana yang efektif dan dapat
memuat pasien dapat mengingat kembali pengalaman masa lalunya.
7)
sosiodrama
dikenal dapat menampilkan suatu fungsi yang sama bagi kelompok-kelompok kecil
dalam masyarakat, misalnya sebagai sarana yang memuat masyarakat menyimpulkan
identitas fiksional yang mengalami konflik yang tanpa serupa terjadi dalam
keluarga dan kehidupan kelompok.
Berdasarkan penjelasan di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa drama adalah karya sastra yang dilakonkan
oleh para tokoh sesuai dengan dialog yang telah ditulis dan juga dipentaskan. Sedangkan
ketujuh hal di atas adalah kelebihan drama sebagai karya yang layak ditonton
dan dibelajarkan. Nilai positif dan negatif dari drama amat tergantung pada
resepsi penonton. Drama sebagai cerminan hidup dan diri kita sendiri. Drama
adalah polesan sedangkan imajinasi hidup adalah yang telah dikreasi, justru
akan memunculkan imajinasi yang lebih hebat. Alam pikiran manusia kadang-kadang
melebihi drama, sikap dan tindakan seseorang yang bisa berubah. Orang dapat
meniru tokoh, merasakan dan menghayati seluk beluk kejadian drama.
2.6 Karakteristik Drama
Drama merupakan bagian dari karya sastra, maka sifat dan kriteria yang
ada pada karya sastra dimiliki juga oleh drama. Karakteristik drama bertumpu
pada seni pertunjukan atau lakon para tokoh yang sesuai dengan peran atau
naskah yang telah ditulis. Menurut Semi (2008:193-195), menyatakan bahwa “Karakteristik
drama yaitu :
1)
mempunyai tiga dimensi, yaitu dimensi sastra,
gerakan dan ujaran,
2)
memberi
pengaruh emosional yang lebih kuat dibandingkan fiksi dan puisi,
3)
drama
yang dipentaskan lebih lama diingat,
4)
memiliki
konsentrasi dan intensitas,
5)
terbatas
dalam wilayah penceritaan dan tempat,
6)
memiliki
keterbatasan dari segi kepentasan,
7)
dibatasi
oleh keterbatasan intelegensi penonton,
8)
memiliki
episode yang terbatas,
9)
memiliki
keterbatasan bentuk yaitu melaui percakapan
Dapat dipahami bahwa,
karakteristik drama adalah sebagai berikut : 1) drama memiliki tiga bagian,
yaitu sastra atau keindahan, gerakan atau lakon dan dialog atau ujaran, 2)
drama mampu meberikan pengaruh emosional kepada penonton, 3) drama yang
dipentaskan akan tetap melekat bagi penonton, 4) drama memiliki cakupan pesan
tersendiri, 5) drama memiliki keterbatasan dalam segi tempat dan penceritaan,
6) adanya keterbatasan ruang dalam pementasan, 7) terbatas pada tingkat
pemahaman penonton, 8) adanya episode yang lebih sedikit, dan 9) terbatas dari
segi bentuk yaitu dalam bentuk percakapan.
2.7 Pengertian Naskah Drama
Naskah drama pada umumnya disebut skenario,
yang berupa susunan dari adegan-adegan yang dituangkan dalam bentuk karya tulis.
Suatu rangkaian perucapan atau percakapan dalam bentuk tulisan yang tersusun
sedemikian rupa dengan mempertimbangkan
tema, isi, alur cerita maupun irama. Nakah drama biasanya disertakan keterangan
tentang karakter atau perwatakan tokoh, suasana, dan setting. Secara
keseluruhan bentuk khusus drama disampaikan melalui dialog. Dialog-dialog
tersebut membentuk suatu kesatuan yang pada akhirnya menampilkan suatu
kepribadian. Kepribadian tersebut menjadi keistimewaan dialog pada drama bukan
karena dialognya saja.
Naskah adalah bentuk tertulis dari sebuah cerita drama dan termasuk ke
dalam sastra. Oleh sebab itu, penulisannya sama dengan bentuk penciptaan sastra
yang lain. Dimulai dari pencarian ide kemudian dikembangkan menjadi sebuah
cerita yang utuh sesuai dengan ketentuan penulisan naskah drama, yaitu dalam
bentuk dialog (percakapan) disertai atau tanpa penunjuk pementasan.
