BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Sastra
merupakan suatu hasil imajinasi dan buah kreatif penulis yang dihasilkan dalam
bentuk tulisan.
Tulisan yang bernilai sastra dilahirkan dari sederet kalimat-kalimat yang
disusun dan dimanipulasi dengan rapi oleh penulis. Penulis meluapkan imajinasi
dan ide-ide yang dimilikinya dengan penuh kesungguhan sehingga menghasilkan
sebuah karya yang dapat dinikmati oleh pembaca. Meluapkan
gagasan tersebut tidaklah semudah yang dipikirkan, seorang penulis haruslah
memiliki tingkat kreatifitas yang tinggi dalam menyusun sederet kalimat.
Namun, kreativitas itu tidak
saja dituntut dalam upaya melahirkan pengalaman batin dalam bentuk karya
sastra, tetapi lebih dari itu. Seorang pengarang menghayati berbagai
permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan yang kemudian diungkapkannya
kembali melalui sarana fiksi sesuai dengan pandangannya dan seorang pengarang
harus dapat memilih unsur-unsur terbaik dari pengalaman hidup manusia yang
dihayatinya, yang akhirnya dituang dalam bentuk tulisan.
1
|
Pengarang
sebuah novel yang baik adalah pengarang yang dapat memainkan kata-kata, ia
dapat menciptakan berbagai gaya bahasa dalam penceritaan berbagai rentetan alur
dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam novel. Hal ini dikarenakan pada
hakikatnya, gaya bahasa adalah cara khas penulis dalam pengungkapan
imajinasinya melalui bahasa tulis. Penulis mengutarakan hasratnya dalam
penyampaian ide-idenya melalui bahasa kias, atau bukan bahasa sebenarnya dengan
alasan agar pembaca tertarik untuk melanjutkan membaca sampai tuntas jalannya
alur dalam cerita. Selain itu, penulis ingin menghadirkan sebuah karya sastra
tulis berbentuk novel yang memiliki kekhasan dalam segi bahasa, sehingga
membedakannya dengan bentuk sastra tulis lainnya.
Novel Lampuki
merupakan salah satu novel karya Arafat Nur yaitu sebuah novel yang
menceritakan tentang kisah hidup masyarakat Aceh di masa DOM. Lampuki dengan gamblangnya memaparkan
bagaimana pilunya masyarakat Aceh kala itu, berbagai teror yang diterima rakyat
dan berbagai penyikasaan harus dilalui dalam keseharian mereka. Hal tersebut
dibentangkankan dalam Lampuki dengan menggunakan gaya bahasa yang menantang dan
membuat pembaca ikut merasakan alur peristiwa yang dikisahkan dalam Lampuki.
Arafat Nur secara jelas mengungkapkan
hal-hal itu dalam ”Lampuki”. Di dalam novel ini ia mengisahkan segala
problema, dinamika serta gejolak masyarakat Aceh, ketika para pemberontak Aceh
dan serdadu pemerintah saling mengarahkan senjatanya.
Menariknya, Arafat Nur tidak mengetengahkan
kesemuanya dengan amarah ataupun emosi keberpihakan. Sebaliknya, ia
mengungkapkannya dengan satir, sindiran, sinisme, sampai olok-olok. Inilah
yang membuat ”Lampuki” terasa berbeda jika dibandingan
dengan novel-novel lain dengan latar belakang konflik lokal lainnya. ”Lampuki” tidak hadir untuk memihak, melainkan
melakukan protes keras kepada semua pihak. Ia ingin menelanjangi bahwa pihak-pihak yang bertikai hanyalah orang-orang
yang justru menambah beban dan penderitaan rakyat biasa. Justru rakyat biasalah
yang menanggung segala akibatnya. Oleh sebab itu, Arafat tidak segan untuk
mengatakan bahwa orang yang mengaku pemimpin perjuangan rakyat Aceh, yang dalam novel ini diwakili oleh Ahmadi, yaitu seorang pengecut.
Berdasarkan uraian pada latar
belakang masalah yang telah penulis kemukakan di atas, maka penulis tertarik
untuk mengadakan penelitian. Adapun judul penelitian ini adalah Analisis Gaya Bahasa dalam Novel ”Lampuki” Karya
Arafat Nur.
1.2
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah gaya bahasa
dalam Novel ”Lampuki” Karya Arafat Nur?
1.3
Tujuan Penelitian
Sehubungan
dengan rumusan masalah di atas, yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan
data tentang gaya bahasa dalam Novel ”Lampuki” Karya Arafat Nur.
1.4
Manfaat Penelitian
Berdasarkan uraian permasalahan dan tujuan penelitian yang telah
dikemukakan di atas, penelitian ini mempunyai dua manfaat yaitu secara teoretis
dan praktis.
Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pengalaman
baru dalam mengungkapkan perkembangan dunia sastra Indonesia, yaitu mengenai gaya bahasa dalam Novel ”Lampuki” Karya
Arafat Nur.
Selanjutnya, secara praktis
hasil penelitian ini bermanfaat:
1)
Bagi
peneliti, hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan tentang
kesusastraan Indonesia, yaitu mengenai gaya bahasa yang terdapat dalam karya
fiksi berbentuk novel.
2)
Bagi
pembaca, hasil penelitian ini
dapat memberi informasi empiris dan pendalaman ilmu serta pengetahuan mengenai
bidang kesusastraan, sehingga akan memotivasi untuk lebih mencintai karya
sastra Indonesia berbentuk novel serta dapat dijadikan sebagai acuan untuk
melakukan penelitian selanjutnya.
1.5
Definisi Operasional
Untuk menghindari kesalahan penafsiran terhadap istilah-istilah yang
digunakan dalam penelitian ini, maka penulis menguraikan beberapa definisi
operasional sebagai berikut:
1)
Analisis
adalah suatu kajian yang
dilaksanakan terhadap sebuah bahasa
guna meneliti struktur bahasa tersebut secara mendalam yaitu tentang Gaya Bahasa dalam Novel ”Lampuki” Karya Arafat
Nur.
2)
Gaya bahasa adalah cara khas dalam menyatakan pikiran
dan perasaan dalam bentuk tulisan atau lisan, yang terletak
pada pemilihan
kata-katanya yang tidak secara langsung menyatakan makna yang sebenarnya.
3)
Novel adalah karya sastra yang menceritakan tentang
realita kehidupan manusia yang diperankan oleh tokoh tertentu sesuai dengan
karakternya masing-masing.
4)
Lampuki adalah sebuah
novel yang bercerita tentang Aceh di era Daerah Operasi Militer.
5)
Arafat Nur
adalah seorang penulis novel Lampuki, yang berdarah asli Aceh.
BAB II
LANDASAN TEORETIS
2.1 Pengertian Novel
Novel merupakan bentuk karya sastra yang paling popular di
dunia, yaitu berupa prosa yang
mengungkapkan sebagian kehidupan pelaku yang dianggap penting dan menarik. Bentuk sastra ini paling
banyak beredar. Hal ini dikarenakan daya komunikasinya yang luas dalam
masyarakat. Novel yang baik adalah novel yang isinya dapat memanusiakan para
pembacanya. Novel biasanya menceritakan suatu kejadian yang luar biasa dari
tokoh cerita, di mana kejadian-kejadian itu menimbulkan pergolakan batin yang
mengubah perjalanan nasib tokohnya.
Menurut Kosasih (2003:250), mengemukakan
bahwa ”Novel adalah karya imajinatif yang mengisahkan sisi utuh atas
problematika kehidupan seseorang atau beberapa orang tokoh”. Maksudnya jelas
bahwa novel merupakan sebuah karya cipta manusia yang diwujudkan oleh seorang
penulis melalui penggambaran berbagai kisah hidup yang dialami seseorang dengan
untaian kisah, baik suka maupun duka yang muncul dalam kehidupan sang tokoh
yang diceritakan dalam karya fiksi berbentuk novel.