Menurut Endraswara (2011:14), menyatakan bahwa ”Naskah drama adalah
urutan cerita yang belum dipentaskan. Naskah drama mempunyai beberapa unsur
pendukung yakni bahasa, karakter (pelaku), konflik antar pelaku, alur dan tema.
Bahasa terdiri atas pilihan kata, penyusunan dialog, ujaran (pernyataan) pelaku
dan gambaran aksi pemain. Unsur bahasa tersebut harus tampak menarik dalam
setiap naskah drama. Selain itu, karakter, konflik, alur dan tema sangat
diperlukan dalam naskah drama. Konflik digunakan untuk mengembangkan karakter
tokoh. Alur dikembangkan untuk memberikan
inspirasi situasi (setting), sedangkan tema menandakan karakteristik ide
dalam naskah”.
Dapat dipahami bahwa naskah drama adalah skenario yang berisi tentang
dialog percakapan yang akan dilakonkan olrh tokoh di dalam drama di atas
pentas. Naskah drama tersusun atas bahasa, misalnya pilihan kata dalam
penyusunan dialog dan gambaran tentang
rutinitas yang dilakonkan oleh tokoh. Selain bahasa, naskah drama juga tersusun
atas karakter setiap tokohnya, masalah yang muncul dalam kehidupan tokoh,
rentetan jalan cerita tokoh dalam drama dan yang terutama naskah drama tersusun
atas tema cerita drama tersebut.
Sedangkan menurut Waluyo (2002:2), menyatakan bahwa ”Naskah drama adalah
salah satu genre karya sastra yang sejajar dengan prosa dan puisi. Berbeda
dengan prosa maupun puisi, naskah drama memiliki bentuk sendiri yaitu ditulis
dalam bentuk dialog yang didasarkan atas konflik batin dan mempunyai
kemungkinan dipentaskan”. Dapat dipahami bahwa naskah drama merupakan jenis
karya sastra yang sejajar dengan prosa dan puisi. Namun, naskah drama ditulis
dalam bentuk dialog percakapan antartokoh yang sesuai dengan masalah yang
muncul dalam kehidupan para tokoh dan tentunya akan dipentaskan.
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
naskah drama adalah suatu cerita yang berisi dialog para tokoh. Selain itu,
disertai juga dengan keterangan-keterangan tertentu atas apa yang
dilakukan tokoh dalam cerita tersebut seperti gerakan yang dilakukan pemain,
tempat dan waktu terjadinya peristiwa, benda atau peralatan yang digunakan dalam
setiap babak, keadaan panggung, dan sebagainya. Naskah drama tentunya masih
berbentuk teks atau tulisan yang belum diterbitkan (pentaskan).
2.8 Unsur-unsur
Naskah Drama
Sebuah naskah drama tidak dapat dipungkir pasti tersusun atas unsur-unsur
yang membentuk naskah drama tersebut. Naskah drama merupakan bentuk karya
sastra yang tersusun dari unsur intrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur yang
membangun sebuah drama dan berada dalam drama itu sendiri. Menurut Kosasih
(2003:270), menjelaskan bahwa “Unsur-unsur intrinsik drama meliputi penokohan, dialog,
alur dan latar”. Memperkuat pendapat tersebut Tarigan (2000:74) juga mengatakan
bahwa “Unsur-unsur drama yaitu alur, penokohan, dialog dan latar”.
1)
Penokohan
Penokohan merupakan proses yang
digunakan pengarang untuk menciptakan tokoh-tokoh pelaku serta sifat atau
gambaran yang berkenaan dengannya. Pelaku dalam cerita dapat berupa manusia,
binatang atau benda-benda mati yang dilisankan. Mereka adalah tokoh-tokoh
imajinatif. Teknik penyajian watak para pelaku bermacam-macam. Ada pengarang
yang menyajikan watak pelakunya secara sederhana dan jelas melalui penuturan
pengarangnya, ada juga pengarang yang menggambarkan watak tokoh melalui tingkah
laku, tindakan dan pemikiran pelakunya.