Sedangkan menurut Nurgiyantoro (2012:15), menyatakan
bahwa ”Novel adalah karya yang bersifat realistis dan mengandung nilai
psikologi yang mendalam”. Maksudnya, novel merupakan hasil karya imajinasi
pengarang yang bersifat tebuka dan sesuai dengan kenyataan sebenarnya, yaitu
sesuatu yang menjadi bagian dalam kehidupan manusia dan mengandung nilai-nilai
luhur yang dapat diaplikasikan bagi kehidupan para pembacanya.
6
|
Selain itu menurut
Sumarjo (dalam Santosa dan Wahyuningtyas, 2010:47), menyatakan bahwa ”Novel
adalah produk masyarakat. Novel berada di masyarakat karena novel dibentuk oleh
anggota masyarakat berdasarkan desakan-desakan emosional atau rasional dalam
masyarakat”. Dapat dipahami bahwa novel merupakan karya cipta seorang penulis
yang berasal dari masyarakat itu sendiri dan dibentuk berdasarkan berbagai
realita yang juga berasal dari masyarakat, hal ini dikarenakan adanya berbagai
perasaan dan didukung oleh logika sang penulis untuk diaplikasikan dalam bentuk
karya sastra berbentuk novel.
Menurut The American
College dictionary (dalam Purba, 2010:62), menyatakan bahwa ”Novel adalah
suatu cerita prosa yang fiktif dengan panjangnya tertentu, yang melukiskan para
tokoh, gerak serta adegan kehidupan nyata yang refressentatif dalam suatu alur
atau keadaan yang agak kacau atau kusut”. Maksudnya, novel merupakan suatu
karya yang bersifat rekaan dengan rentang ukuran dan waktu tertentu dalam
mengilustrasiaan berbagai kisah yang dilalui oleh para tokoh dengan rentetan
kisah yang dibungkus dalam alur yang menarik, meski pada hakikatnya banyak
persoalan yang bermunculan.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa novel
merupakan sebuah cerita fiktif yang berusaha menggambarkan atau melukiskan
kehidupan tokoh-tokohnya dengan menggunakan alur. Cerita fiktif tidak hanya
sebagai cerita khayalan semata, tetapi sebuah imajinasi yang dihasilkan oleh
pengarang dalam bentuk kisah realitas atau fenomena yang dilihat dan dirasakan.
2.2 Jenis-jenis
Novel
Novel
merupakan karya sastra yang dihasilkan dari buah imajinasi seorang penulis
memiliki beragam jenis tersendiri. Menurut Kosasih (2003:252) yang
dikutip dalam Anneahira, menjelaskan bahwa ”Karya sastra berbentuk novel memiliki
pembagian tersendiri, yaitu berdasarkan :
1)
Berdasarkan Kebenaran Cerita
Berdasarkan
kebenarannya ceritanya, novel terbagi menjadi dua jenis, yaitu:
(1) Novel
Fiksi, merupakan novel yang berkisah tentang hal yang fiktif dan tidak pernah
terjadi. Cerita, tokoh, alur maupun latar belakangnya, semua hanyalah karangan penulis
saja. Walaupun ada kisah nyata, biasanya kisah itu dimodifikasi sehingga
terkesan tidak nyata, misalnya novel Perahu Kertas karya Dee.
(2) Novel
Nonfiksi, novel ini adalah kebalikan dari novel fiksi, yaitu novel yang
bercerita tentang hal nyata yang sudah pernah terjadi. Biasanya pengalaman
seseorang, kisah nyata, atau berdasarkan sejarah, misalnya novel Sepatu
Terakhir karya Toni Tegar Sohidi.
2)
Berdasarkan Genre Cerita
Berdasarkan
genre cerita, novel terbagi menjadi beberapa macam, yaitu:
(1) Novel
Romantis, merupakan novel yang ceritanya berkisar seputar percintaan dan kasih
sayang. Dari awal hingga akhir, pembaca akan disuguhi sebuah konflik percintaan
yang dibumbui oleh romantisme, misalnya novel Rindu karya Sefryana Khairil.
(2) Novel
Horor, merupakan novel yang memiliki cerita menegangkan, membuat pembaca berdebar-debar. Novel ini bercerita tentang hal-hal
mistis, misalnya novel Jangan Sentuh Darahku karya Amal Komandoko.
(3) Novel
Misteri, merupakan novel yang memiliki unsur teka-teki yang harus dipecahkan.
Genre novel seperti ini dapat menimbulkan rasa penasaran pembaca hingga akhir
cerita, misalnya novel Angels and Demons karya Dan Brown.
(4) Novel
Komedi, merupakan novel yang mengandung unsur kelucuan atau humor yang pastinya
akan membuat orang tertawa dan benar-benar terhibur, misalnya novel Diary Si
Bocah Tengil karya Jeff Kinney.
(5) Novel
Inspiratif, merupakan novel yang ceritanya mampu menginspirasi orang banyak.
Umumnya, novel ini sarat akan pesan moral atau hikmah tertentu yang bisa
diambil oleh pembaca sehingga membaca mendapatkan motivasi untuk melakukan
hal-hal yang lebih baik, misalnya novel 5 Cm karya Donny Dhirgantoro.
3)
Berdasarkan Isi, Tokoh dan Pangsa Pasar
Berdasarkan
isi, tokoh dan pangsa pasar, novel terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu:
(1) Teenlit,
berasal dari kata ’teen’ yang berarti remaja dan ’lit’ dari kata literature
yang berarti tulisan/karya tulis. Novel ini merupakan jenis novel yang
bercerita seputar persoalan para remaja, umumnya tentang cinta atau
persahabatan. Tokoh dan pangsa pasar novel jenis ini adalah anak usia remaja,
usia yang dianggap labil dan memiliki banyak permasalahan, misalnya novel Bukan
Salah Bintang Jatuh karya Aisya Yuliana.
(2) Chicklit,
adalah bahasa slang dari Amerika yang berarti wanita muda. Novel ini merupakan novel
yang bercerita tentang kehidupan atau permasalahan yang dihadapi oleh seorang
wanita muda pada umumnya. Cerita dari novel ini lebih kompleks, rumit dan
mengandung unsur dewasa yang tidak terlalu mudah ditangkap oleh pembaca usia
remaja, misalnya novel Dunia Trisa karya Eva Sri Rahayu.
(3) Songlit,
merupakan novel yang ditulis berdasarkan sebuah lagu, misalnya novel
Ruang Rindu, di mana judul novel ini adalah judul sebuah lagu ciptaan letto
group band Indonesia.
(4) Novel
Dewasa, merupakan novel yang diperuntukkan untuk orang dewasa, karena umumnya
ceritanya seputar percintaan yang mengandung unsur seksualitas orang dewasa,
misalnya novel Suatu Sendja karya Harie. D.F.
Berdasarkan pemaparan di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa novel terbagi menjadi tiga jenis, yaitu
berdasarkan kebenaran cerita, yaitu novel fiksi dan nonfiksi, berdasarkan genre
cerita, yaitu novel romantis, horor, misteri, komedi, dan novel inspiratif, dan berdasarkan isi, tokoh dan pangsa pasar,
yaitu novel teenlit, chicklit, songlit, dan novel dewasa.
2.3 Pengertian
Gaya Bahasa
Gaya
bahasa merupakan cara khas yang digunakan seorang penulis dalam menuangkan
gagasan yang dimilikinya dalam bentuk karya sastra melalui media tulisan.
Tulisan yang ditulis tersebut sedemikian rupa disusun dengan menggunakan
kata-kata yang tidak secara langsung menyatakan makna aslinya. Penulis dengan
cekatannya memainkan kata-kata sehingga membuat semakin indah sebuah tulisan
tersebut.
Menurut
Endraswara (2003:73),
menyatakan bahwa ”Gaya
bahasa merupakan seni yang dipengaruhi oleh nurani”. Dapat
dipahami bahwa, gaya bahasa adalah suatu seni atau keindahan yang diperoleh dan
menyatu dengan perasaan seorang penulis.