Menurut Kosasih (2003:256), menjelaskan
bahwa “Teknik yang digunakan pengarang untuk menggambarkan watak tokoh yaitu
teknik analitik dan teknik dramatik. Watak seorang tokoh dalam drama dapat
dilihat dari ucapan-ucapannya. Seorang tokoh dapat diketahui usia, latar
belakang sosial, moral, suasana kejiwaan, agama yang dianut dan bahkan politik
atau idiologinya. Selain itu, watak seorang tokoh dapat dilihat dari gerak dan
tingkah laku, cara berpakaian, jalan pikiran atau ketika tokoh itu berhubungan
dengan tokoh-tokoh lain”. Dapat dipahami bahwa penokohan adalah karakter yang
diemban oleh tokoh dalam cerita yang sesuai dengan skenario yang telah ditulis.
Karakter tokoh dalam cerita terlihat dari ucapan dan tingkah lakunya.
2)
Dialog
Dialog dalam suatu pertunjukan
drama merupakan unsur penting, karena pertunjukan tanpa adanya dialog membuat
penonton sulit memahami jalan cerita secara utuh (walaupun ada lakon drama yang
dipantominkan). Dialog memang unsur yang
penting dalam drama karena dengan dialog-dialog inilah sebuah ceita akan terungkap,
misalnya watak para pelaku. Menurut Tarigan (2000:77), menjelaskan bahwa “Dialog
dalam drama harus memenuhi dua hal yaitu dialog haruslah dapat mempertinggi
nilai gerak dan dialog haruslah baik dan bernilai tinggi”. Dapat dipahami bahwa
dialog merupakan unsur dalam drama yang harus dapat memberikan dampak yang baik
pada akting para tokoh dalam drama.
3)
Alur
Alur tidak
hanya mengemukakan apa yang terjadi, tetapi yang lebih penting adalah
penjelasan mengapa hal itu terjadi. Sehingga sambung menyambung peristiwa dalam
cerita maka terwujudlah sebuah cerita. Sebuah cerita bermula dan berakhir,
antara awal dan akhir inilah terlaksana alur itu. Alur mempunyai pula
bagian-bagiannya yang secara sederhana dapat dikenal sebagai permulaan,
pertikaian, perumitan, puncak, peleraian dan akhir dari sebuah cerita. Menurut
Tarigan (2000:150), menyatakan bahwa “Alur adalah struktur gerak laku dalam
suatu fiksi atau drama”. Dapat dipahami bahwa alur merupakan rentetan gerak
pelaku dalam cerita drama yang melukiskan kisah hidup tokoh dalam cerita
tersebut.
4)
Latar
Latar adalah tempat atau
waktu terjadinya cerita. Kegunaan latar atau setting dalam cerita, biasanya bukan hanya sekedar sebagai petunjuk
kapan dan dimana cerita itu terjadi, melainkan juga sebagai tempat pengambilan
nilai-nilai yang ingin diungkapkan pengarang melalui ceritanya tersebut. Latar merupakan
identitas permasalahan drama sebagai karya fiksionalitas yang secara tidak
langsung diperlihatkan penokohan dan alur.
Jika permasalahan drama
sudah diketahui melalui alur atau penokohan, maka latar dan ruang memperjelas
suasana, tempat serta waktu peristiwa itu berlaku. Latar tempat menunjuk pada
tempat atau lokasi terjadinya cerita. Latar waktu menunjuk pada kapan atau
bilamana cerita terjadi. Latar sosial menunjuk pada kondisi sosial yang
melingkupi terjadinya cerita. Dapat dipahami bahwa latar adalah tempat
terjadinya peristiwa dalam cerita yang meliputi tempat, ruang dan waktu.
Berdasarkan penjelasan di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur naskah drama adalah 1)
penokohan, yaitu watak atau karakter yang dilakonkan oleh tokoh sesuai dengan
naskah drama, 2) dialog, yaitu percakapan antartokoh dalam naskah drama, 3)
alur, yaitu jalan cerita dalam naskah drama, dan 4) latar, yaitu tempat
terjadinya peristiwa dalam naskah drama, baik tempat, ruang dan waktu kejadian
peristiwa-peristiwa dalam cerita. Unsur-unsur tersebutlah yang harus ada dalam
suatu naskah drama, sehingga tersusun sebuah naskah drama yang baik.