Menurut (Keraf, 2004:112),
menyatakan bahwa ”Gaya
bahasa dapat dikatakan sebagai keahlian seorang pengarang dalam mengolah
kata-kata”. Dapat dipahami bahwa gaya bahasa adalah kemahiran
seseorang dalam menguraikan kata-kata dalam tulisannya.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa gaya
bahasa atau majas adalah cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam
bentuk tulisan atau lisan. Kekhasan dari gaya bahasa ini terletak pada
pemilihan kata-katanya yang tidak secara langsung menyatakan makna yang
sebenarnya.
2.4
Jenis-jenis Gaya Bahasa dalam Karya Sastra
Gaya bahasa adalah penggunaan
bahasa secara khusus untuk mendapat efek-efek tertentu. Dalam
sebuah karya sastra berbentuk novel tentunya terdapat jenis-jenis gaya bahasa
tersendiri. Menurut
Tarigan (2009:5),
menyatakan bahwa ”Gaya
bahasa dibagi menjadi empat kelompok, yaitu: 1) gaya bahasa perbandingan, 2) gaya bahasa perulangan, 3) gaya bahasa pertentangan,
dan 5) gaya bahasa pertautan.
1)
Gaya
Bahasa Perbandingan
Menurut Tarigan (2009:8), berpendapat bahwa ”Gaya bahasa perbandingan adalah bahasa kiasan yang
menyamakan satu hal dengan yang lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding
seperti: bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, seumpama, laksana, dan
kata-kata pembanding lain”.
Dapat dipahami bahwa gaya bahasa perbandingan
adalah gaya bahasa yang mengandung maksud membandingkan dua hal yang dianggap
mirip atau mempunyai persamaan sifat (bentuk) dari dua hal yang dianggap sama.
Adapun gaya bahasa perbandingan ini meliputi: perumpamaan, metafora, personifikasi,
depersonifikasi, alegori, antitesis,
pleonasme/tautologi, perifrasis, prolepsis atau antisipasi dan koreksio atau
epanortosis.
(1)
Perumpamaan
adalah gaya bahasa yang memberikan perbandingan tentang dua hal yang pada
hakikatnya berhubungan dan yang sengaja kita anggap sama. Dapat dipahami bahwa,
gaya bahasa perumpamaan merupakan gaya bahasa memberikan penyamaan kepada dua
hal yang memiliki hubungan antara keduanya.
Contoh:
a.
Seperti air dengan minyak.
b.
Ibarat mengejar bayangan.
c.
Laksana pahat dengan pemukul.
(2)
Metafora
adalah gaya bahasa yang memberikan perbandingan yang implisit
diantara dua hal yang berbeda. Dapat dipahami bahwa, gaya bahasa metafora
merupakan gaya bahasa yang memakai kata-kata bukan dengan arti yang sebenarnya
melainkan sebagai persamaan atau perbandingan antara kedua hal tersebut.
Contoh:
a. Dia anak emas pamanku.
b. Mina buah
hati Edi.
c. Aku terus memburu untung.
(3)
Personifikasi adalah gaya bahasa yang meletakkan sifat insani kepada
benda yang tak bernyawa dan ide yang abstrak. Dapat dipahami bahwa, gaya bahasa
personifikasi merupakan gaya bahasa yang membandingkan sifat yang dimiliki
manusia dengan suatu benda yang tak bernyawa.
Contoh:
a. Hujan memandikan tanaman.
b. Pepohonan tersenyum riang.
c. Tugas menantikan kita.
(4)
Depersonifikasi
adalah gaya bahasa yang
melekatkan sifat benda pada manusia atau insan. Dapat dipahami bahwa gaya
bahasa depersonifikasi merupakan gaya bahasa yang meletakkan sifat suatu benda
kepada sifat atau tingkah laku manusia.
Contoh:
a. Sekiranya suami menjadi ombak, maka istri
menjadi pantai.
b. Bila kakanda menjadi darah, maka adinda
menjadi daging.
c. Kalau dikau menjadi samudra, maka daku
menjadi bahtera.
(5)
Alegori
adalah gaya bahasa perbandingan yang bertautan satu dengan yang lainnya dalam
kesatuan yang utuh. Dapat dipahami bahwa gaya bahasa alegori merupakan gaya
bahasa yang memiliki keterikatan antara sesuatu dalam bagian yang menyatu.
Contoh:
a. Hati-hatilah kamu dalam mendayung
bahtera rumah tangga.
b. Mengarungi lautan kehidupan yang penuh badai dan
gelombang.
c. Tetap semangat hingga titik darah penghabisan.
(6)
Antitesis
adalah gaya bahasa yang mengadakan perbandingan antara dua antonim. Dapat
dipahami bahwa gaya bahasa antitesis merupakan gaya bahasa yang memberikan
perbandingan terhadap kata-kata yang memiliki makna semantik yang bertentangan.
Contoh:
a. Dia bergembira ria atas kegagalanku
dalam ujian itu.
b. Gadis yang secantik si Ida diperistri oleh si
Dedi yang jelek itu.
c. Kecantikannyalah justru yang mencelakakannya.
(7)
Pleonasme
atau tautologi adalah gaya bahasa yang memakai kata berlebihan dan bila kata
yang berlebihan itu dihilangkan artinya tetap utuh. Dapat dipahami bahwa gaya
bahasa pleonasme merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata-kata yang
berlebihan, tetapi jika kata-kata tersebut dihilangkan maka maknanya tetap
utuh.
Contoh:
a. Anak-anak
asyik menyepak bola yang bundar bentuknya itu.
b. Kami
tiba di rumah jam 4.00 subuh.
c. Orang
yang meninggal itu menutup mata buat selama-lamanya.
(8)
Perifrasis adalah gaya bahasa yang
menggunakan kata-kata yang berlebihan dan pada prinsipnya dapat diganti dengan
sebuah kata saja. Dapat dipahami bahwa gaya bahasa perifrasis merupakan gaya bahasa yang memakai kata-kata yang
berlebihan, namun pada hakikatnya dapat diganti dengan satu kata saja.
Contoh:
a. Putri
kami yang sulung telah melayarkan bahtera ke pulau idamannya bersama
tunangannya (nikah atau kawin).
b. Saya menerima segala saran, petuah, petunjuk yang sangat berharga
dari Bapak Lurah (nasihat).
c. Pemuda itu menumpahkan segala isi hati dan segala harapan kepada gadis desa
itu. (cinta).
(9)
Antisipasi atau prolepsis adalah gaya bahasa yang mempergunakan terlebih dahulu
satu atau beberapa kata sebelum gagasan atau peristiwa yang sebenarnya terjadi.
Dapat dipahami bahwa gaya bahasa antisipasi merupakan gaya bahasa yang terlebih
dahulu digunakan sebelum munculnya gagasan yang sebenarnya.
Contoh:
a. Kami
sangat gembira, minggu depan kami memperboleh hadiah dari Bapak Bupati.
b. Mobil
yang malang itu ditabrak oleh truk pasir dan jatuh ke jurang.
c. Almarhum ayahku pada saat itu
mengakui bahwa dia mempunyai piutang pada Rumah Makan Tambore.
(10) Koreksi
atau Epanortosis adalah gaya bahasa yang berwujud mula-mula ingin menegaskan
sesuatu tetapi kemudian memeriksa dan memperbaiki mana-mana yang salah. Dapat dipahami bahwa gaya bahasa koreksi atau
epanortosis merupakan gaya bahasa yang menyatakan sesuatu baru pada akhirnya
memperbaiki yang tidak benar.
Contoh:
a. Pak Tarigan memang orang Bali,
ah bukan, orang Batak.
b. Dia benar mencintai Neng Tetty,
eh bukan Neng Terry.
c. Saya telah membayar iuran
sebanyak tujuh juta, tidak, tidak, tujuh ribu rupiah.
2)
Gaya
Bahasa Pertentangan
Menurut Tarigan (2009:53), berpendapat bahwa ”Gaya bahasa pertentangan adalah adalah gaya bahasa
yang maknanya bertentangan dengan kata-kata yang ada”. Dapat dipahami bahwa gaya bahasa pertentangan
adalah gaya bahasa yang memiliki makna yang berbeda dengan kata-kata yang sudah
ada atau kata-kata aslinya. Adapun gaya bahasa pertentangan ini meliputi: hiperbola,
litotes, ironi, oksimoron, paronomasia, paralipsis, zeugma, silepsis, satire,
inuendo, antifrasis, paradoks, klimaks, antiklimaks, apostrof, anastrof,
apofasis atau preterisio, hiperbaton atau histeron proteron, hipalase, sinisme
dan sarkasme.
(1)
Hiperbola adalah gaya bahasa yang merupakan
ungkapan yang melebih-lebihkan apa yang sebenarnya dimaksudkan : jumlahnya,
ukurannya atau sifatnya. Dapat dipahami bahwa gaya bahasa hiperbola merupakan
gaya bahasa yang menggunakan ungkapan secara berlebihan dari maksud sebenarnya,
baik jumlah, ukuran maupun sifat dari suatu hal.
Contoh:
a.
Sempurna
sekali, tiada kekurangan suatu apapun, buat pengganti baik atau cantik.
b.
Kurus kering tiada daya
kekurangan pangan, buat pengganti kelaparan.
c.
Tabungannya berjuta-juta
emasnya berkilo-kilo, sawahnya berhektar-hektar, sebagai pengganti dia orang kaya.
(2)
Litotes adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang
dikecil-kecilkan atau dikurangi dari kenyataan yang sebanarnya. Dapat dipahami
bahwa gaya bahasa litotes merupakan suatu ungkapan yang menyatakan suatu hal
dengan mengecil-ngecilkan suatu hal dari kenyataan sebenarnya.
Contoh:
a.
Anak itu sama
sekali tidak bodoh.
b.
Hasil usahanya tidaklah
mengecewakan.
c.
H.B. Yasin bukannya kritikus
murahan.
(3)
Ironi adalah gaya bahasa yang menyatakan makna bertentangan
dengan maksud berolok-olok. Dapat dipahami bahwa gaya bahasa ironi adalah gaya
bahasa yang mengungkapkan sesuatu dengan maksud untuk mengolok-olok suatu hal
secara kebalikannya.
Contoh:
a.
Aduh bersihnya kamar ini, puntung rokok dan sobekan
kertas bertebaran di lantai.
b.
Bagusnya rapor si Andi ini, banyak benar angka
merahnya.
c.
Saya percaya benar kepadamu, tak pernah janjimu kau
tepati.
(4)
Oksimoron adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan dengan
menggunakan kata-kata yang berlawanan dalam frase yang sama. Dapat dipahami
bahwa gaya bahasa oksimoron merupakan
gaya bahasa yang menggunakan kata-kata yang berlawanan untuk menyatakan
suatu makna yang bertentangan dengan makna yang sebenarnya.
Contoh:
a.
Bahasa memang dapat dipakai sebagai alat pemersatu tetapi dapat juga sebagai
alat pemecah belah.
b.
Siaran televisi dapat dipakai sebagai sarana perdamaian namun dapat pula
sebagai penghasut peperangan.
c.
Olahraga mendaki gunung memang menarik hati walaupun sangat
berbahaya.
(5)
Paronomasia adalah gaya bahasa yang berisi penjajaran kata-kata yang
berbunyi sama tetapi bermakna lain. Dapat dipahami bahwa gaya bahasa
paronomasia merupakan gaya bahasa yang diungkapkan melalui sederetan kata yang
berbunyi sama namun memiliki arti yang berlainan.
Contoh:
a.
Di samping menyukai suasana indah,
saya juga mendambakan suasana indah.
b.
Oh adinda sayang, akan kutanam bungan tanjung di pantai tanjung
hatimu.
c.
Mari kita kubik beramai-ramai
kacang tahan yang setengah kubik
banyaknya itu.
(6)
Paralipsis adalah gaya bahasa yang merupakan
suatu formula yang dipergunakan sebagai sarana untuk menerangkan bahwa
seseorang tidak mengatakan apa yang tersirat dalam kalimat itu sendiri. Dapat
dipahami bahwa gaya bahasa paralipsis merupakan gaya bahasa yang digunakan
untuk menjelaskan bahwa seseorang tidak mengatakan apa yang dimaksud dalam
kalimat tersebut.
Contoh:
a. Semoga Tuhan
Yang Maha Kuasa menolak doa kita ini,
(maaf) bukan, maksud saya mengabulkannya.
b. Tidak ada
orang yang menyayangi kamu (maaf)
yang saya maksud membenci kamu di
desa ini.
c. Biarlah
masyarakat mendengar wasiat tersebut,
yang (maafkan saya) saya maksud bukan membacanya.
(7)
Zeugma adalah gaya bahasa yang menggunakan gabungan
gramatikal dua buah kata yang mengandung ciri-ciri semantik yang bertentangan. Dapat dipahami bahwa gaya
bahasa zeugma merupakan gaya bahasa yang diungkapkan dengan menggunakan dua
buah kata yang memiliki makna bahasa yang bertentangan.
Contoh:
a.
Anak itu memang rajin dan malas di sekolah.
b.
Nenek saya peramah dan pemarah.
c.
Saya membaca buku ini dengan mata
dan tangan saya.
(8)
Silepsis adalah gaya bahasa yang mengandung konstruksi gramatikal yang
benar tetapi secara semantik tidak benar. Dapat dipahami bahwa gaya bahasa
silepsis merupakan gaya bahasa yang secara
susunan kalimatnya benar, namun secara maknanya tidak benar.
Contoh:
a.
Wanita itu kehilangan harta dan
kehormatannya.
b.
Kakaknya menerima uang dan penghargaan.
c.
Makna dan sikap hidup.
(9)
Satire adalah gaya bahasa yang mengandung ungkapan untuk menertawakan atau
menolak sesuatu. Dapat dipahami bahwa gaya bahasa satire merupakan gaya bahasa
yang mengandung maksud untuk tidak mengiyakan sesuatu atau menolak sesuatu
dengan ejekan atau tertawaan.
Contoh:
a.
Tanganmu dan tanganku dapat bikin ini negara sempurna bahagia.
b.
Kau menghilang di dalam mercedez-mu, hanya tinggal debu dan aku kembali
mendorong gerobak menimbun sampah dari sudut ke sudut jalan.
c.
Kalau peluru pertama sudah meledak, kita harus paling dulu menyerang,
mati ataupun menang.
(10)
Inuendo adalah gaya bahasa yang berupa sindiran dengan mengecilkan
kenyataan yang sebenarnya. Dapat dipahami bahwa innuendo adalah gaya bahasa
yang berbentuk sindiran untuk sesuatu hal dengan maksud untuk menghilangkan
kenyataan sebenarnya.
Contoh:
a.
Abangku sedikit gemuk karena terlalu kebanyakan makan daging berlemak.
b.
Orang itu sedikit malu karena tertangkap basah menjual perabot dapur
majikannya.
c.
Pak Ogah agak kurang dipercayai orang karena selalu berbohong dan tidak
pernah menepati janji.
(11)
Antifrasis adalah gaya bahasa yang berupa penggunaan sebuah kata dengan
makna kebalikannya. Dapat dipahami bahwa gaya bahasa antifrasis merupakan gaya
bahasa yang menggunakan menggunakan ungkapan kata dengan makna sebaliknya atau
bukan makna yang sebenarnya.
Contoh:
a.
Ia menerima pujian dari
masyarakat sekelilingnya.
b.
Hadirin harap berdiri,
mahasiswa teladan memasuki ruangan.
c.
Memang engkau orang pintar.
(12)
Paradoks adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata
dengan fakta-fakta yang ada. Dapat dipahami bahwa gaya bahasa paradoks
merupakan gaya bahasa yang kata-katanya bertentangan dengan makna atau
kenyataan sebenarnya.
Contoh:
a.
Aku kesepian di tengah keramaian.
b.
Dia kedinginan di kota Jakarta yang panas.
c.
Mereka merasa tenang di tengah kebisingan kota Medan.
(13)
Klimaks adalah gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran yang
setiap kali semakin meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya.