2.9
Pengertian
Mengkonversi
Suatu
jenis teks jika ingin dibuat menjadi bentuk yang lain hendaknya harus diubah
terlebih dahulu. Mengubah bentuk teks asli menjadi bentuk teks yang lain
disebut dengan konversi. Kegiatan mengkonversikan suatu jenis teks menjadi teks
yang lain inilah yang nantinya akan dijadikan acuan para siswa dalam mengubah
suatu jenis teks.
Menurut
Mulyadi (2013:23), menyatakan bahwa ”Mengkonversi adalah kegiatan yang
dilakukan oleh siswa dengan mengubah bentuk teks anekdot menjadi bentuk naskah
drama”. Dapat dipahami bahwa mengkonversi merupakan kegiatan yang
dilakukan seseorang untuk mengubah suatu bentuk teks menjadi jenis teks
lainnya. Hakikatnya, mengkonversi adalah kegiatan mengubah jenis teks anekdot
menjadi bentuk naskah drama.
2.10 Mengonversikan
Teks Anekdot dalam Bentuk Drama
Teks anekdot dengan drama memiliki banyak persamaan, lebih-lebih anekdot
yang berbentuk dialog. Oleh karena itu, akan lebih mudah untuk mengkonversikannya,
yaitu melengkapinya dengan bagian-bagian yang belum ada pada anekdot, misalnya
dalam hal strukturnya.
Menurut Mulyadi, (2013:39), menyatakan bahwa “Struktur dasar sebuah drama terdiri atas tiga bagian, yaitu prolog,
dialog dan epilog”.
1)
Prolog merupakan pembukaan atas peristiwa dalam
drama. Dalam sebuah prolog dapat pula dikemukaan penjelasan tentang karakter
setiap tokoh, gambaran setting dan
unsur-unsur lainya.
2)
Dialog
merupakan media kisahan yang melibatkan
tokoh-tokoh drama yang diharapkan dapat menggambarkan kehidupan dan watak
setiap tokoh beserta konflik-konflik yang dihadapinya.
3)
Epilog
merupakan bagian terakhir dari sebuah drama, fungsinya untuk menyampaikan
intisari atau maksud cerita.
Dalam sebuah dialog itu sendiri, ada tiga unsur yang tidak boleh
dilupakan. Ketiga elemen tersebut adalah tokoh, wawancang dan kramagung.
1)
Tokoh adalah pelaku yang mempunyai peran yang
lebih dibandingkan pelaku lain, sifatnya bisa protagonis atau antagonis.
2)
Wawancang
adalah dialog atau percakapan yang harus diucapkan oleh tokoh cerita.
3)
Kramagung
adalah petunjuk perilaku, tindakan atau perbuatan yang harus dilakukan oleh
tokoh. Dalam naskah drama, kramagung dituliskan dalam tanda kurung (biasanya
dicetak miring).
2.11 Pengertian
Teks Anekdot
Teks
anekdot adalah sebuah teks yang berisi pengalaman seseorang yang tidak biasa. Pengalaman yang tidak biasa
tersebut disampaikan kepada orang lain dengan tujuan untuk menghibur si
pembaca. Munculnya teks anekdot sebagai
teks yang diajarkan dalam
mata
pelajaran Bahasa
Indonesia baru
disampaikan secara tersurat dalam
Kurikulum 2013. Berdasarkan
paradigma kurikulum 2013 yang mencanangkan
pembelajaran bahasa
berbasis
teks, siswa sudah dituntut mampu mengonsumsi dan memproduksi
teks. Selain teks sastra non-naratif
itu, hadir pula teks cerita
naratif dengan
fungsi
sosial berbeda. Teks
anekdot
dapat
juga digunakan
untuk mengkritik pihak lain dan
suatu sistem tertentu.
Menurut Endraswara (2011:25), menjelaskan bahwa anekdot adalah ”Sebuah
cerita singkat, lucu dan menarik, yang mungkin menggambarkan kejadian atau
orang sebenarnya”. Maksudnya, anekdot merupakan sebuah naskah yang disajikan
berdasarkan kejadian nyata yang melibatkan orang-orang sebenarnya, dan di suatu
tempat yang dapat diidentifikasi. Selain itu, dapat juga menghibur, tetapi anekdot
bukanlah lelucon,
karena tujuan utamanya adalah tidak hanya untuk membangkitkan tawa, tetapi
untuk mengungkapkan suatu kebenaran yang lebih umum daripada kisah singkat itu
sendiri, atau untuk melukiskan suatu sifat karakter dengan ringan.
Sedangkan menurut Mulyadi
(2013:23), menyatakan bahwa ”Teks anekdot adalah cerita singkat yang menarik
karena lucu dan mengesankan, biasanya mengenai orang penting atau terkenal dan
berdasarkan kejadian sebenarnya”. Dapat dipahami bahwa teks anekdot merupakan
suatu teks yang berisi tentang cerita yang menarik disebabkan karena lelucon
yang terdapat dalam teks tersebut. Lelucon dalam teks anekdot biasa mengenai
tentang suatu kejadian yang dialami oleh tokoh dalam cerita tersebut.
Berdasakan kedua pendapat di atas
dapat disimpulkan bahwa teks anekdot adalah cerita singkat dan unik yang berisi
gambaran atau pemaparan yang lucu, mengesankan dan menarik mengenai orang
penting atau terkenal. Dengan bentuk atau gambaran yang singkat dan pendek,
anekdot mempunyai sifat yang sangat lentur sehingga memiliki banyak peminat. Dengan
demikian teks anekdot merupakan cerita narasi ataupun percakapan yang lucu
dengan berbagai tujuan, baik hanya sekadar hiburan atau senda gurau, sindirin,
atau kritik tidak langsung. Anekdot
berisi pengalaman tentang peristiwa-peristiwa yang tidak biasa dari partisipan.
Partisipan merupakan prilaku yang di dalam teks anekdot. Peristiwa tersebut
membuat sengket atau berisi kekonyolan dari partisipan. Kejengkelan dan kekonyolan merupakan krisis yang
ditanggapi dengan reaksi dari pertentangan antara puas dan tidak puas serta
nyaman dan tidak nyaman. Pengalaman yang
tidak
biasa tersebut disampaikan kepada
orang lain dengan tujuan untuk menghibur si pembaca.
Teks Anekdot disebut pula dengan cerita
jenaka.
2.12 Tujuan
Teks Anekdot
Teks anekdot
merupakan suatu teks yang berisi lelucon tentang suatu peristiwa yang dialami
oleh sang tokoh dalam cerita tersebut. Teks anekdot tentunya dibuat dengan
tujuan tertentu bagi pembaca. Menurut
Endraswara (2011:25), menjelaskan bahwa tujuan teks anekdot, yaitu :
1)
menghibur,
2)
menambah
wawasan dan pengetahuan
3)
mengetahui
sikap, perilaku, pemikiran dan pandangan hidup tentang sekitar kita,
4)
bersifat
sindiran
Berdasarkan
penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan disusunnya teks anekdot
yaitu : 1) untuk menghibur pembaca dengan berbagai lelucon yang terdapat dalam
teks, 2) dapat menambah wawasan dan pengetahuan pembaca tentang teks tersebut,
3) dapat memahami tentang sikap, perilaku, pemikiran dan pandangan hidup
tentang peristiwa yang muncul dalam kehidupan tokoh dalam teks, dan 4) teks
tersebut bersifat sindiran tentang suatu kejadian yang terjadi dalam kehidupan
tokoh.
2.13
Struktur Teks Anekdot
Struktur merupakan unsur-unsur yang
menjadi landasan dasar sehingga terbentuknya sebuah teks anekdot yang baik. Menurut Endraswara (2011:26), menjelaskan bahwa ”Pada umumnya
teks anekdot terdiri atas lima bagian, yaitu:
1)
Abstrak
Abstrak adalah bagian di awal paragraf
yang berfungsi memberi gambaran tentang isi teks. Biasanya bagian ini
menunjukkan hal unik yang akan ada di dalam teks. Dapat dipahami bahwa abstrak
merupakan bagian pertama dalam teks yang dapat mendeskripsikan tentang
keseluruhan dari teks tersebut.
2)
Orientasi
Orientasi adalah bagian yang
menunjukkan awal kejadian cerita atau latar belakang bagaimana peristiwa
terjadi. Biasanya penulis bercerita dengan detil di bagian ini. Maksudnya,
jelas bahwa orientasi merupakan bagian dalam teks yang menggambarkan kejadian
awal yang terjadi dalam suatu teks.