Dapat dipahami bahwa gaya bahasa klimaks merupakan gaya bahasa yang urutan
gagasan yang diungkapkan semakin penting dari gagasan-gagasan sebelumnya.
Contoh:
a.
Setiap guru yang berdiri di depan kelas harus mengetahui, memahami,
serta menguasai bahan yang diajarkan.
b.
Seorang guru harus bertindak sebagai pengajar, pembimbing, penyuluh,
pengelola, penilai, pemberi kemudahan atau pendidik yang sejati.
c.
Melalui pengajaran Bahasa Indonesia kita mengharapkan agar para siswa
terampil menyimak, terampil berbicara, terampil membaca dan terampil menulis,
pendeknya terampil berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.
(14)
Antiklimaks adalah gaya bahasa yang berisi gagasan-gagasan yang
diurutkan dari yang terpenting menjadi gagasan-gagasan yang kurang penting.
Dapat dipahami bahwa gaya bahasa antiklimaks merupakan gaya bahasa yang
menggunakan gagasan terpenting terlebih dahulu baru disusul oleh gagasan yang
kurang penting.
Contoh:
a.
Bahasa Indonesia diajarkan kepada para mahasiswa, siswa SMA, SMP dan
murid Taman Kanak-kanak.
b.
Dia memang raja uang di daerah ini, seorang budak hawa nafsu dan
keserakahan.
c.
Kita hanya dapat merasakan betapa nikamatnya dan mahalnya kemerdekaan
bangsa Indonesia, apabila kita mengikuti sejarah perjuangan para pimpinan kita
serta pertumbuhan darah para prajurit kita melawan serdadu penjajah.
(15)
Apostrof adalah gaya bahasa yang berupa pengalihan amanat dari yang
hadir kepada yang tidak hadir. Dapat dipahami bahwa apostrof merupakan gaya
bahasa yang berupa ungkapan untuk mengalihkan pernyataan dari yang ada kepada
yang tidak ada.
Contoh:
a.
Wahai roh-roh nenek moyang kami yang berada di negeri atas, tengah dan
bawah, lindungilah warga desaku ini.
b.
Wahai kalian yang telah menumpahkan darah dan mengorbankan jiwa bagi
tanah tumpah darah yang tercinta ini relakanlah supaya kami dapat menikmati
kemerdekaan dan keadilan sosial yang pernah kalian canangkan dan perjuangkan.
c.
Wahai datu-datu dan nenek moyang kami yang mendirikan kampung ini,
lindungilah cucu-cucumu dari segala marabahaya.
(16)
Anastrof atau inversi adalah gaya bahasa yang diperoleh dengan
pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat. Dapat dipahami bahwa anastrof
merupakan gaya bahasa yang muncul dengan membalikkan susunan kata yang sering
digunakan dalam kalimat.
Contoh:
a.
Diceraikan istrinya tanpa setahu sanak-saudaranya.
b.
Kupilih warna yang serasi bagi kain kebaya kakakku.
c.
Datanglah dia, makanlah dia, lalu pulang tanpa ucapan sepatah kata.
(17)
Apofasis atau preterisio adalah gaya bahasa yang menegaskan sesuatu
tetapi tampak seperti menyangkalnya. Dapat dipahami bahwa apofasis merupakan
gaya bahasa yang berisi penegasan tentang sesuatu, namun dipakai untuk tidak
mengiyakan sesuatu.
Contoh:
a.
Jika saya tidak menghargai nama baik sekolah ini, maka sesungguhnya saya
ingin mengatakan bahwa Anda seorang koruptor.
b.
Kami tidak tega mendengar cibiran tetangga bahwa kamulah yang mencuri
mobil sedan itu.
c.
Saya tidak rela mengungkapkan dalam pertemuan ini bahwa Bapak telah
bermain serong dengan wanita lain.
(18)
Histeron proteron adalah gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari
sesuatu yang logis/wajar. Dapat dipahami bahwa histeron proteron merupakan gaya
bahasa yang berisi ungkapan tentang kebalikan dari sesuatu yang masuk akal.
Contoh:
a.
Pidato yang berapi-api pun keluarlah dari mulut orang yang berbicara
terbata-bata itu.
b.
Dia membaca cerita itu dengan cepat dengan cara mengejanya kata demi
kata.
c.
Kereta itu melaju dengan cepat di depan sepasang anjing yang menariknya.
(19)
Hipalase adalah gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari suatu hubungan
alamiah antara dua komponen gagasan. Dapat dipahami bahwa hipalase meruapakan
gaya bahasa yang berisi ungkapan pernyataan antara suatu pertalian hubungan
secara langsung dari dua unsur gagasan.
Contoh:
a.
Aku menarik sebuah kendaraan
yang resah.
(yang resah adalah aku, bukan kendaraan).
b.
Ia duduk pada sebuah bangku
yang gelisah.
(yang gelisah adalah ia, bukan bangku).
c.
Kami tetap menagih bekas
mertuamu uang pinjaman kepada pakcikmu. (maksudnya, kami tetap menagih uang pinjaman bekas
mertuamu kepada pakcikmu).
(20)
Sinisme adalah gaya bahasa yang berupa sindiran yang berbentuk
kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. Dapat
dipahami bahwa sinisme merupakan gaya bahasa yang berbentuk ungkapan sebagai
sindiran atas ketidakyakinan yang mengandung ejekan terhadap niat baik
seseorang.
Contoh:
a.
Memang tidak dapat diragukan lagi bahwa Andalah yang paling kaya di
dunia yang mampu membeli kelima benua di bumi ini.
b.
Tidak dapat disangkal lagi bahwa Bapaklah orangnya, sehingga keamanan
dan ketentraman di daerah ini akan ludes bersamamu!
c.
Memang Pak Dukunlah orangnya, yang dapat menghidupkan orang yang telah
mati, apalagi mematikan orang yang masih hidup!
(21)
Sarkasme adalah gaya bahasa yang mengandung olok-olok atau sindiran
pedas dan menyakiti hati. Dapat dipahami bahwa sarkasme merupakan gaya bahasa
yang berisi ungkapan sebagai bentuk sindiran yang keras dan tidak menyenangkan
kita mendengarnya.
Contoh:
a.
Memang kamu tidak rakus, daging itu beserta tulang-tulangnya ludes kamu
makan.
b.
Cara dudukmu menghina kami.
c.
Meminjam itu serasa manis, tetapi memulangkan atau membayarnya serasa pahit
dan getir.
3)
Gaya
Bahasa Pertautan
Menurut Tarigan (2009:119), berpendapat bahwa ”Gaya bahasa pertautan adalah bahasa kiasan yang menautkan
atau mengaitkan sesuatu seuatu hal dengan suatu yang lainnya”. Dapat dipahami bahwa gaya bahasa pertautan merupakan
gaya bahasa yang mengandung maksud untuk mengaitkan sesuatu hal dengan sesuatu
yang lainnya sehingga memiliki keterkaitan antara keduanya. Adapun gaya bahasa
pertautan ini meliputi: metonimia, sinekdoke, alusio, eufemisme, eponim,
epitet, antonomasia, erotesis, paralelisme, elipsis, gradasi, asindeton dan polisindeton.
(1)
Metonimia adalah gaya bahasa yang memakai
nama ciri atau nama hal yang
ditautkan dengan nama orang, barang atau hal lain sebagai penggantinya. Dapat
dipahami bahwa metonimia merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata-kata
berdasarkan kriteria atau bentuk sesuatu yang dikaitkan dengan nama orang,
barang atau yang lain sebagai pengganti.
Contoh:
a. Saya tidak dapat membaca dengan jelas kini
karena kontak lensa saya jatuh dan
pecah.
b. Berapa sih harga Lancer sekarang ini?
c. Terkadang pena
justru lebih tajam daripada pedang.
(2)
Sinekdoke
adalah gaya bahasa yang menyebutkan nama bagian sebagai pengganti nama
keseluruhannya atau sebaliknya. Dapat dipahami bahwa sidekdoke merupakan gaya
bahasa yang menggunakan kata-kata untuk menyatakan makna sebagian sebagai
pengganti makna keseluruhannya, atau sebaliknya.