3)
Krisis
Krisis adalah bagian ini adalah bagian
terjadinya suatu hal atau masalah yang unik dan tidak biasa, yang terjadi pada
si penulis atau orang yang diceritakan. Maksudnya, krisis merupakan bagian
dalam teks yang menggambarkan tentang suatu hal yang berbeda dari yang lain
yang dialami oleh tokoh dalam teks.
4)
Reaksi
Reaksi adalah bagian yang berisi
tentang bagaimana cara penulis atau orang yang ditulis tersebut menyelesaikan
masalah yang timbul di bagian krisis tadi. Maksudnya, jelas bahwa reaksi
merupakan bagian dalam teks yang menceritakan tentang bagaimana sang tokoh
menyelesaikan berbagai masalah yang telah muncul.
5)
Coda
Coda merupakan bagian akhir dari cerita
unik tersebut. Bisa juga dengan memberi kesimpulan tentang kejadian yang
dialami penulis atau orang yang ditulis. Dapat dipahami bahwa coda adalah
bagian dalam teks yang menjadi bagian terakhir yang berisi tentang kesimpulan
dari berbagai masalah yang dialami sang tokoh dalam teks dan bisa juga
mendeskripsikan tentang pesan moral.
Sedangkan menurut Mulyadi (2013:23),
menyatakan bahwa ”Struktur
teks anekdot terdiri dari lima unsur yaitu :
1)
abstraksi (abstract), yaitu bagian awal anekdot
yang berfungsi memberi gambaran tentang isi teks. Dapat dipahami bahwa
abstraksi merupakan bagian awal dalam teks anekdot yang mendeskripsikan tentang
isi dari teks tersebut.
2)
orientasi
(orientation), yaitu bagian yang menunjukkan awal kejadian cerita atau latar
belakang peristiwa. Dapat dipahami bahwa orientasi merupakan bagian dalam teks
anekdot yang mendeskripsikan tentang kejadian awal terjadinya cerita tersebut.
3)
krisis
(crisis), yaitu bagian yang menunjukkan terjadinya hal yang menarik atau
kejanggalan ataupun ketidakpuasan pada si penulis atau orang yang diceritakan.
Dapat dipahami bahwa krisis merupakan bagian dari teks anekdot yang memaparkan
hal atau peristiwa yang menarik yang dialami oleh tokoh dalam cerita tersebut.
4)
reaksi
(reaction), yaitu bagian yang menjelaskan cara penulis atau orang yang ditulis
menyelesaikan masalah yang timbul pada bagian krisis. Dapat dipahami bahwa
reaksi merupakan bagian dalam teks anekdot yang mendeskripsikan tentang
berbagai solusi yang digunakan tokoh dalam menyelesaikan masalah yang
dihadapinya.
5)
koda
(coda), yaitu bagian akhir dari cerita Anekdot. Dapat dipahami bahwa koda
merupakan bagian akhir dari teks anekdot yang berisi tentang simpulan akhir
dari kehidupan tokoh dalam cerita tersebut.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa struktur pembangun teks anekdot terbagi atas lima bagian,
yaitu abstrak, orientasi, krisis, reaksi, dan coda. Kelima struktur tersebut
menjadi landasan tersusunnya sebuah teks anekdot yang baik.