Contoh:
a. Setiap tahun semakin banyak mulut yang harus diberi makan di Tanah
Air kita ini.
b. Pasanglah telinga
baik-baik menghadapi masalah ini!
c. Aduh, kemana kamu buat matamu?
(3)
Alusi
adalah gaya bahasa yang menunjuk secara tidak langsung ke suatu peristiwa atau tokoh berdasarkan
praanggapan
adanya pengetahuan yang dimiliki oleh pengarang dan pembaca serta adanya
kemampuan para pembaca untuk menangkap pengacuan itu. Dapat dipahami bahwa
alusi merupakan gaya bahasa yang mengungkapkan suatu peristiwa atau tentang
seorang tokoh secara tidak langsung berdasarkan pengetahuan atau pendapat yang
dimiliki oleh pengarang dan berdasarkan kemampuan yang dimiliki pembaca untuk
menangkap apa yang diungkapkan oleh pengarang.
Contoh:
a. Saya
ngeri membayangkan kembali peristiwa Westerling di Sulawesi Selatan.
b. Tugu ini mengenangkan kita
kembali ke peristiwa Bandung Selatan.
c. Dapatkah kamu mambayangkan perjuangan KAMI dan KAPPI pada tahun 1966 menentang rezim Orde Lama dan menegakkan
keadilan di tanah air kita ini?
(4)
Eufemisme
adalah gaya bahasa yang mengandung nama seseorang yang begitu sering
dihubungkan dengan sifat tertentu sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan
sifat itu. Dapat dipahami bahwa eufemisme merupakan gaya bahasa yang
menggunakan ungkapan lebih halus untuk mengganti ungkapan dirasakan kasar yang
dianggap tidak mengenakkan.
Contoh:
a. tunanetra pengganti buta
b. tunakarya pengganti tidak mempunyai pekerjaan
c. tunawisma pengganti gelandangan
(5)
Eponim
adalah gaya bahasa yang mengandung nama seseorang yang begitu sering
dihubungkan dengan sifat tertentu sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan
sifat itu. Dapat dipahami bahwa eponim merupakan gaya bahasa yang berupa
ungkapan berupa nama seseorang yang digunakan untuk menyatakan sifat tertentu.
Contoh:
a.
Hellen dari Troya menyatakan kecantikan
b.
Dewi Sri menyatakan kesuburan
c.
Hercules menyatakan kekuatan
(6)
Epitet
adalah gaya bahasa yang mengandung acuan yang mengatakan suatu sifat atau ciri
khas dari seseorang atau suatu hal. Dapat dipahami bahwa epitet merupakan gaya bahasa yang menggunakan
ungkapan untuk menyatakan sifat atau ciri khas seseorang atau suatu hal.
Contoh:
a. Petani malam menuai
buah jambu dan pepaya itu beramai-ramai. (petani malam = kalong).
b. Hati-hati berjalan di semak belukar ini, jangan sampai terinjak ikat pinggang nabi Sulaiman. (ikat pinggang nabi Sulaiman = ular).
c. Putri malam menyambut kedatangan para remaja yang sedang diamuk asmara. (putri malam = bulan).
(7)
Antonomasia
adalah gaya bahasa yang menggunakan gelar resmi atau jabatan sebagai pengganti
nama diri. Dapat dipahami bahwa antonomasia merupakan gaya bahasa yang memakai
ungkapan jabatan sebagai pengganti nama seseorang.
Contoh:
a. Pangeran menandatangani Surat Penghargaan tersebut.
b. Rakyat pengharapkan agar Yang Mulia dapat menghadiri upacara itu.
c. Gubernur Sumatra Utara akan meresmikan Pembukaan Seminar Adat Karo di
Kabanjahe bulan depan.
(8)
Erotesis adalah gaya bahasa yang berupa pertanyaan yang dipergunakan
dalam tulisan atau pidato yang bertujuan untuk mencapai efek yang lebih
mendalam dan penekanan yang wajar dan sama sekali tidak menuntut suatu jawaban.
Dapat dipahami bahwa erotesis merupakan ungkapan dalam bentuk pertanyaan yang
biasa dipakai dalam pidato dan tidak menuntut adanya jawaban dari pendengar.
Contoh:
a.
Para gurukah yang harus menanggung akibat semua kegagalan dan
kemorosotan pendidikan di Tanah Air tercinta ini?
b.
Apakah sudah wajar bila kesalahan atau kegagalan itu ditimpakan
seluruhnya kepada para guru?
c.
Soal ujian tidak sesuai dengan bahan pelajaran. Herankah kita jika nilai
pelajaran Bahasa Indonesia poada Ebtanas tahun 1985 ini sangat merosot?
(9)
Paralelisme adalah gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam
pemakaian kata-kata atau frase-frase yang menduduki fungsi yang sama dalam
bentuk gramatikal yang sama. Dapat dipahami bahwa paralelisme merupakan gaya
bahasa yang menggunakan struktur kalimat yang berimbang.
Contoh:
a.
Baik di Perguruan Tinggi maupun di SMA, penataran P4 harus dilaksanakan
mulai tahun pengajaran baru tahun 1985.
b.
Baik kaum pria maupun wanita mempunyai hak dan kewajiban yang sama
secara hukum.
c.
Bukan saja korupsi itu harus dikutuk, tetapi juga harus diberantas di
Negara Pancasila ini.
(10)
Elipsis adalah gaya bahasa yang di dalamnya dilaksanakan penanggalan
atau penghilangan salah satu atau beberapa unsur penting dalam konstruksi
sintaksis yang lengkap. Dapat dipahami bahwa elipsis merupakan gaya bahasa yang
menghilangkan beberapa unsur dalam kalimat yang lengkap.
Contoh:
a.
Mereka ke Jakarta minggu yang lalu. (penghilangan predikat pergi atau berangkat).
b.
Saya akan berangkat hari ini. (penghilangan keterangan tujuan).
c.
Orang itu memukul dengan sekuat daya. (penghilangan objek, misalnya saya, istrinya dan lain-lain).
(11)
Gradasi adalah gaya bahasa yang mengandung suatu rangkaian atau urutan
paling sedikit tiga kata atau istilah yang secara sintaksis mempunyai satu atau
beberapa ciri semantik secara umum dan yang diantaranya paling sedikit satu
ciri diulang-ulang dengan perubahan yang bersifat kuantitatif. Dapat dipahami
bahwa gradasi merupakan gaya bahasa yang mengulang kembali satu atau bebraapa
istilah dalam kalimat dengan perubahan yang bersifat kongkrit.
Contoh:
a.
Kita malah bermegah juga alam kesengsaraan
kita, karena kita tahu bahwa kesengsaraan
itu menimbulkan ketekunan dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan harapan
dan pengharapan tidak mengecewakan.
b.
Kami berjuang dengan tekad; tekad harus maju; maju dalam kehidupan; kehidupan yang layak dan baik; baik secara jasmani dan rohani; jasmani dan rohani yang
diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Pengasih.
c.
Aku mempersembahkan cintaku padamu;
cinta yang bersih dan suci; suci murni tanpa noda; noda yang selalu
kujauhi dalam hidup ini; hidup yang berpedomankan perintah Tuhan; Tuhan pencipta alam semesta yang kupuja selama hidupku.
(12)
Asindeton adalah gaya bahasa yang berupa acuan dimana beberapa kata,
frase atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung. Dapat
dipahami bahwa asindeton merupakan gaya bahasa yang tidak menggunakan kata
sambung diantara kata, frase atau klausa yang sederajat.
Contoh:
a.
Dosen kami fasih berbahasa Belanda, Inggris, Jerman, Sunda, Toba, Karo,
Simalungun, Indonesia.
b.
Saya lihat, saya senang, saya tawar, saya beli, saya bawa pulang, saya
perlihatkan kepada istri saya.
c.
Vini, vidi, vici, adalah ucapan Julius Caesar yang berarti ‘saya datang,
saya lihat, saya senang’.