2.14 Ciri-Ciri Teks Anekdot
Teks anekdot juga memiliki ciri-ciri tersendiri, yang dapat membedakannya
dengan jenis teks lainnya. Menurut
Endraswara (2011:28), menjelaskan
bahwa teks anekdot memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1)
aspirasi (opini)
2)
menyindir (sarkasme)
3)
tokohnya faktual
4)
memiliki alur/plot
5)
memiliki latar waktu, tempat, dan latar suasana
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa teks anekdot
memiliki ciri-ciri yang unik, yaitu bisa berupa opini dari seorang penulis
naskah, bisa berupa kata-kata yang penuh dengan sindiran dalam naskah tersebut,
bisa juga dikarenakan adanya tokoh yang terkenal, dan dianggap penting, selain
itu bisa juga teks anekdot terbentuk dari urutan peristiwa yang menarik atau
bahkan lucu, dan teks anekdot juga mempunyai latar kejadian dalam naskah.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan
dan Jenis Penelitian
Penelitian
ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Penggunaan
pendekatan ini didasarkan pada kenyataan bahwa data yang dikumpulkan berupa
nilai atau angka-angka, adanya rumusan hipotesis yang jelas, analisis data
dilakukan setelah semua data terkumpul dan analisis data ini dilakukan dengan
menggunakan rumus statistik. Menurut Sugiyono (2012:14), menyatakan bahwa
“Metode penelitian kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang
melandaskan pada filsafat positifisme. Teknik pengambilan sampel pada umumnya
dilakukan secara random, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian,
analisis data filsafat kuantitatif atau statistik dengan tujuan untuk menguji
kebenaran dari hipotesis yang telah dirumuskan.
Adapun
jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen. Menurut Sugiyono, (2012:107), menjelaskan bahwa ”Penelitian eksperimen adalah jenis penelitian
yang dipakai digunakan untuk mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang
lain dalam kondisi yang terkendali”. Dapat dipahami bahwa jenis penelitian
eksperimen digunakan untuk mencari ada tidaknya pengaruh atas suatu hal, yaitu
dengan adanya penerapan model pembelajaran modelling the way terhadap materi mengkonversi teks anekdot menjadi
naskah drama.
33
|
3.2 Desain Penelitian
Adapun
desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pretest – posttest – control group design.
R O1 X O2
R O3 X O4
Dalam
desain penelitian ini, terdapat dua kelompok yang dipilih secara random,
kemudian diberi pretest untuk
mengetahui keadaan awal yaitu adakah perbedaan antara kelompok eksperimen dan
kelompok control. Hasil pretest yang baik bila nilai kelompok eksperimen tidak
berbeda secara signifikan. Sehingga pengaruh perlakuan adalah (O2 –
O1) – (O4 – O3).
3.3 Lokasi
dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 1
Jangka yang terletak di Jalan Jangka, Desa Jangka Kecamatan Jangka Kabupaten Bireuen. Penelitian ini dilakukan pada
semester genap tahun pelajaran 2015/2016. Alasan peneliti memilih SMA Negeri 1 Jangka sebagai lokasi
penelitian ini karena karakteristik yang dimiliki oleh warga pendidik
di sekolah tersebut selalu menerima berbagai pembaharuan yang bersifat positif
sehingga menggugah minat semua pihak terkait untuk bersama-sama mencari solusi
terbaik untuk meningkatkan kemampuan siswa dan meningkatkan kualitas proses
pembelajaran dalam materi mengkonvensi
teks anekdot menjadi naskah drama.
3.4 Populasi dan Sampel
Penelitian
3.4.1 Populasi Penelitian
Populasi adalah keseluruhan objek dalam
penelitian. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Arikunto (2006:32)
bahwa ”Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek
yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh
peneliti untuk dipelajari. Populasi berkenaan dengan data, bukan dengan orang
atau bendanya. Populasi merupakan kelompok subjek, baik manusia, kelas, nilai,
tes, benda-benda ataupun peristiwa yang akan diteliti”. Adapun populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X SMA Negeri 1
Jangka yang terdiri atas 3 kelas paralel dengan rincian MIA 1, MIA 2, MIA 3,
IPS 1 dan IPS 2 dengan jumlah
112 siswa. Maka, jumlah
populasi adalah sebanyak 112 siswa.
3.4.2 Sampel Penelitian
Penarikan sampel dipedomani pada
pendapat Arikunto (2006:134) menyatakan bahwa ”Apabila subjeknya (populasi)
kurang dari 100, lebih baik diambil semua, sehingga penelitiannya merupakan
penelitian populasi. Tetapi, jika jumlah subjeknya (populasi) besar atau lebih
besar dari 100, dapat diambil antara 10-15% atau 20-25% atau lebih”. Adapun
teknik pengambilan sampel dilakukan dengan teknik random sampling. Dengan
demikian, yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah :
x 15 % = 17 orang
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik yang digunakan dalam pengumpulan data
penelitian ini, adalah sebagai berikut :
1)
sebelum memberikan tes kepada responden,
peneliti menyiapkan dua buah RPP yang sama, satu buah dengan model pembelajaran
konvesional dan satu buah lagi dengan model pembelajaran modelling the way.