(13)
Polisindeton adalah gaya bahasa (yang merupakan kebalikan dari
asindeton) yang berupa acuan dimana beberapa kata, frase atau klausa yang
berurutan dihubungkan satu sama lain dengan kata sambung. Dapat dipahami bahwa
polisindeton merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata sambung diantara kata,
frase atau klausa yang sederajat.
Contoh:
a.
Istri saya menanam nangka dan jambu dan cengkeh dan pepaya di pekarangan
rumah kami.
b.
Harga padi dan jangung dan sayur-mayur sangat menggembirakan para petani
tahun ini.
c.
Polisi menangkap Pak Ogah beserta istrinya beserta anak-anaknya beserta
pembantunya dan membawanya ke penjara.
4)
Gaya
Bahasa Perulangan
Menurut Tarigan (2009:173), berpendapat bahwa ”Gaya bahasa perulangan adalah ungkapan yang dipakai untuk mengulang kata atau frase dalam kalimat”. Dapat dipahami bahwa gaya bahasa perulangan merupakan gaya bahasa yang mengandung
maksud untuk mengulang makna kata,
atau frase dalam kalimat. Adapun gaya bahasa perulangan ini meliputi: aliterasi, asonansi, antanaklasis, kiasmus,
epizeukis, tautotes, anafora, simploke, mesodilopsis, epanalepsis dan
anadiplosis.
(1)
Aliterasi adalah gaya bahasa repetisi
yang berwujud perulangan konsonan yang sama. Dapat dipahami bahwa aliterasi
merupakan gaya bahasa yang menggulang konsonan yang sama dalam suatu kalimat.
Contoh:
a.
datang dari danau.
b.
Inilah indahnya
impian.
c.
Andai aku ajak anak.
(2)
Asonansi
adalah semacam gaya bahasa repetisi
yang berwujud perulangan bunyi vocal yang sama. Dapat dipahami bahwa asonansi
merupakan gaya bahasa yang mengulang bunyi vocal yang sama dalam kalimat.
Contoh:
a.
Muka muda mudah
muram
Tiada
singa tiada biasa
Jaga harga
tahan raga
b.
Kura-kura dalam
perahu
Pura-pura
tidak tahu
Sudah
tahu bertanya pula
c.
Lain Bangkahulu
Lain
Semarang
Lain
dahulu
Lain
sekarang
(3)
Antanaklasis
adalah gaya bahasa repetisi
yang berwujud perulangan kata yang sama bunyi dengan makna yang berbeda. Dapat
dipahami bahwa antanaklasis merupakan gaya bahasa yang mengulang kata yang sama
bunyinya namun berbeda maknanya.
Contoh:
a. Buah bajunya
terlepas membuat buah dadanya
hampir-hampir kelihatan.
b. Karena buah penanya itu dia pun menjadi buah bibir masyarakat.
c. Buah pikiran
orang tua itu menjadi buah cakap orang
kampung kami.
(4)
Kiasmus
adalah gaya bahasa yang berisikan
perulangan dan sekaligus merupakan inversi antara dua kata dalam satu kalimat.
Dapat dipahami bahwa kiasmus merupakan gaya bahasa yang mengulang kata dalam
kalimat dan kata yang diulang tersebut menjadi makna yang kebalikan dalam
kalimat tersebut.
Contoh:
a.
Yang
kaya merasa dirinya miskin, sedangkan yang miskin justru merasa dirinya kaya.
b.
Dia
menyalahkan yang benar tetapi membenarkan
yang salah.
c.
Mengapa
kamu menganggap siang adalah malam dan malam adalah siang?
(5)
Epizeukis
adalah gaya bahasa repetisi
yang berupa perulangan langsung atas kata yang dipentingkan beberapa kali
berturut-turut. Dapat dipahami bahwa epizeukis merupakan gaya bahasa yang
mengulang kata yang dianggap penting secara berulang-ulang dalam kalimat.
Contoh:
a.
Engkaulah anakku, engkaulah anakku, memang engkaulah anakku yang menjadi harapan dan tumpuan ibunda di hari
tuaku kelak.
b.
Ingat,
kamu harus bertobat, bertobat, sekali lagi bertobat, agar dosa-dosamu diampuni oleh
Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Pengasih.
c.
Keberhasilanmu, keberhasilanmu,
memang keberhasilanmu dalam
studimulah yang akan menjadi penawar segala penderitaan ayah-bundamu.
(6)
Tautotes
adalah gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan atas sebuah kata dalam
sebuah konstruksi. Dapat dipahami bahwa tautotes merupakan gaya bahasa yang
mengulang sebuah kata dalam sebuah satuan kalimat.
Contoh:
a.
Kau
adalah aku, aku adalah kau, kau dan aku menjadi padu.
b.
Dia
memuji kau, kau memuji dia, dia dan kau saling memuji, kau dan dia saling menghargai.
c.
Aku
menuduh kamu, kamu menuduh aku, aku dan kamu saling menuduh, kamu dan aku
berseteru.
(7)
Anafora
adalah gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan kata pertama pada setiap
baris atau setiap kalimat. Dapat dipahami bahwa anafora merupakan gaya bahasa
yang mengulang kata pertama pada setiap kalimat dalam sebuah paragraf.
Contoh:
a.
Dengan giat belajar kamu bisa memasuki perguruan tinggi.
Dengan giat belajar segala ujianmu
dapat kamu selesaikan dengan baik. Dengan
giat belajar kamu dapat menjadi sarjana. Dengan giat belajar justru kamu dapat mencapai cita-citamu.
b.
Tanpa iman yang teguh engkau akan mudah terperosok ke dalam
jurang kenistaan. Tanpa iman yang teguh
engkau mudah tergoda wanita cantik di sekelilingmu. Tanpa iman yang teguh engkau akan tergoda oleh uang dan harta. Tanpa iman yang teguh hidupmu tidak akan
tentram dan damai lahir batin.
c.
Berdosakah dia menyenangi dan mencintaimu? Berdosakah dia selalu memimpikan dan
merindukanmu? Berdosakah dia ingin
selalu berdampingan denganmu? Berdosakah
dia ingin sehidup semati denganmu?
(8)
Epistrofa
adalah gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan kata atau frase pada akhir
baris atau kalimat berurutan. Dapat dipahami bahwa epistrofa merupakan gaya
bahasa yang mengulang kata atau frase yang terdapat pada akhir kalimat yang
berurutan.
Contoh:
a.
Kemarin
adalah hari ini
Besok
adalah hari ini
Hidup
adalah hari ini
Segala
sesuatu buat hari ini
b.
Bahasa resmi
adalah bahasa Indonesia
Bahasa
persatuan adalah bahasa Indonesia
Bahasa
nasional adalah bahasa Indonesia
Bahasa
kebangsaan adalah bahasa Indonesia
c.
Kehidupan dalam
keluarga adalah sandiwara
Cintamu
padaku pada prinsipnya adalah sandiwara
Seminar
lokakarya, simposium adalah sandiwara
Proses
belajar mengajar di dalam kelas adalah sandiwara
Pendeknya
hidup kita ini adalah sandiwara
(9)
Simploke
adalah gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan pada awal dan akhir beberapa
baris atau kalimat berturut-turut. Dapat dipahami bahwa simploke merupakan gaya
bahasa yang mengulang kata-kata pada awal dan akhir kalimat secara
returut-turut.
Contoh:
a.
Kau katakana aku
wanita pelacur. Aku katakana biarlah kau katakana aku wanita mesum. Aku
katakana biarlah
Kau
katakana aku sampah masyarakat. Aku katakana biarlah
Kau
katakana aku penuh dosa. Aku katakana biarlah
b.
Ibu bilang saya
pemalas. Saya bilang biar saja
Ibu
bilang saya lamban. Saya bilang biar saja
Ibu
bilang saya lengah. Saya bilang biar saja
Ibu
bilang saya manja. Saya bilang biar saja
c.