2)
peneliti memberikan protes kepada kedua kelas tersebut.
3)
peneliti mengajarkan materi mengkonversi teks anekdot menjadi naskah drama pada
kelas kontrol dengan menggunakan model pembelajaran konvesional.
4)
peneliti mengajarkan materi mengkonversi teks anekdot menjadi naskah drama pada
kelas eksperimen dengan menggunakan model pembelajaran modelling the way.
5)
peneliti memberikan soal protes kepada kedua
kelas tersebut.
6)
peneliti mengumpulkan hasil kerja responden
untuk dianalisis.
3.6 Teknik Analisis
Data
Untuk
melihat adakah hasil belajar siswa mengalami peningkatan, data yang dikumpul
tersebut diolah dengan menggunakan rumus statistik uji-T dengan taraf
signifikan 0,05 yang diperhatikan berdasarkan dari derajat kebebasan
yang dibandingkan dengan besar T tabel, dengan rumus sebagai berikut :
1)
data yang telah disusun dalam daftar distribusi
frekuensi rata-rata menurut Sudjana (2002:67) dihitung dengan rumus :
Keterangan :
f = frekuensi
2)
untuk menghitung simpangan baku (s2)
menurut Sudjana (2002:47) adalah :
Keterangan :
Xi = kelas interval
3)
untuk
mencari varian gabungan menurut Sudjana (2002-293) adalah :
Keterangan :
n1 = jumlah siswa kelas eksperimen
n2 = jumlah siswa kelas kontrol
simpang baku data kelompok eksperimen
simpang baku data kelompok kontrol
4)
untuk menguji kenormalan sampel menurut Sudjana (2005-293)
adalah :
Keterangan :
Oi
= nilai-nilai yang nampak sebagai hasil pengamatan
Ei
= nilai-nilai yang diharapkan terjadi/nilai
teroris
5)
untuk menguji kesamaan dua varian menurut Sudjana
(2002:273) adalah :
6)
untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan
yaitu tentang perbandingan belajar siswa menurut Sudjana (2002-249) adalah :
Keterangan :
t = uji-t
Hipotesis
yang akan di uji adalah :
Ho = (hasil belajar yang diajarkan siswa dengan
model pembelajaran modelling the way sama dengan prestasi belajar dengan
pembelajaran konvensional dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada meteri mengkonversi teks anekdot menjadi naskah drama).
Ha = (hasil belajar yang diajarkan dengan model
pembelajaran modelling the way lebih baik dengan pembelajaran konvensional
dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada materi mengkonversi teks anekdot menjadi naskah drama.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian.
Jakarta: Rineka Cipta.
Endraswara, Suwardi. 2011. Metode
Pembelajaran Drama Apresiasi, Ekspresi dan Pengkajian. Yogyakarta : CAPS.
Hisyam Zaini, dkk. 2008. Strategi
Pembelajaran Aktif. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani.
Istarani.
2011. 58 Model Pembelajaran Inovatif. Medan: Media Persada.
Kosasih. E. 2003. Kompetensi
Ketatabahasaan dan kesusastraan. Bandung: Ramawidia.
Mulyadi, Yadi, dkk.2013. Bahasa
Indonesia untuk SMA-MA/SMK Kelas X. Bandung: Yrama Widya.
Semi, M. Atar.
2008. Stilistika Sastra. Padang: UNP Press.
Soemanto, Bakdi.
2001. Jagad Teater. Yogyakarta:
Mespress.
Sudjana. 2002. Metode
Statistika. Bandung: Tarsito.
Sugiyono. 2012. Metodelogi Penelitian Pendidikan,
Bandung : Alfabeta
Suprijono, Agus. 2010 . Cooperatif Learning.Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Tarian, Henry Guntur. 2000. Prinsip-prinsip dasar Sastra. Bandung : Angkasa.
Tim Penyusun. 2014. Pedoman Penulisan Skripsi.
Matangglumpangdua: FKIP Universitas
Almuslim.
39
|
MEMPERKAYA REFERENSI BAGI PENGAJAR DAN PENELITI. TRIMS
BalasHapus