Dia minta kami
tolak saja. Saya tegaskan saya setuju sekali. Dia minta kami bercerai. Saya
tegaskan saya setuju sekali
Dia minta
kami putus hubungan. Saya tegaskan saya setuju sekali
(10)
Mesodilopsis
adalah gaya bahasa repetisi yang berwujud perulangan kata atau frase di tengah
baris atau beberapa kalimat beruntun. Dapat dipahami bahwa mesodilopsis
merupakan gaya bahasa yang mengulang kata atau frase di tengah kalimat secara
beruntun.
Contoh:
a.
Para pendidik harus meningkatkan kecerdasan bangsa
Para
dokter harus meningkatkan kesehatan
masyarakat
Para
petani harus meningkatkan hasil
sawah-ladang
Seluruh
rakyat harus meningkatkan pembangunan di segala bidang
b.
Orang tua tidak boleh memfitnah anaknya
Para
siswa tidak boleh memfitnah gurunya
Kamu tidak boleh memfitnah temanmu
Pendeknya
kita tidak boleh memfitnah satu sama
lain
c.
Anak merindukan orang tua
Orang
tua merindukan anak
Kumbang
merindukan kembang
Pendeknya
semua merindukan sesuatu di dalam
hidupnya
(11)
Epanalepsis
adalah gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan kata pertama menjadi
terakhir dalam klausa atau kalimat. Dapat dipahami bahwa epanalepsis merupakan
gaya bahasa yang mengulang kata pertama menjadi kata terakhir dalam sebuah
kalimat.
Contoh:
a.
Akulah yang bertanggung jawab atas
pendidikan kemenakanku ini, akulah
b.
Berjuanglah mencapai cita-citamu dengan sekuat
daya, berjuanglah
c.
Bawalah aku kemana engkau pergi, aku
menyerahkan diriku padamu, bawalah
(12)
Anadiplosis
adalah gaya bahasa repetisi, dimana kata atau frase terakhir dari suatu klausa
atau kalimat menjadi frase pertama dari klausa atau kalimat berikutnya. Dapat
dipahami bahwa anadiplosis merupakan gaya bahasa yang mengulang kata atau frase
terakhir dari seuatu kalimat menjadi kata atau frase pertama dari kalimat
berikutnya.
Contoh:
a.
Dalam raga ada
darah
Dalam
darah ada tenaga
Dalam
tenaga ada daya
Dalam
daya ada segala
b.
Dalam mata ada
kaca
Dalam
kaca ada adinda
Dalam
adinda ada asa
Dalam asa
ada cinta
c.
Karena dikau aku
bergairah
Karena
bergairah aku berkarya
Karena
berkarya aku bermakna
Karena
bermakna aku bercita
Karena
bercita aku bercinta
Karena
bercinta aku merindukan dikau
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif, hal ini dikarenakan data
hasil penelitian diuraikan dengan tidak mengutamakan angka-angka,
tetapi mengutamakan kedalaman penghayatan terhadap interaksi-interaksi
antarkonsep yang sedang dikaji oleh peneliti secara empiris.
Hal
ini sejalan dengan pendapat Moleong (2010:6) yang menjelaskan bahwa ”Penelitian kualitatif adalah
penelitian yang digunakan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh
subjek penelitian secara holistik
dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks,
khususnya yang alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah”. Dapat dipahami bahwa, penelitian
kualitatif merupakan jenis penelitian yang mencoba menafsirkan suatu masalah
yang timbul dari subjek dengan menggunakan media bahasa yang merupakan metode
alamiah untuk mendeskripsikan berbagai masalah tersebut.
41
|
3.2 Data dan Sumber Data
Data dalam penelitian ini
adalah kalimat-kalimat yang menunjukkan gaya bahasa yang terdapat dalam novel Lampuki Karya Arafat Nur, sedangkan sumber data dalam penelitian ini adalah novel Lampuki Karya Arafat Nur, terbit tahun 2011 setebal 433 halaman, penerbit Serambi Ilmu Indonesia.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Langkah-langkah pengumpulan data dalam
jenis penelitian hermeneutik
ini adalah sebagai berikut:
1)
Peneliti membaca dan memahami novel Lampuki Karya Arafat Nur.
2)
Peneliti memberi kode dan mencatat teks-teks yang merupakan gaya bahasa yang terdapat dalam
novel tersebut.
3)
Peneliti mengumpulkan kalimat-kalimat yang merupakan gaya bahasa yang
terdapat dalam novel tersebut.
4)
Peneliti
mengelompokkan data yang telah dikumpulkan, untuk dianalisis.
3.4 Teknik Analisis Data
Analisis
data adalah tahap terakhir yang harus dilakukan terhadap data yang telah
terkumpul. Sugiono (2010:337), menyatakan bahwa ”Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan
pada saat pengumpulan data berlangsung dan setelah selesai pengumpulan data
dalam periode tertentu”.
Sejalan dengan yang dikemukakan Sugiono, maka data hasil penelitian ini
dianalisis secara kualitatif yaitu menganalisis gaya bahasa dalam novel Lampuki
Karya Arafat Nur.
Data tersebut dianalisis dengan menggunakan teori Miles dan
Huberman. Miles dan Huberman (Sugiono 2010:337), mengemukakan bahwa ”Aktivitas dalam analisis kualitatif dilakukan
secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus sampai tuntas sehingga
datanya sudah jenuh. Adapun aktivitas yang ada dalam analisis data yaitu mereduksi data,
menyajikan data dan menyimpulkan data”.
Sedangkan
langkah-langkah yang ditempuh dalam pengolahan data adalah sebagai
berikut:
1)
Mereduksi
Data
Tahap mereduksi data mulai
dilakukan melalui proses penyeleksian, identifikasi dan pengklasifikasian.
Penyeleksian dan pengidentifikasian merupakan kegiatan untuk menyeleksi dan
mengidentifikasi data-data berdasarkan kategori teks-teks yang merupakan gaya bahasa yang
terdapat dalam novel
Lampuki Karya Arafat Nur. Tahap
pengklasifikasian merupakan proses yang dilakukan untuk mengklasifikasikan
data, memilih data dan mengelompokkan data.
2)
Menyajikan
Data
Menyajikan Data
merupakan
kegiatan pengelompokkan data melalui tahap reduksi data berdasarkan kategori
teks-teks yang merupakan gaya bahasa yang terdapat dalam novel Lampuki Karya Arafat Nur.
3)
Menarik
Simpulan
Menarik simpulan dilakukan setelah
mengikuti dua tahap. Simpulan ditarik setelah data disusun dan diperiksa
kembali. Selanjutnya didiskusikan dengan pembimbing. Setelah proses ini
dilalui, hasil akhir penelitian analisis gaya bahasa dalam novel
Lampuki Karya Arafat Nur disajikan dalam bentuk laporan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 2009. Pengantar Apresiasi Karya Sastra.
Bandung : Sinar Baru
Argesindo.
Argesindo.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra.
Yogyakarta : Caps.
Keraf, Gorys. 2004. Diksi dan
Gaya Bahasa. Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama.
Kosasih, Encang. 2003. Kompetensi Ketatabahasaan
dan Kesusastraan. Bandung: Yrama Widya.
Moleong, Laxy J. 2010. Metodologi Penelitian
Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Nur,
Arafat. 2011. Lampuki. Bandung : Serambi Ilmu
Semesta.
Nurdin, Ade dkk. 2002. Intisari Bahasa dan Sastra Indonesia untuk
Kelas 1,2,3 SMU. Bandung : CV Pustaka setia.
Nurgiyantoro, Burhan. 2012. Teori Pengkajian Fiksi. Jakarta : Gajah Mada University Press.
Pradopo, Rachmad Djoko. 2005. Beberapa Teori
Sastra, Metode, Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Purba, Antilan. 2010. Sastra Indonesia
Kontemporer. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Santosa, Wijaya Heru dan Wahyuningtyas, Sri. 2010. Pengantar
Apresiasi Prosa.
Surakarta :
Yuma Pustaka.
Sugiono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung : Angkasa.
Tim
Penyusun. 2014. Pedoman Penulisan
Skripsi. Matangglumpangdua : FKIP Universitas Almuslim.
Wiyatmi. 2009. Pengantar
Kajian Sastra. Yogyakarta : Pustaka Book Publisher.
45
|